Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hayuning Ratri
Ilustrasi putus cinta (freepik.com/jcomp)

Siapa yang sedang galau karena putus cinta? Patah hati sungguh membuat rasa sesak di dada bukan. Pengaruh yang dirasakkan dapat menjalar hingga mengakibatkan stres. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap emosional, fisik, hingga kesehatan secara keseluruhan. Seseorang bahkan membutuhkan waktu selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk dapat bangkit kembali menata hati.

Bagaimana bisa sakit hati yang dirasakan secara emosional dapat berpengaruh terhadap kondisi fisik kita? Dalam istilah medis dikenal dengan Takotsubo cardiomyopathy yaitu sindrom yang diakibatkan oleh perasaan patah hati, atau lebih tepatnya stres karena peristiwa yang menyakitkan.

Dikutip dari Halodoc, stres emosional akut, positif atau negatif dapat mengakibatkan ventrikel kiri pada jantung tertegun atau lumpuh. Gejala yang dirasakan dapat mirip seperti serangan jantung, diantaranya nyeri pada dada, lengan atau bahu tegang, pusing, sesak napas, kehilangan kesadaran, mual, dan muntah.

Untungnya, keadaan ini tidaklah terjadi permanen seperti serangan jantung sebenarnya, dan sering kali dapat sembuh dengan sendirinya. Akan tetapi, terkadang seseorang kerap mengira bahwa dirinya benar-benar mengalami serangan jantung karena perasaan sakit hati yang membuatnya menjadi stres.

Menurut hasil riset, rasa sakit emosional karena patah hati dicatat oleh otak dengan cara yang sama seperti rasa saat mengalami sakit fisik. Inilah alasannya seseorang yang sedang patah hati merasakan hal yang sama seperti perasaan sakit fisik.

Tubuh manusia memproduksi banyak hormon setiap harinya dengan tujuannya masing-masing. Keadaan patah hati atau jatuh cinta sekalipun juga mempengaruhi kadar hormon yang dikeluarkan.

Perasaan jatuh cinta dapat membuat seseorang merasa kecanduan seperti memakai narkoba. Hal ini tidak lain karena pengaruh hormon dopamine dan oksitosin yang membuat seseorang merasa lebih baik dan ingin mengulangi perilaku tersebut, dan diproduksi lebih banyak ketika orang mengalami jatuh cinta.

Sementara itu, ketika patah hati terjadi, kadar hormon tersebut akan menurun dan digantikan dengan hormon stres kortisol. Hormon ini akan mendukung respons melawan atau seolah ingin berlari dari tubuh sendiri. Kadar hormon kortisol yang berlebihan dalam periode waktu tertentu dapat membuat perasaan cemas, mual, jerawat, dan berat badan bertambah. Selain itu, segala gejala fisik dan mental yang membuat tidak nyaman karena patah hati akan muncul.

Untuk seseorang yang sedang patah hati, tak mengapa untuk bersedih. Percayalah, seiring berjalannya waktu, luka yang terasa akan berangsur-angsur mereda dan pulih kembali.

Hayuning Ratri