Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
mahasiswa

Indonesia saat ini sedang dihadapi dengan problematika yang sangat rumit di segala bidang baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial, moral dsb. Misalnya dalam bidang ekonomi seperti masih tingginya angka kemiskinan, korupsi merajalela. Dilanjutkan lagi dalam bidang pendidikan seperti pendidikan yang tidak merata, banyaknya tawuran antar pelajar, dan pada bidang sosial seperti perang saudara, kriminalitas, dan lainnya.

Serta yang paling krusial adalah demoralisasi yang terjadi di kalangan masyarakat baik di kalangan pejabat tinggi, wakil rakyat, mahasiswa, pelajar SMA bahkan pelajar SMP dan SD pun mengalami krisis moral tersebut. Sungguh dramatis dan miris sekali jika kita lihat sekarang di hampir semua layar kaca dan media informasi lain yang menayangkan bagaimana krisis moral ini sudah menular dan menggrogoti semua lapisan masyarakat dari para petinggi negara hingga para pemuda yang akan menjadi penerus bangsa di kemudian hari.

Demoralisasi tidak dipungkiri telah memasuki ranah mahasiswa, banyak kasus penyimpangan moral yang telah dilakukan mahasiswa seperti banyaknya masalah video porno, anarkisme, narkoba, seks bebas, dsb. Sedangkan kita tahu bahwa mahasiswa telah disiapkan menjadi penerus bangsa yang akan membangun, melanjutkan, dan memajukan bangsa indonesia kelak di masa depan.

Mahasiswa lah yang menjadi bibit-bibit pejuang selanjutnya yang menjadi Agent of Change di segala bidang dan menjadi Social Control yang akan terus menjunjung tinggi keterbukaan dan transparansi dalam melaksanakan pemerintahan agar lebih mensejahterakan rakyatnya dan meminimalisir tingkat penyelewengan di tingkat aparatur negara.

Mahasiswa, sebuah gelar baru yang hingga kini “dibanggakan”oleh sebagian besar masyarakat. Mahasiswa konon adalah para generasi harapan yang kelak mampu membawa perubahan bagi negara Indonesia untuk bisa bersaing dengan negara-negara di dunia. Sebutan itu hendaknya bisa menjadi cambuk bagi mahasiswa itu sendiri yang dipandang sebagai Agent of Change (agen perubahan).

Mahasiswa dituntut mampu untuk mengontrol keadaan negara; bukan untuk sekedar mengkritik, tetapi juga memberikan kontribusi yang riil untuk perubahan yang lebih baik (agent of social control). Sebagai kaum intelektual mahasiswa harus bersikap berani dan kritis, berani untuk mendobrak zaman ke arah kemajuan dan kritis terhadap kebijakan para pemegang roda pemerintahan.

Mahasiswa berperan sebagai transportasi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Beban dan tanggung jawab menjadi mahasiswa sangatlah besar.

Mahasiswa harus berani menyampaikan kebenaran tanpa menutupi kebohongan, selalu meneriakkan keadilan, sehingga semua harapan rakyat dan juga janji manis para politisi yang selalu berkoar dengan dalih demi kesejahteraan atas nama rakyat bisa terealisasikan, bukan hanya sekedar omong kosong belaka.

Namun, itu semua hanya akan menjadi label yang hampa tanpa makna jika mahasiswa tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan bagi masyarakat dan negara.

Sekian persen dari mahasiwa beberapa tahun belakangan ini sudah kehilangan jati dirinya sebagai mahasiswa sejati. Mahasiswa bangga akan gelarnya namun lupa akan tanggung jawabnya, ketika mahasiswa diming-iming beasiswa yang memang menggiurkan, dengan antusias para hamba ilmu yang numpang belajar di perguruan tinggi itu akan hanya melaksanakan tanggung jawab akademis saja sekedar untuk mendapatkan IP yang tinggi.

Pulang-pergi kampus, menyelami seluruh isi perpustakaan dan mengisi penuh otak mahasiswa dengan berbagai macam teori, baik dari ceramah dosen di kelas maupun dari bertumpuk-tumpuk buku dan lembaran makalah yang menemaninya setiap waktu. Tapi mahasiswa lupa bahwa tanggung jawab sebagai mahasiswa tidak hanya tanggung jawab akademis saja.

Mahasiswa mengacuhkan realita yang ada di tempatnya mencari ilmu. Pada dasarnya sah-sah saja dan bahkan akan menjadi suatu nilai plus jika para kaum terpelajar yang bernama mahasiswa dan dipandang berkedudukan tinggi tersebut mampu menunjukkan bahwa ranah kognitif mahasiswa yakni dari segi akademisijuga tinggi dan pantas untuk dibanggakan (agent of intellectual).

Tetapi itu semua tidak berarti apa-apa, jika untuk kedepan, implementasinya untuk lingkungan sekitar adalah kosong alias “nol besar”. Akan jauh lebih baik jika mahasiswa itu belajar untuk aktif, kritis dan tanggap sejak dini, yakni dimulai dari lingkungan kampus mahasiswa sendiri. Kampus adalah miniatur negara dan warga kampus yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan karyawan adalah masyarakat negara tersebut, mahasiswa hendaknya tidak lupa akan perannya sebagai generasi harapan.

Ketika mahasiswa berikrar dalam sumpah mahasiswa “bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan”, maka kewajiban untuk membela dan memperjuangkan bangsa yang selalu gandrung akan keadilan ini adalah hukum wajib. Sejak pelajar tercatat sebagai mahasiswa, mahasiswa harus belajar peduli dengan kampusnya sendiri dan itu semua tidak cukup hanya dengan kata-kata di lisan saja tetapi perlu implementasi atau tindakan riil. 

Atribut dan status sebagai mahasiswa sudah disandang, maka wajib hukumnya meninggalkan atribut dari pelajar SMA yang masih mengutamakan dunia hedonisme dan manja, menjadi mahasiswa yang mengutamakan kepentingan sosial, demokratis, kritis dan progresif.

Masa awal mahasiswa adalah masa transisi dari huru-hara masa remaja menuju ke arah dewasa yang dituntutuntuk bertanggungjawab sebagai tulang punggung perubahan bangsa. Mahasiswa dituntut untuk bangun dari buaian tidur panjang mahasiswa yang hanya bermimpi manis dengan cita-cita yang diimpikan tanpa ada tindakan yang jelas dan terarah. Mahasiswa harus mulai meniti langkah dengan arah dan tujuan yang pasti. 

Sejak ia memutuskan untuk menyambangi bangku perkuliahan, para mahasiswa harus punya dasar dan alasan atau kelak ia akan menjadi apa setelah dikukuhkan menjadi sarjana. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa setiap kali sebuah perguruan tinggi ataupun universitas melaksanakan acara wisuda maka itu akan menambah sepersekian persen dari jumlah pengangguran yang ada di Indonesia.

Sungguh ironis, padahal jika kita menilik akan definisi mahasiswa adalah sebagai kaum intelektual yang akan membawa perubahanke arah progresif, seharusnya mahasiswa mampu memberi solusi bagi negara untuk mengurangi angka pengangguran yang kian tahun kian bertambah besar. Namun harapan hanyalah tinggal harapan belaka jika keadaan mahasiswa sekarang hanya mengandalkan gelar belaka tanpa ada skill yang mumpuni.

Perubahan, adalah satu kata yang sangat didambakan untuk membawa kemajuan bagi bangsa, dan mahasiswa dituntut untuk memulai perubahan itu. Merubah iklim hedonisme di kampus menjadi iklim yang penuh dengan hawa intelektualitas dan progresifitas.

Mahasiswa seharusnya bisa mengimplementasikan kemampuannya di kampus dan juga lingkungan tempat tinggalnya sehingga keberadaannyasebagai mahasiswa akan sangat berpengaruh positif. Mahasiswa bisa menggunakan kampus yang merupakan miniatur negara sebagai tempat belajar sekaligus praktek berbirokrasi yang positif melalui organisasi-organisasi yang ada sehingga mahasiswa tidak menjadi mahasiswa yang vakum dan pasif.

Kampus, ketika kaum elit intelektual yang tidak lain adalah mahasiswa memasuki dunia ini sebenarnya banyak sekali sarana dan fasilitas yang bisa mahasiswa fungsikan untuk belajar menjadi manusia sejati, mahasiswa dengan peran dan tanggung jawabnya, asal mahasiswa tidak buta dan tuli dengan berbagai realita sekitarnya.

Di kelas mahasiswa dengan mudah bisa mengusung berbagai macam ilmu dan teori yang akan menambah jiwa keintelektualannya, sedangkan di luar kelas terdapat kegiatan ekstra maupun intra kampus UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) dan SMJ (Senat Mahasiswa Jurusan) yang dinaungi DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa). 

