(2 Agustus 2017) Keesokan harinya, persis pukul 3 subuh kami kembali bergerak dari penginapan singkat menuju bandara Halim Perdanakusumah. Kali ini kami terbang ke Semarang Jawa Tengah dengan acara pertama jam 8:00 pagi. Bagi New Yorker jam 8 pagi masih dikategorikan jam bangun tidur. Maklum jam kantor di kota ini adalah jam 9 pagi.
Penerbangan dari Jakarta ke Semarang sangat tidak terasa. Selain karena memang tertidur pulas akibat kelelahan dan ngantuk, juga karena jarak penerbangan memakan waktu yang relatif singkat. Kira-kira mirip penerbangan dari kota New York ke Washington DC atau ke Boston.
Setiba di Semarang kami dijemput oleh dua penjemputan. Yang pertama adalah penjemputan pihak Universitas Wahid Hasyim Semarang. Dan yang kedua adalah penjemput dari pihak penyelenggara acara pengajian jam 10:30 pagi itu. Mungkin karena tidak terjadi koordinasi yang baik antara keduanya maka kedua penjemputan itupun tiba dengan masing-masing dua buah kendaraan. Maka sedikit aneh keluar dari bandara dengan iring-iringan mobil bagai delegasi penting yang sedang tiba.
Saat itu jam masih menunjukkan pukul 6:30 pagi. Sedangkan acara masih jam 8:00 pagi itu. Waktu di antaranya pun kita tidak sia-siakan untuk mencoba kulinari pagi di Semarang. Pilihan kita adalah sebuah restoran sup ayam khas Semarang yang sangat populer. Di saat kami tiba restoran itu masih berbenah, sehingga pintunya masih tertutup. Jam 7 tepat kami diperbolehkan masuk dan langsung menikmati sup ayam yang lezat itu. Sarapan kilat tapi dalam suasana yang sangat nyaman dan santai.
Kami sampai di tempat acara pertama, Universitas Wahid Hasyim Semarang. Memasuki kampus itu membawa sentuhan tersendiri bagi saya. Maklum sekali lagi saya adalah alumni pesantren Muhammadiyah, bahkan penasehat pengurus cabang istimewa Muhammadiyah Amerika. Tidak jarang oleh PP Muhammadiyah, khususnya Biro Luar Negerinya, meminta saya mewakili kepentingan-kepentingan Muhammadiyah di PBB New York. Kerap kali bahkan di saat Pak Din Syamsuddin masih Ketum meminta saya mewakili beliau di acara-acara internasional, khususnya di PBB New York.
Kini saya memasuki universitas yang sangat-sangat identik dengan NU. Kyai Wahid Hasyim adalah pendiri Nahdhatul Ulama. Seorang kyai dan ulama pejuang, dan seorang pejuang nasional yang kyai dan ulama. Organisasi tertua kedua di Indonesia ini, tapi terbesar tidak saja di Indonesia, bahkan dunia, memiliki karakteristiknya yang khas. Pendekatan tradisional spiritualitas agama yang senyawa dengan budaya lokal. Tapi tetap konsisten menjaga otentitas keagamaan. Dzikir dan sholawat senantiasa menjadi penyejuk jiwa di kalangan Nahdhiyin ini. Dan saya begitu sangat nyaman dengan semua itu.
Saya tersentuh pagi itu karena saya sebagai putra bangsa dan umat Indonesia kerap kali risih dan resah dengan perpecahan di antara anggota umat Muhammad yang satu. Saya bukan resah karena perbedaan. Karena saya yakin perbedaan itu menjadi bagian alami dari kehidupan manusia, termasuk dalam pemikiran keagamaan. Tapi perbedaan yang direspon secara salah, bahkan dipahami secara salah inilah yang meresahkan saya selama ini.
