Hayuning Ratri Hapsari | Ferika Sandra
Gapura masuk Dusun Pancer, Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi. (Dok. Pribadi/Ferika Sandra)
Ferika Sandra

Setelah 31 tahun berlalu, Nelayan Pancer di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi sudah mulai beraktivitas normal seperti sedia kala.

Namun beberapa nelayan yang menjadi saksi saat gelombang tinggi tsunami di tahun 1994 menyapu wilayah pesisir selatan Banyuwangi seakan menyimpan duka mendalam.

Apalagi bagi mereka yang kehilangan sanak saudara menjadi korban jiwa. Bulan Juni seakan menjadi titik balik untuk mengenang ganasnya gelombang itu.

Catatan BMKG, tsunami di selatan Banyuwangi itu terjadi setelah gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,2 terjadi di Samudra Hindia pada 2 Juni 1994.

Tujuh jam setelah gempa terjadi gelombang tinggi tsunami menerjang wilayah pesisir selatan Banyuwangi pada 3 Juni 1994 dini hari.

Imbasnya lebih dari 250 orang dilaporkan meninggal dunia, 127 korban hilang, 423 mengalami luka-luka dan lebih 1500 rumah mengalami kerusakan serta 278 kapal dilaporkan rusak dan hilang.

Kabarnya efek tsunami juga menimpa wilayah lain di pesisir selatan Jawa Timur hingga Pacitan. Namun Banyuwangi paling parah yang terdampak.

Bangkit Setelah Dilanda Musibah

Saya bertemu dengan Suryani Fatimah (55) warga Dusun Pancer di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran yang menjadi penyintas gelombang tsunami.

Menurut Suryani, kejadian gelambang laut yang tinggi itu terjadi begitu cepat. Ia ingat betul saat kejadian sekitar pukul 02.00 dini hari. Ia yang kala itu tidak bisa tidur setelah merasakan gempa dahsyat tentu khawatir akan suatu hal. Benar saja tujuh jam setelah gempa dirasakan. Gelombang itu datang.

Kala itu Suryani mengaku tidak mengetahui jika itu namanya tsunami. Ia mengira banjir dari laut namun dengan kekuatan dan gelombang yang langsung meninggi. Ini berbeda dengan air laut pasang yang munculnya secara bertahap.

Beruntung ia dan suaminya dalam keadaan selamat. Sementara putra dan putrinya saat itu seng mondok di Pondok Pesantren Blokagung, Karangdoro, Tegalsari, Banyuwangi.

“Saya ingat betul seminggu setelah kejadian, setiap dini hari selalu saya terbangun terbayang gelombang tinggi itu,” katanya saat saya temui di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer.

Setelah itu, lanjut Suryani, semua warga berupaya bangkit untuk kembali menata hidup. Pasca-gelombang tinggi, tidak sedikit warga yang memilih pindah dari pesisir pantai selatan Banyuwangi.

Selain trauma, atensi dari pemerintah juga meminta untuk warga direlokasi ke daerah yang lebih aman. Meski sekarang, setelah 31 tahun berlalu. Masyarakat Nelayan Pancer sudah kembali beraktifitas di areal yang dulu terdampak gelombang tsunami.

Semangat Warga yang Mencoba Tak Putus Asa

Setelah bencana, asa selalu berada di awang-awang. Hal inilah yang dialami Samsuri (63) Nelayan Pancer di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi yang kehilangan anak dan istri.

Meski sudah 31 tahun berlalu Samsuri mengaku masygul tiap mengingat kejadian bencana itu muncul. Termasuk saat melihat berita tsunami Aceh 2004, ia langsung teringat kejadian 1994. Serta tsunami selat sunda di 2018. Entah ia merasa ada ikatan sentimental dengan kejadian serupa di daerah lain.

“Kadang saya sedih mbak tiap mengingat kejadian itu,” ujarnya sambil terisak.

Namun Samsuri sadar jika hidup harus tetap berjalan. Ia yang awalnya menghindari laut, akhirnya memutuskan kembali dan berdamai dengan laut.

Kata Samsuri, lima tahun setelah kejadian tepat di tahun 1999 akhirnya ia memberanikan diri untuk kembali menjadi nelayan.

Trauma-trauma masa silam ia bawa ke laut untuk bisa didamaikan. Jangan bayangkan itu tanpa  pergolakan batin. Menurut Samsuri semangat warga lain yang justru melatihnya untuk tidak putus asa pada keadaan.

“Semua ini takdir mbak, saya sebagai manusia tetap harus mengimani takdi. Baik dan buruknya sudah ada yang mengatur,” terangnya.