Mahasiswa bisa berbaur dalam berbagai bentuk organisasi yang akan menambah intelektual skill mahasiswa. Jika para mahasiswa itu mampu memprogandakan antara prestasi akademik dan skill niscaya mahasiswa akan menjadi mahasiswa yang sesungguhnya, memiliki jiwa aktifis yang tidak anarkis. Menjadi mahasiswa sesungguhnya yang kelak bisa mambawa perubahan bagi dirinya, masyarakat dan negaranya

Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan sedikit kontribusi terhadap upaya untuk merevitalisasi peran mahasiswa sebagai Agent of Change dan Social Control.

Revitalisasi di sini maksudnya adalah proses dan bagaimana cara kita mengoptimalkan kembali peran mahasiswa tersebut, di mana kita ketahui bahwa peran tersebut sedikit demi sedikit mengalami degradasi jika dibandingkan dengan mahasiswa pada zaman sebelum dan awal kemerdekaan

Di awal kemerdekaan mahasiswa menjadi penggerak perubahan yang semula Indonesia menjadi negara jajahan banyak negara hingga menjadi negara merdeka hingga saat ini, dan pada masa awal kemerdekaan dan orde baru menjadi Social Control bagi pemerintah yang tidak transparansi dan tidak adil dalam memegang amanah rakyat.

Untuk itu penulis ingin memberikan sebuah alternatif sederhana cara atau upaya untuk mengembalikan itu semua yaitu dengan rasa kebersyukuran sebagai langkah awal mahasiswa sebagai Agent of Change dan Social Control yang baik dan berkualitas.

Mengapa rasa kebersyukuran? Karena sekarang ini kita tidak lagi menghadapi musuh dari luar yang berupa fisik tapi kita sedang menghadapi musuh dari dalam, yaitu diri sendiri dan nafsu. Syukur atau rasa kebersyukuran disini maksudnya adalah rasa terima kasih dan selalu merasa cukup terhadap apa yang dimilikinya dan yang tentunya telah didahului dengan usaha yang maksimal.

Mahasiswa dengan rasa kebersyukuran pastinya di masa depan akan melahirkan para penerus bangsa yang bertanggung jawab dan tidak akan mudah menerima dan mengambil sesuatu yang tidak harus dimilikinya.

Mahasiswa yang sejak dini di tanamkan rasa kebersyukuran dan kelak akan menjadi pemimpin bangsa akan terus berusaha melakukan sesuatu dengan maksimal dan akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk rakyatnya. Rasa kebersyukuran seperti pelengkap terhadap tingginya intelektualitas mahasiswa.

Dengan adanya rasa kebersyukuran maka perubahan itu akan dengan sendirinya tumbuh baik dalam diri sendiri dan akan mengakibatkan perubahan dan manfaat pada orang lain dengan tidak menyelewengkan kekuasaan atau posisi yang sedang diduduki dan akan merasa cukup dengan apa yang dimiliki.

Dengan adanya rasa kebersyukuran diharapkan mahasiswa bisa menjalankan perannya dengan baik dan optimal yaitu sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dimasa sekarang maupun yang akan datang. Karena mahasiswa adalah warisan dan aset besar negara di masa depan.

Peran mahasiswa sebagai Agent of Change dan Social Control adalah perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan akan memberikan manfaat serta menjadi pengontrol untuk dirinya sendiri, orang tua, teman-teman, orang-orang di sekitarnya dan untuk negara. Untuk diri sendiri manfaat sebagai Agent of Change adalah menjadikan kualitas diri semakin baik yaitu dengan rasa kebersyukuran, baik kualitas keimanan maupun hubungan sosial.

Jadi, mahasiswa itu sebagai agen perubahan untuk dirinya terlebih dahulu baru terhadap yang hal lain, karena suatu perubahan itu tidak akan muncul sebelum kita sendir yang melakukannya. Karena dasar dari semua yang ada di dunia ini adalah manusia itu sendiri misalnya kecanggihan teknologi, itu semua dihasilkan dari potensi dasar yang telah diberikan oleh sang pencipta yaitu berupa akal dan otak yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Rasa kebersyukuran adalah satu cara meningktkan kualitas diri seseorang. Sedangkan sebagai social control adalah mahasiswa harus peka terhadap apa saja yang terjadi dalam dirnya terlebih lagi terhadap penyelewangan dan harus segera melakukan koreksi diri .

