Sekar Anindyah Lamase | Akrima Amalia
Ilustrasi Digital Wellness (Unsplash/Gilles Lambert)
Akrima Amalia

Di penghujung tahun 2025, sebuah fenomena unik melanda masyarakat urban di kota-kota besar Indonesia. Di tengah kecanggihan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan layar ponsel lipat yang kian mutakhir, sebagian orang justru melakukan gerakan putar balik.

Mereka mulai meninggalkan smartphone terbaru mereka di laci meja dan beralih menggunakan ponsel fitur sederhana atau yang kini populer dengan istilah dumbphone.

Gerakan ini bukan sekadar nostalgia, melainkan bagian dari kampanye Digital Wellness. Pertanyaannya, benarkah kembali ke teknologi "jadul" efektif untuk mengurangi stres di era digital yang serba cepat ini?

Kelelahan Digital dan Jebakan Dopamin

Ilustrasi doomscrolling. (Unsplash/Vardan Papikyan)

Riset terbaru menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 7 jam sehari di depan layar ponsel. Paparan informasi yang konstan, mulai dari berita buruk (doomscrolling) hingga standar hidup mewah di media sosial, telah memicu tingkat kecemasan yang tinggi.

Ponsel pintar dirancang dengan sistem penghargaan dopamin yang membuat penggunanya sulit berhenti. Setiap notifikasi, tanda like, atau video singkat yang muncul menjadi distraksi yang memecah konsentrasi.

Inilah yang mendasari banyak orang mulai merasa burnout digital, sebuah kondisi kelelahan mental akibat interaksi berlebihan dengan dunia maya.

HP Jadul sebagai "Rem Darurat"

Ilustrasi HP jadul. (Unsplash/Eirik Solheim)

Ponsel minim fitur menawarkan sesuatu yang mewah di masa kini: keheningan. Tanpa adanya aplikasi Instagram, TikTok, atau grup WhatsApp yang tak henti berdenting, pengguna dipaksa untuk kembali ke fungsi dasar komunikasi, yaitu menelepon dan berkirim pesan singkat (SMS).

Menurut praktisi kesehatan mental, penggunaan ponsel fitur secara teknis membantu otak untuk beristirahat dari information overload. Ketika seseorang tidak lagi memiliki akses instan untuk mengecek media sosial setiap lima menit, otak mereka mulai belajar untuk kembali fokus pada lingkungan sekitar.

"Ini adalah bentuk detoksifikasi. Kita memberi ruang bagi pikiran untuk melamun, berpikir jernih, dan hadir sepenuhnya pada momen saat ini," ungkap seorang pakar psikologi klinis.

Manfaat Nyata yang Dirasakan

Ilustrasi seorang yang produktif setelah menerapkan digital wellness. (Unsplash/Dylan Ferreira)

Mereka yang telah menerapkan gaya hidup ini melaporkan beberapa perubahan signifikan:

  1. Peningkatan Kualitas Tidur: Tanpa paparan blue light dari aplikasi hiburan sebelum tidur, siklus sirkadian tubuh menjadi lebih teratur.
  2. Produktivitas Meningkat: Tanpa distraksi notifikasi, pekerjaan yang biasanya memakan waktu lama dapat diselesaikan lebih cepat karena fokus yang terjaga.
  3. Kualitas Hubungan Sosial: Saat berkumpul dengan keluarga atau teman, tidak ada lagi fenomena phubbing (mengabaikan lawan bicara demi ponsel).

Kesimpulan: Solusi Hybrid

Ilustrasi metode hybrid, keseimbangan antara teknologi dunia maya dengan nyata. (Unsplash/Microsoft 365)

Tentu saja, di tahun 2025, meninggalkan smartphone sepenuhnya hampir mustahil. Kebutuhan akan perbankan digital, transportasi online, dan pekerjaan tetap memerlukan perangkat pintar. Oleh karena itu, tren yang berkembang adalah metode hybrid.

Banyak orang kini menggunakan smartphone hanya pada jam kerja, lalu memindah kartu SIM mereka ke ponsel jadul saat akhir pekan atau setelah jam kantor.

Pada akhirnya, Digital Wellness bukanlah tentang membenci teknologi, melainkan tentang mengambil kendali atas teknologi tersebut. Menggunakan HP jadul terbukti menjadi salah satu cara paling efektif untuk "memaksa" diri kita beristirahat, menurunkan level stres, dan menyadari bahwa hidup yang sebenarnya terjadi di luar layar ponsel.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS