Lintang Siltya Utami | Choirunnisa Nuraini
Ilustrasi Kehidupan Pantai (Pexels/Flavio Vallone)
Choirunnisa Nuraini

Di pesisir, laut bukan sekadar bentang biru yang indah atau sumber penghidupan. Ia adalah penentu hidup-mati, guru yang keras sekaligus jujur. Bagi nelayan tradisional, laut tidak bisa diperlakukan sesuka hati. 

Ada waktu melaut, ada waktu menepi. Ada ikan yang boleh diambil, ada yang harus dibiarkan tumbuh. Kesadaran ini lahir bukan dari teori, melainkan dari pengalaman panjang hidup berdampingan dengan alam.

Ironisnya, ketika masyarakat pesisir belajar tentang batas, dunia modern justru bergerak ke arah sebaliknya. Industri perikanan berskala besar, teknologi tangkap masif, dan logika produksi tanpa henti sering kali menutup telinga dari peringatan laut. 

Dari sinilah pertanyaan penting muncul, mengapa mereka yang hidup paling dekat dengan laut justru lebih tahu kapan harus berhenti, sementara mereka yang memiliki kuasa teknologi memilih terus melaju?

Kearifan Nelayan Menangkap Ikan Bukan Menjarah Laut

Nelayan tradisional memahami satu hal mendasar bahwa laut memiliki ritme. Mereka membaca musim, arah angin, arus, dan tanda-tanda alam sebelum melaut.

Tidak semua hari adalah hari yang baik untuk menangkap ikan, dan tidak semua ikan harus dibawa pulang. Ada batas tak tertulis yang mereka patuhi, bukan karena romantisme budaya, tetapi demi keberlanjutan hidup.

Dalam praktiknya, banyak nelayan memilih alat tangkap yang selektif, menghindari ikan kecil, dan tidak melaut saat musim pemijahan. Mereka tahu bahwa mengambil terlalu banyak hari ini berarti kehilangan sumber hidup esok hari.

Prinsip ini sederhana: laut bukan ladang tak terbatas, melainkan ruang hidup bersama yang harus dijaga.

Kesadaran ini membentuk etika ekonomi yang berbeda dari logika industri modern. Bagi nelayan tradisional, cukup lebih penting daripada berlebih. Mereka tidak mengejar akumulasi tanpa batas, karena pengalaman telah mengajarkan bahwa keserakahan selalu dibalas dengan kekosongan. Ketika ikan habis, yang hilang bukan hanya pendapatan, tetapi masa depan komunitas.

Industri Modern dan Logika Tanpa Rem

Berbeda dengan nelayan tradisional, industri perikanan modern beroperasi dengan logika efisiensi dan skala. Kapal besar, jaring raksasa, dan teknologi pelacak ikan memungkinkan eksploitasi laut secara masif. Dalam kerangka ini, laut direduksi menjadi objek produksi, bukan lagi ruang hidup yang memiliki batas.

Masalahnya bukan semata pada teknologi, melainkan pada cara pandang. Ketika keberhasilan diukur dari volume tangkapan dan keuntungan jangka pendek, batas ekologis menjadi gangguan, bukan pertimbangan. Regulasi sering tertinggal dari kecepatan eksploitasi, sementara dampak kerusakan baru terasa ketika stok ikan menurun drastis atau ekosistem runtuh.

Ironi terbesar adalah mereka yang paling sedikit menyumbang kerusakan, nelayan kecil justru menjadi pihak pertama yang terdampak. Ketika ikan semakin sulit ditangkap, nelayan tradisional kehilangan penghidupan, sementara industri besar masih memiliki modal untuk berpindah wilayah atau mengganti teknologi. 

Ketidakadilan ekologis ini menunjukkan bahwa krisis laut bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan persoalan moral dan politik.

Pertanyaannya kemudian menjadi reflektif jika laut sudah memberi tanda untuk berhenti, mengapa industri modern memilih tidak mendengar? Jawabannya sering kali terletak pada jarak, jarak antara pengambil keputusan dan dampak nyata di lapangan. Ketika laut hanya hadir sebagai angka di laporan produksi, peringatan alam kehilangan urgensinya.

Belajar dari Pesisir Mengembalikan Etika Batas

Belajar dari pesisir berarti mengakui bahwa tidak semua hal bisa dan boleh dimaksimalkan. Laut mengajarkan bahwa keberlanjutan lahir dari kemampuan menahan diri, bukan dari kemampuan mengambil sebanyak mungkin. Dalam konteks krisis lingkungan global, pelajaran ini menjadi semakin relevan.

Konsep batas yang dipraktikkan nelayan tradisional seharusnya menjadi dasar kebijakan dan praktik industri. Bukan dengan memusuhi teknologi, tetapi dengan menempatkannya dalam kerangka etika ekologis. Teknologi seharusnya membantu menjaga keseimbangan, bukan mempercepat kehancuran.

Laut telah lama mengajarkan batas keserakahan kepada mereka yang mau mendengar. Sayangnya, suara itu sering tenggelam oleh mesin, grafik, dan ambisi. Jika kita terus mengabaikannya, laut tidak akan bernegosiasi. Itu akan mengambil kembali apa yang telah dirampas. 

Maka, belajar dari pesisir bukan nostalgia, melainkan kebutuhan mendesak agar manusia kembali memahami bahwa hidup berdampingan dengan alam menuntut kesadaran akan batas, sebelum batas itu ditarik secara paksa oleh kehancuran.

Baca Juga