Untuk kedua orang tua, teman-teman, dan orang sekitar mahasiswa harus menjadi agen perubahan yang lebih tinggi tingkatannya dari penjelasan yang tadi, jadi mahasiswa itu selain harus memberikan manfaat untuk diri sendiri ia harus memberikan manfaat kepada orang-orang yang ada disekitarnya juga.

Dan tentunya hal tersebut tidak bisa kita pisahkan dari rasa kebersyukuran. Mengapa? Karena rasa kebersyukuran akan menghindari kita dari konflik sosial ataupun kecemburuan sosial yang akan merusak hubungan antar sesama seperti dan pastinya jika tidak ada hubungan baik maka tidak akan ada saling memberikan manfaat.

Sebagai social control di dalam keluarga atau orang-orang sekitar kita juga tetap harus tetap mengamati perubahan sosial yang terjadi di masyarakat dan sebaiknya memberikan penyelesaian dan solusi yang baik jika ada suatu masalah.

Dan yang paling penting adalah peran mahasiswa sebagai Agent of Change untuk negara kita tercinta yaitu Indonesia. Peran mahasiswa sebagai Agent of Change sangat luas kajiannya, yaitu bisa agen perubahan dalam pendidikan, pembangunan ekonomi, pemberdayaan sosial, pengabdian masyarakat, dan masih banyak lagi.

Jika dilihat lagi mahasiswa pada zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan sangat jauh perbedaannya, selain sudah berbeda situasinya yang dahulunya melawan bangsa orang lain sedangkan sekarang melawan bangsa sendiri. Jadi peran mahasiswa disini adalah menanamkan dasar atau pondasi sebelum menjadi Agent of Change yaitu dengan rasa kebersyukuran.

Untuk negara mahasiswa sebagai Social Control harus mampu bersikap kritis terhadap apa yang terjadi di pemerintahan, kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh aparat negara yang semula ingin mensejahterakan rakyat malah semakin menyengsarakan rakyat.

Upaya kritis itu tidak hanya dengan melakukan aksi demonstrasi yang anarkis atau bakar ban yang membuat jalan macet berkilo-kilo tetapi bisa dilakukan dengan hal yang lebih positif misalnya menulis, bermusyawarah, atau dengan demonstrasi yang tidak memberikan masalah terhadap orang lain.

Penyebab peran mahasiswa tersebut tidak optimal menurut saya faktornya ada dua yaitu faktor internal dan external. Pertama, dari faktor Internal atau dalam diri mahasiswa itu sendiri adalah kurangnya rasa kesadaran yang dimiliki untuk melakukan perubahan pada diri sendirinya dahulu. Karena saya yakin tidak akan terjadi perubahan di sekeliling kita sebelum kita yang melakukan perubahan terlebih dahulu.

Masih tingginya rasa apatis mahasiswa terhadap problematika negara saat ini. Dan masih banyaknya mahasiswa yang tidak tahu tujuannya untuk menjadi mahasiswa, masih banyak yang malas-malasan dalam kuliah karena jatah kuliah 75 persen takut mubadzir katanya, dan lainnya.

Kedua adalah faktor eksternal yaitu adanya globaliasasi dan modernisasi yaitu kemajuan teknologi, sifat konsumtif, informasi yang tidak dapat di saring, dampak negatif lainnya. Dengan adanya kemajuan teknologi ini kemudahan mengakses internet menjadi sarana terbuka lebar untuk membuka situs-situs yang tidak seharusnya menjadi konsumsi umum.

Untuk itu rasa kebersyukuran disi sangatlah penting untuk menghindari hal-hal tersebut. Mahasiswa dengan rasa kebersyukuran akan selalu memikirkan apa yang telah ia dapatkan dan tidak sempat melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.

Jadi, marilah kita sebagai penerus dan harapan bangsa di masa depan dapat menjadikan rasa kebersyukuran ini sebagai dasar dan pondasi dalam pengoptimalan peran mahasiswa sebagai Agent of Change dan Social Control yang baik dan berkualitas.

Bayangkan apa yang terjadi jika semua pemerintah dan petinggi negara memiliki dasar yang baik dalam membangun bangsa? Tidak akan ada lagi masyarakat yang hidup dengan kemiskinan, memakan nasi basi yang dikeringkan dan banyak lagi hal-hal miris yang diakibatkan oleh para pemimpin negara yang tega mengambil hak yang bukan miliknya.

Pengirim: Winda Yintashalafi, Mahasiswi Universitas Indonesia Program Vokasi Hubungan Masyarakat 2019
E-mail: windayintashalafi@gmail.com