Dalam dunia demokrasi perbedaan tidak saja sesuatu yang pasti terjadi. Justeru perbedaan menjadi karakter dasarnya. Demokrasi itu hidup karena adanya kebebasan. Dan kebebasan membawa kepada adanya perbedaan-perbedaan. Maka sejatinya kebebasan adalah nyawa demokrasi. Ketika kebebasan dibungkam di saat itu pula demokrasi mengalami mati suri.
Oleh karena kebebasan adalah nyawa demokrasi maka bebas berekspresi merupakan sesuatu yang harus diapresiasi. Melakukan protes misalnya, tatanan demokrasi adalah tanda bahwa demokrasi itu hidup dan dinamis.
Yang menjadi masalah kemudian adalah manusia seringkali tidak jujur dalam menyikapi dinamika dan kehidupan demokrasi itu. Ketika mereka yang dianggap berseberangan melakukan protes, menggunakan hak kebebasannya, mereka dianggap “ancaman demokrasi”. Bahkan tidak jarang dituduh anarkis dan ekstrim.
Sebaliknya ketika mereka yang melakukan protes, sebagai wujud praktek kebebasan dalam tatanan demokrasi yang hidup dan dinamis maka itu adalah murni praktek demokrasi. Dipuji setinggi langit bahkan dianggap penyelamat demokrasi.
Beberapa hari lalu, saat mendapat kehormatan bersilaturrahim dengan Gubernur DKI, Anies Baswesan, saya menekankan pentingnya menjaga keragaman. Tentu di saat berbicara keragaman kita berbicara kemungkinan perbedaan-perbedaan. Saya menyampaikan dan menekankan bahwa pak Gubernur paham betul apa dan bagaimana hidup dalam tatanan masyarakat dengan pluralitas tinggi yang dibangun di atas asas demokrasi. Setuju atau sebaliknya tidak setuju dalam suatu atau banyak hal akan merupakan sesuatu yang lumrah.
Saya memberikan apresiasi tinggi kepada Gubernur DKI atas sikap lapang, ikhlas, dan menerima atas perlakuan sebagian hadirin di peringatan 90 tahun Kolese Kanisius Jakarta. Sebuah sikap demokratis sejati dari seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis dengan kemenangan mayoritas.
Saya tentunya juga mengapresiasi sikap sebagian hadirin yang memprotes kehadiran Gubernur DKI dengan melakukan walk out. Hal seperti ini dalam dunia demokrasi menjadi biasa, bahkan boleh jadi sesuatu yang menjadi tanda dinamika demokrasi itu sendiri.
Yang saya khawatirkan adalah jika protes walk out ini masih merupakan indikasi ketidakmampuan untuk melupakan perihnya kekalahan. Semoga tidak. Tapi kalau ternyata sikap itu adalah bentuk “dendam politik” yang berkepanjangan maka kita sayangkan, sekaligus dapat kita dibayangkan jika kita tidak akan ke mana-mana.
Hal lain yang saya perlu ingatkan adalah sebagai bangsa Indonesia adalah penting memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal. Protes memang adalah tanda kehidupan dan dinamika demokrasi. Tapi bangsa Indonesia juga diikat oleh karakter budayanya dan kearifan lokal yang santun, sopan, dan menghormati tamunya. Saya yakin kedua hal ini tidak harus bertabrakan. Tapi perlu keseimbangan yang disesuaikan dengan sikonnya.
Yang paling penting adalah jangan sampai memilah-milah dalam mengapresiasi praktek demokrasi. Seolah praktek demokrasi itu hanya hak sekelompok orang tertentu. Ketika orang lain mempraktekkan haknya maka nilai yang positif itu berubah menjadi sangat negatif.
Aksi 411 maupun aksi 212 lalu merupakan ekspresi kebebasan dan ruh demokrasi, serta menjadi hak dalam tatanan masyarakat demokratis. Tapi kenapa sebagian orang justeru masih menganggap aksi itu sebagai gerakan radikal dan membahayakan demokrasi?
Di sinilah saya menjadi kadang menjadi bingun dengan berbagai nilai yang dibanggakan oleh dunia kita. Ternyata nilai-nilai itu seperti demokrasi, kebebasan, HAM, dan seterusnya hanya menjadi positif jika menguntungkan pihak tertentu. Sebaliknya jika nilai-nilai itu memihak kepada kelompok lain tiba-tiba saja menjadi negatif dan ancaman.
Apakah memang kita sedang hidup dalam dunia kemunafikan? Wallahu a’lam!
Imam Shamsi Ali
Imam Besar di New York/Presiden Nusantara Foundation
Baca Juga
-
Asnawi Mangkualam Perkuat ASEAN All Stars, Erick Thohir Singgung Kluivert
-
Cinta dalam Balutan Hanbok, 4 Upcoming Drama Historical-Romance Tahun 2025
-
Emansipasi Tanpa Harus Menyerupai Laki-Laki
-
Stray Kids Raih Sertifikasi Gold Keempat di Prancis Lewat Album HOP
-
Ulasan Novel 1984: Distopia yang Semakin Relevan di Dunia Modern
Artikel Terkait
-
Makna Gaun Pernikahan Mutiara Baswedan Rancangan Didit Hediprasetyo, Prabowo Spill Tak Dibayar
-
Film Jumbo Dipuji Anies Baswedan, Benih Lahirnya Studio Ghibli Tanah Air
-
Intip Baju Pernikahan Anak Anies Baswedan, Dirancang Khusus oleh Didit Hediprasetyo Anak Prabowo
-
Bak Pinang Dibelah Dua: Gaya Komunikasi PM Singapura Disandingkan Anies Baswedan
-
Detik-detik Prabowo Ungkap Anies Baswedan Tak Bayar Baju Rancangan Didit Hediprasetyo
News
-
Lawson Ajak Jurnalis dan Influencer Kenali Arabika Gayo Lebih Dekat
-
Resmi Cerai, Ini 5 Perjalanan Rumah Tangga Baim Wong dan Paula Verhoeven
-
Mahasiswa PPG FKIP Unila Asah Religiusitas Awardee YBM BRILiaN Lewat Puisi
-
Jobstreet by SEEK presents Mega Career Expo 2025: Temukan Peluang Kariermu!
-
Sungai Tungkal Meluap Deras, Begini Nasib Pemudik Sumatra di Kemacetan
Terkini
-
Asnawi Mangkualam Perkuat ASEAN All Stars, Erick Thohir Singgung Kluivert
-
Cinta dalam Balutan Hanbok, 4 Upcoming Drama Historical-Romance Tahun 2025
-
Emansipasi Tanpa Harus Menyerupai Laki-Laki
-
Stray Kids Raih Sertifikasi Gold Keempat di Prancis Lewat Album HOP
-
Ulasan Novel 1984: Distopia yang Semakin Relevan di Dunia Modern