Oleh karenanya kehadiran saya di Universitas NU, Wahid Hasyim, terasa membangun jembatan yang secara krusial dibutuhkan oleh umat masa kini. Tiba-tiba saja saya teringat "pengkotak-kotakan" yang terjadi saat ini. Kesalah pahaman yang diikuti oleh permusuhan, bahkan tidak jarang membawa kepada peperangan saudara seiman.
Pagi itu akan diadakan penanda tanganan Memorandum of Understanding (MOU) antara Nusantara Foudation dan Universitas Wahid Hasyim. Walaupun belum ada rencana pasti dari kerjasama ini, ke depan kedua institusi ini akan bisa melakukan kerjasama dalam banyak hal, terutama di bidang dakwah dan pendidikan.
Penanda tanganan kerjasama itu diinisiasi oleh Bapak Dr. Nur Ahmad, mantan rektor Universitas Wahid Hasyim, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI. Beliau juga menjabat sebagai Ketua Yayasan masjid Agung Jawa Tengah yang megah itu. Di masjid inilah keesokan harinya saya dijadwalkan untuk memberikan ceramah umum bihalal yang akan dihadiri oleh Gubernur Jawa Tengah, pimpinan agama dan tokoh masyarakat serta pimpinan ormas-ormas keagamaan dan kemsyarakatan di Jawa Tengah.
Selain itu saya juga memang dijadwalkan menyampaikan kuliah umum (public lecture) dengan tema: "Islam di dunia Barat: tantangan dan peluang". Kuliah umum ini dihadiri oleh rektor, mantan rektor, ketua Yayasan, mantan wagub Jateng, para guru besar dan dosen, serta mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana, termasuk beberapa orang mahasiswa internasional.
Dalam kuliah umum singkat itu saya pada intinya menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi atas penerimaan yang mulia dari Universitas Wahid Hasyim. Kehormatan yang luar biasa, menjadikan saya serasa kembali ke rumah sendiri. Saya juga menegaskan bahwa Indonesia itu adalah bangsa Muslim terbesar dunia, dan karenanya memiliki tanggung jawab untuk membawa obor cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.
Tanggung jawab dakwah ini kemudian lebih relevan karena memang Islam yang dipahami dan diamalkan (praktekkan) di Indonesia adalah Islam yang tersenyum dan bersahabat. Islam yang membuka diri untuk membangun kerjasama dalam kebajikan (ta'awun alal bir). Dan Islam yang bercita-cita membangun kesalehan kolektif. Yaitu kesalehan yang tidak lagi mengenal batas apapun, bahkan batas keyakinan.
Kesalehan kolektif inilah yang terekspresikan dalam firmanNYa: "baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur".
Dalam kuliah umum itu juga saya menceritakan banyak hal tentang perkembangan Islam dan dakwah di Amerika. Intinya saya menyampaikan adanya paradoks situasi Islam di Amerika. Di satu sisi sejak 9/11 mendapat tantangan luar biasa. Bahkan kini dengan terpilihnya Donald Trump tantangan itu semakin menjadi-jadi. Namun di sisi lain Islam berkembang pesat seolah tanpa terhalangi.
Saya mengakhiri kuliah umum itu dengan sekali lagi mengingatkan dua hal:
Satu, pentingnya memelihara kesatuan umat dan bangsa. Bahwa besar kecilnya bangsa ini, maju mundurnya bangsa ini, bangun jatuhnya bangsa ini, semuanya akan ditentukan oleh warga kehidupan umat Islam. Bagaimana tidak? 87% penduduknya adalah umat Islam. Oleh karenanya umat ini tidak perlu mempertengkan, atau dibuat membenturkan, antara loyalitasnya kepada agama dan negara. Hal ini penting karena umat sepanjang sejarahnya selalu ada upaya untuk membenturkannya dengan negara (baca pemerintah/Pancasila & UUD).
Kedua, untuk terjaganya persatuan umat maupun kebangsaan, hal paling mendasar yang perlu dijaga adalah menyadari bahwa keragaman atau berbagai perbedaan yang ada itu adalah alami dalam hidup. Merupakan sunnatullah atau hukum samawi (universal) jika hidup ini tidak monolitik. Dan karenanya selama berada dalam tatanan hidup sosial maka akan ada terus menerus perbedaan. Jika tidak mau berbeda, maka hidup sendirilah di hutan sana.
