Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rahmad Dini
Ilustrasi mahasiswa tingkat tengah bersama junior dan seniornya [pexels/George Pak ]

Beberapa tahun terakhir, organisasi mahasiswa di kampus-kampus besar hingga kecil mulai merasakan berkurangnya minat dan partisipasi aktif dari mahasiswa baru. Fenomena degradasi minat mahasiswa dalam berorganisasi ini mencerminkan dinamika perubahan dalam pola pikir generasi kini.

Apa yang sebenarnya menjadi akar penyebab penurunan minat berorganisasi di kalangan mahasiswa? Apakah organisasi kampus mulai kehilangan daya tariknya di tengah gempuran tren baru dan arus digitalisasi yang semakin kuat?

Prioritas yang Beralih

Dalam wawancara dengan beberapa mahasiswa, terungkap bahwa sebagian besar dari mereka merasa bahwa organisasi kampus tidak lagi relevan dengan tuntutan karier mereka.

"Saya ingin fokus membangun personal branding di media sosial, karena sekarang perusahaan lebih melihat itu dibandingkan pengalaman organisasi," ujar Aqila, seorang mahasiswa jurusan Psikologi Islam Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin.

Pandangan seperti ini sejalan dengan data dari Centre of Millennial Studies yang menunjukkan bahwa sekitar 65% mahasiswa lebih memilih mencari pengalaman kerja paruh waktu, freelance, atau internship daripada mengikuti kegiatan organisasi. Dalam survei tersebut, beberapa alasan utama yang dikemukakan meliputi keinginan untuk memiliki pengalaman langsung di lapangan kerja, kebutuhan untuk memperoleh sertifikat atau portofolio yang terlihat, serta fokus untuk membangun relasi yang relevan dengan industri. Perubahan orientasi ini tentu berdampak pada kegiatan organisasi yang selama ini menjadi wadah utama bagi mahasiswa dalam mengasah kemampuan soft skill seperti kepemimpinan, kerja sama tim, dan negosiasi.

Dominasi Media Sosial

Pertumbuhan pesat media sosial juga mendorong mahasiswa untuk lebih memfokuskan diri pada content creation dan digital networking, yang dianggap lebih langsung berdampak pada karier mereka. Dengan adanya platform seperti LinkedIn, Instagram, dan TikTok, mahasiswa kini bisa menunjukkan keahlian dan pencapaian mereka kepada khalayak luas tanpa harus terlibat aktif dalam organisasi formal. Tak hanya itu, media sosial memberikan kebebasan dalam mengekspresikan diri, membangun networking, dan bahkan menciptakan peluang kolaborasi lintas kampus maupun internasional. Bagi banyak mahasiswa, organisasi kampus yang bersifat konvensional tak lagi mampu memberi ruang sebesar yang disediakan media sosial.

Azzam, seorang mahasiswa tingkat akhir yang pernah menjabat sebagai ketua HMJ, mengatakan, "Sekarang mahasiswa lebih suka mengikuti seminar atau pelatihan yang memberi mereka sertifikat, karena dianggap lebih praktis dan langsung berdampak pada CV mereka. Organisasi terlihat kurang menarik karena tidak semuanya memberikan hasil instan yang bisa diakui di dunia kerja".

Tantangan dan Kesempatan Baru bagi Organisasi Kampus

Perubahan orientasi mahasiswa ini tentu menimbulkan tantangan tersendiri bagi organisasi kampus. Jika organisasi mahasiswa ingin kembali relevan di mata mahasiswa generasi kini, diperlukan berbagai perubahan strategi. Organisasi kampus kini harus lebih adaptif dengan menawarkan program-program yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa serta tuntutan dunia kerja. Sebagai contoh, mereka dapat mengintegrasikan teknologi digital dalam kegiatan organisasi, mengadakan program kolaborasi dengan organisasi dari kampus lain, atau menjalin kemitraan dengan perusahaan untuk menyediakan program magang atau sertifikasi.

Relevansi Organisasi dalam Pembentukan Karakter Mahasiswa

Meski begitu, organisasi mahasiswa tetap menjadi tempat utama untuk membentuk karakter kepemimpinan dan kemampuan berpikir kritis yang sulit didapatkan dari platform digital atau pekerjaan lepas. Melalui kegiatan organisasi, mahasiswa belajar menghadapi tantangan nyata yang menguji mental dan emosi mereka. Sebagai sarana latihan soft skills, mahasiswa yang aktif dalam organisasi memiliki keunggulan dalam beradaptasi, berkomunikasi, dan menyelesaikan masalah dalam tim. Mereka terbiasa menangani konflik, mencari solusi bersama, dan bertanggung jawab atas peran mereka masing-masing. Pengalaman ini menjadi bekal penting untuk dunia kerja, di mana kemampuan kerja sama dan kepemimpinan sangat diperlukan dan tidak dapat dibangun hanya dengan pengalaman digital atau kerja mandiri.

Rahmad Dini

Baca Juga