Mahasiswa masa kini dihadapkan pada tuntutan yang semakin kompleks. Mereka diharapkan menjadi individu multitalenta dengan aktif dalam organisasi, berprestasi secara akademik, memiliki soft skill unggul, dan siap bersaing di dunia kerja sejak awal kuliah. Dalam berbagai seminar dan pidato kampus, mahasiswa sering disebut sebagai “agen perubahan” dan “tulang punggung masa depan bangsa.” Namun, di balik slogan-slogan tersebut, realitasnya sangat berbeda. Kampus seolah menuntut kesempurnaan dari mahasiswanya tanpa menyediakan ruang aman, fasilitas memadai, atau dukungan psikologis yang layak. Akibatnya, banyak mahasiswa mengalami kelelahan mental dan fisik, bukan karena mereka lemah, tetapi karena mereka dipaksa kuat di tengah sistem yang abai.
Tuntutan menjadi mahasiswa serba bisa ini tidak muncul begitu saja. Dunia kerja yang semakin kompetitif, kurikulum kampus yang tidak adaptif, dan tekanan media sosial menciptakan iklim kompetisi yang ekstrem. Setiap mahasiswa berlomba membangun citra ideal dengan aktif di organisasi untuk memperluas jaringan, magang agar siap kerja, mengikuti lomba untuk mempercantik CV, dan tetap mempertahankan IPK tinggi agar bisa lulus tepat waktu. Jika satu aspek tertinggal, mereka takut dicap gagal. Di balik performa tersebut, banyak mahasiswa yang menyembunyikan kelelahan ekstrem, rasa cemas berlebih, bahkan gangguan mental yang tidak terlihat. Ironisnya, pihak kampus dan institusi pendidikan sering hanya fokus pada hasil—bukan proses yang dijalani mahasiswa untuk mencapainya.
Saya sendiri pernah merasakan tekanan tersebut secara langsung. Saat menjabat di organisasi mahasiswa sekaligus menjalani semester padat, saya sempat mengajukan izin untuk menggunakan ruangan kampus sebagai tempat diskusi. Alih-alih mendapat dukungan, kami ditolak dengan alasan ruangan sedang dipakai untuk keperluan administrasi. Kami akhirnya menggelar rapat di kantin, dengan penerangan seadanya. Padahal, organisasi yang kami jalankan bertujuan mendukung program kampus.
Contoh lainnya, saya dan tiga teman sempat mewakili kampus dalam sebuah ajang lomba tingkat nasional yang diselenggarakan oleh salah satu universitas ternama. Kami mengajukan permohonan dana transportasi dan konsumsi kepada pihak kampus. Namun, permohonan tersebut ditolak mentah-mentah tanpa penjelasan yang layak. Tidak ada klarifikasi, tidak ada empati, seolah keikutsertaan kami bukan bagian dari kebanggaan institusi. Ironisnya, tim kami justru berhasil meraih juara dalam bidang lomba tersebut—prestasi yang kemudian dipublikasikan kampus sebagai pencapaian yang membanggakan dan turut mendongkrak citra akademik, bahkan dapat berkontribusi pada peningkatan akreditasi. Rasanya seperti dimanfaatkan setelah berjuang sendiri.
Lebih jauh lagi, tekanan multitasking yang terus menerus tanpa dukungan memadai berpotensi merusak kesehatan mental mahasiswa. Data dari Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia (34,9%) atau sekitar 15,5 juta remaja mengalami setidaknya satu masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, atau gangguan perilaku. Angka ini mengkhawatirkan, apalagi mengingat banyak kampus yang belum memiliki layanan konseling memadai. Di beberapa universitas, layanan psikolog hanya tersedia satu orang untuk ribuan mahasiswa, atau malah hanya menjadi formalitas belaka.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi UGM, aspek terbesar dari burnout akademik pada mahasiswa adalah kelelahan, dengan persentase sebesar 73,12% (tinggi), diikuti oleh sinisme sebesar 57,03% (sedang), dan menurunnya efisiensi diri sebesar 49,43% (rendah). Mahasiswa yang mengalami burnout cenderung mengalami perubahan perilaku dan kebiasaan, seperti kelelahan emosional, kehilangan motivasi, dan penurunan kinerja akademik.
Masalahnya bukan terletak pada “ketidakmampuan” mahasiswa, melainkan pada ketimpangan antara tuntutan dan dukungan. Mahasiswa didorong untuk terus mengembangkan diri, mengikuti pelatihan, seminar, kursus, dan organisasi tanpa henti, tetapi tidak disiapkan sumber daya untuk mencapainya. Fasilitas kampus kerap tidak mendukung kolaborasi. Akses internet lambat, ruang diskusi terbatas, dana kegiatan organisasi dipersulit, hingga jadwal kuliah yang tumpang tindih dengan aktivitas non-akademik. Kampus ingin mahasiswanya berkembang dalam banyak aspek, tetapi tidak menyediakan alat bantu apapun.
Lebih parahnya, jika mahasiswa mengeluh soal tekanan yang mereka hadapi, mereka sering dianggap “kurang bersyukur” atau “manja.” Padahal, mahasiswa adalah manusia. Mereka butuh ruang untuk gagal, waktu untuk istirahat, dan dukungan ketika terjatuh. Budaya toxic productivity yang merajalela di lingkungan kampus hanya memperparah keadaan. Mahasiswa yang terlihat sibuk dan tidak tidur dianggap hebat, sementara yang memilih istirahat dan menjaga kesehatan mental dicap pemalas. Ini adalah pola pikir yang harus dihentikan.
Sudah saatnya kampus dan institusi pendidikan tinggi mereformasi cara mereka memperlakukan mahasiswa. Fasilitas harus ditingkatkan, layanan psikolog harus diperluas, dan dukungan finansial untuk kegiatan non-akademik harus dipermudah. Mahasiswa tidak bisa terus-menerus dituntut untuk sempurna tanpa diberi ruang untuk tumbuh. Kampus bukan tempat produksi SDM cepat saji yang langsung siap pakai, melainkan tempat pembentukan karakter dan kemanusiaan.
Kita tidak butuh mahasiswa yang serba bisa tapi depresi, yang punya IPK tinggi tapi kehilangan jati diri, atau yang punya CV gemilang tapi merasa kosong secara emosional. Yang kita butuhkan adalah generasi muda yang seimbang: cerdas, peduli, sehat mental, dan punya ruang untuk berkembang tanpa tekanan berlebihan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kampus mulai bertindak bukan hanya sebagai pemberi tugas, tetapi juga sebagai mitra yang benar-benar peduli pada mahasiswanya.
Multitalenta adalah kata yang indah di atas kertas, tapi bisa berubah jadi beban ketika tidak disertai ekosistem yang sehat. Kalau mahasiswa harus terus dituntut tanpa diberi alat, tanpa didengar keluhannya, dan tanpa ruang pulih, maka kita sedang menciptakan generasi yang lelah sebelum sempat bersinar. Maka mari kita berhenti hanya menuntut, dan mulai menyediakan.
Baca Juga
-
Pemain Keenam di Tribun: Supporter Futsal Punya Peran Strategis
-
Cadangan Tak Pernah Masuk Sejarah: Sisi Lain dari Sejarah Futsal
-
Inflasi IPK: Kini Predikat Cumlaude Menjadi Lazim
-
Politisasi Ormawa: Intervensi Senior Menggerus Idealisme Mahasiswa
-
Generasi Kampus Tanpa Gugatan: Mahasiswa dan Matinya Nalar Kritis
Artikel Terkait
-
Timothy Ronald Ejek Orang Nge-gym, Pendidikan Deddy Corbuzier hingga Ade Rai Lebih Mentereng
-
Pendidikan Timothy Ronald yang Sebut Gym Aktivitas Bodoh, Pilih DO dari Kampus Ternama
-
PKL Bukan Sekadar Formalitas, Saatnya Mahasiswa Belajar dari Realitas
-
Gibran Huzaifah Lulusan Apa? Kini Ditahan Polisi karena Kasus Penggelapan Dana
-
Jejak Ironis Gibran Huzaifah, Ikon Startup yang Tersandung Skandal Miliaran
Kolom
-
Bendera One Piece Berkibar Jelang HUT RI, Saat Budaya Pop Jadi Simbol Perlawanan dan Kritik Sosial
-
Perintis vs Pewaris: Jalan Hidup yang Tak Sama, Beban yang Sama Berat?
-
Dear Pemerintah, Ini Tips Menyikapi Pengibaran Bendera One Piece
-
Ternyata, Feminitas Toksik Masih Membelenggu Kebaya hingga Saat Ini
-
PKL Bukan Sekadar Formalitas, Saatnya Mahasiswa Belajar dari Realitas
Terkini
-
Ulasan Novel Sumur: Sepotong Kisah Getir di Tengah Krisis Lingkungan
-
Ulasan Buku Antara Berjuang dan Menyerah: Arti Tawakal dalam Balut Romansa
-
4 Micellar Water Berbahan Chamomile Cegah Iritasi Aman untuk Kulit Sensitif
-
6 Film Jepang di JFF Theater yang Tayang Agustus 2025, Legal dan Gratis!
-
Keren! Semua Episode Anime Takopi's Original Sin Dapat Rating 9 ke Atas