Tiga, umat kerap kali terjatuh dalam perpecahan dan permusuhan kerap kali disebabkan oleh kesimpulan yang tergesa-gesa dan salah. Ambillah sebagai misal. Dua organisasi Muslim terbesar di negara ini, NU dan Muhammadiyah, masing-masing mengusung tema perjuangannya. NU mengusung tema Islam Nusantara. Sementara Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan.
Sesungguhnya tidak perlu terjadi kecurigaan-kecurigaan itu kalau saja masing-masing tidak tergesa-gesa mengambil kesimpula. Islam Nusantara saya yakin bukan Islam baru, bukan Islam lain, bukan agama baru. Tapi Islam Nusantara hanya ekspresi dari karakter kemanusiaan pemeluknya di bumi Nusantara. Yaitu Muslim dengan karakter tersenyum, ramah, rendah hati, gotonh rotong dan mengedepankan kasih sayang. Demikian pula Islam yang diusung Muhammadiyah tidaklah sama sekali berbeda dari Islam anutan yang lain. Islam berkemajuan hanyalah ekspresi bahwa Islam itu tidak mengajarkan keterbelakangan dan kemiskinan ataupun kebodohan.
Saya mengakhiri kuliah umum saya dengan menyampaikan kenapa Universitas Wahid Hasyim di Semarang dan Nusantara Foundation di New York penting mengadakan kerjasama. Salah satunya karena memang itu adalah tuntunan dunia global.
Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation/Imam Besar Masjid New York
Baca Juga
-
Ulasan Buku TAN: Menelusuri Jejak Kehidupan Tan Malaka Seorang Pejuang
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
-
3 Film Jepang Dibintangi Yuki Amami, Terbaru Fushigi Dagashiya Zenitendo
-
4 Lip Palette Terbaik dengan Pilihan Warna Cantik, Harga Mulai Rp50 Ribuan!
-
Netflix Umumkan Produksi Serial Heartbreak High Season 3 Telah Dimulai
Artikel Terkait
-
Jordi Onsu Terang-terangan Ngaku Temukan Ketenangan dalam Islam
-
Potret Aksi 411 Tuntut Jokowi Diadili dan Fufufafa Ditangkap
-
FPI Bakal Gelar Aksi Reuni 411 di Patung Kuda, Polisi Kerahkan Ribuan Personel Tanpa Senjata Api
-
Profil FPI yang Akan Gelar Aksi Tuntut Tangkap Fufufafa Hari Senin
-
Mengenal Stoikisme: Bagaimana Pandangan Islam terhadap Ajaran Ini?
News
-
Lestarikan Sastra, SMA Negeri 1 Purwakarta Gelar 10 Lomba Bulan Bahasa
-
Jakarta Doodle Fest Vol.2 Hadirkan Moonboy and His Starguide The Musical, dari Ilustrasi Seniman ke Panggung Teater
-
Dibalik Bingkai Gelar Festival Dokumenter Lumbung Sinema: Palaka Loka Sampada
-
Puan Bisa Sediakan Tempat Untuk Membangun Inspirasi Hebat Bagi Perempuan Muda
-
Bersinergi dengan Mahasiswa KKN, Tim PkM Ilkom UNY Gelar Pelatihan Pengembangan Konten Promosi Kampung Wisata
Terkini
-
Ulasan Buku TAN: Menelusuri Jejak Kehidupan Tan Malaka Seorang Pejuang
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
-
3 Film Jepang Dibintangi Yuki Amami, Terbaru Fushigi Dagashiya Zenitendo
-
4 Lip Palette Terbaik dengan Pilihan Warna Cantik, Harga Mulai Rp50 Ribuan!
-
Netflix Umumkan Produksi Serial Heartbreak High Season 3 Telah Dimulai