Hikmawan Firdaus | Rahmah Nabilah Susilo
Ilustrasi Kakak dan Adik (Unsplash/Christian Bowen)
Rahmah Nabilah Susilo

Kalimat “Kamu kan anak pertama” terdengar sederhana, bahkan mungkin dianggap sebagai bentuk kepercayaan. Namun bagi banyak anak sulung, kalimat itu menjadi tekanan tak kasat mata yang mengiringi hidup mereka sejak kecil.

Ada ekspektasi bahwa anak pertama harus lebih dewasa, lebih mengalah, lebih bertanggung jawab, dan otomatis lebih kuat dibanding adik-adiknya. Seolah-olah hanya karena mereka lahir duluan, mereka harus siap memikul semua hal.

Sejak kecil, anak pertama sudah ditempatkan di posisi panutan. Ketika mereka berbuat salah, itu dianggap fatal karena “nanti adik ikut-ikutan.” Saat ingin marah atau merasa lelah, orang-orang mengatakan, “Jangan begitu, kamu kan anak pertama.”

Perlahan, anak pertama belajar bahwa menjadi diri sendiri tidak selalu boleh. Mereka harus menahan emosi, menyembunyikan tangis, dan menjadi figur yang selalu tampak tegar. Di balik itu, ada beban yang tidak pernah mereka pilih.

Yang sering terlupakan adalah bagaimana anak pertama selalu dijadikan kompas. Setiap langkah yang mereka ambil seakan harus menjadi rambu bagi adik-adiknya. Mereka menjadi pengarah jalan, role model dalam diam, padahal mereka juga manusia yang tidak selalu tahu arah. Mereka pun merasakan ketakutan akan kegagalan, tetapi tidak bisa menunjukkannya karena semua orang menganggap mereka pasti tahu apa yang harus dilakukan.

Banyak anak pertama tumbuh dengan percaya bahwa menunjukkan kelemahan adalah kegagalan. Mereka diminta mengalah karena lebih tua, diminta mengerti karena dianggap sudah besar, dan diharapkan mandiri karena “adikmu butuh contoh.” Padahal, menjadi tanggung jawab bukan sesuatu yang mereka pilih. Mereka hanya kebetulan lahir duluan.

Orang-orang melihat ketegaran mereka dan menyebutnya kekuatan. Padahal, sering kali kekuatan itu lahir dari rasa terpaksa, dari ketakutan mengecewakan, dari dorongan bahwa mereka harus berhasil agar adik-adiknya punya jalan yang lebih mudah.

Memang, setiap anak memiliki beban yang berbeda. Anak tengah mungkin merasa tidak terlihat. Anak bungsu mungkin lelah dengan label manja. Tidak ada posisi yang selalu lebih enak atau lebih berat.

Namun, jauh di dalam hati, anak pertama tetap menyimpan rasa bangga. Ada kepuasan tersendiri ketika dipercaya untuk melakukan banyak hal. Ada kebanggaan menjadi pengarah langkah, menjadi tempat pulang, dan menjadi alasan adik-adiknya bisa berjalan lebih mudah.

Pada akhirnya, anak pertama hanya ingin didengar dan dimengerti. Mereka ingin merasakan bahwa menjadi anak pertama bukan berarti menjadi tulang punggung emosi keluarga, melainkan individu yang juga punya ruang untuk rapuh dan berkembang.

Mereka kuat bukan karena tidak pernah rapuh, tetapi karena mereka memilih tetap berdiri meskipun takut.