Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Seftiana
ilustrasi book fair [shutterstock]

Sederhananya, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis dalam setidaknya satu bahasa. Jadi hampir semua orang di negara maju pasti menerapkan budaya literasi dalam dunia pendidikan maupun dunia kerja. Kami mengambil sebuah kutipan dalam buku The Literacy Wars yang berisi pendapat bahwa "Tidak ada satu pun, pandangan yang benar tentang keaksaraan yang akan diterima secara universal. Ada sejumlah definisi yang bersaing dan definisi ini terus berubah dan berkembang."

Kutipan tersebut memunculkan beberapa masalah tentang Kurangnya Budaya Literasi. Seberapa perlu literasi? Apa kekuatan dari literasi dan evolusinya? Menerapkan literasi merupakan hak asasi manusia. Alat pemberdayaan pribadi dan sarana untuk pembangunan sosial dan manusia. Peluang pendidikan tergantung pada literasi.

Literasi adalah jantung dari pendidikan dasar untuk semua dan penting untuk memberantas kemiskinan serta membuat orang-orang kaya akan ilmu yang bisa berguna bagi mereka.

Gagagasan Literasi

Gagasan literasi dasar digunakan untuk pembelajaran awal membaca dan menulis, yang harus dilalui oleh orang dewasa yang belum sekolah. Istilah literasi fungsional disimpan untuk tingkat membaca dan menulis yang menurut orang dewasa dibutuhkan dalam masyarakat modern yang kompleks.

Penggunaan istilah ini menggarisbawahi gagasan bahwa meskipun orang mungkin memiliki tingkat dasar literasi, mereka memerlukan tingkat yang berbeda untuk beroperasi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Penerapan Literasi

Memperoleh literasi lebih dari pada mendominasi secara psikologis dan mekanis teknik membaca dan menulis. Ini adalah mendominasi teknik-teknik itu dalam hal kesadaran untuk memahami apa yang dibaca dan untuk menulis apa yang dipahami. Hal tersebut merupakan suatu komunikasi secara grafis.

Memperoleh literasi tidak melibatkan menghafal kalimat, kata-kata atau suku kata, objek tak bernyawa yang tidak terhubung ke alam semesta eksistensial, tetapi lebih merupakan sikap penciptaan dan transformasi diri menghasilkan sikap intervensi dalam konteks seseorang.

Hampir tidak ada budaya lisan atau budaya lisan dominan yang tersisa di dunia saat ini yang entah bagaimana tidak menyadari kompleks kekuatan yang luas selamanya tidak dapat diakses tanpa menerapkan budaya literasi.

Dampak Negatif dari Kurangnya Budaya Literasi bagi Generasi Milenial

Remaja milenial sangat membutuhkan bimbingan tentang literasi. Hal tersebut merupakan salah satu di antara banyak kecakapan hidup yang diyakini orang tua dan pendidik bisa menggunakan pemolesan. Generasi milenial seharusnya menjadi orang yang benar-benar berprestasi dalam hal pengetahuan kelas yang terstruktur. Saat ini, rekor jumlah anak berusia 25 hingga 29 tahun memiliki gelar dari perguruan tinggi empat tahun sebanyak 33 persen dan sekolah menengah sebanyak 90 persen.

Faktanya, generasi milenial tidak terbiasa dengan berbagai kecakapan hidup yang luas. Mereka  cenderung tidak  tahu cara menjahit, membuat perbaikan dasar rumah, atau mengendarai mobil transmisi manual. Dengan Global Positioning System (GPS) yang selalu ada di ujung jari mereka, banyak yang tidak pernah benar-benar belajar menggunakan landmark fisik untuk membimbing mereka. Beberapa bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana orang berfungsi sebelum IT Mobile.

Beberapa faktor telah mendorong penurunan keterampilan hidup ini. Pada satu tingkat, kemajuan teknologi telah membuat banyak dari mereka menjadi usang, seperti tulisan tangan dan membaca peta. Akses konstan ke Internet juga membuat generasi muda merasa mereka tidak perlu tahu bagaimana melakukan hal-hal tertentu sendiri.

Lalu, Bagaimana Upaya Generasi Milenial untuk Mengatasi Kurangnya Budaya Literasi Tersebut?

Dengan pernyataan ini, kami telah memahami bahwa literasi budaya harus dimulai dari dalam sistem pendidikan. Sekolah-sekolah menjadi tidak fokus pada isu-isu utama tentang literasi dan pendidikan, yaitu bahwa keaksaraan universal melibatkan informasi umum yang harus dibagi di antara para siswa.

Informasi ini adalah tulang punggung masyarakat demokratis kita. Sekolah-sekolah tidak berdaya dalam mendidik murid-murid mereka dengan benar karena mereka telah mengajarkan kurikulum yang beragam yang memungkinkan penurunan literasi budaya.

Kami berpendapat bahwa, untuk naik kembali ke masyarakat yang sangat terliterasi, sistem pendidikan harus memperketat kursus mereka dan menawarkan kurikulum arus utama. Kami mengemukakan beberapa masalah utama dalam esainya tentang kondisi pendidikan saat ini dan menurunnya sarana komunikasi masyarakat Indonesia. Argumennya terbukti efektif karena ia menulis tentang masalah utama masyarakat yang berfungsi, yaitu literasi budaya.

Kami memiliki pandangan yang ketat tentang apa budaya arus utama itu, dan di situlah argumennya kehilangan beberapa kilauannya. Dia tidak secara efektif membahas apa yang menjadi bahan utama, tetapi argumennya bahwa itu harus diajarkan adalah beralasan. Penerapan pendidikan multikultural juga sangat berperan dalam meingkatkan literasi.

Apa Itu Pendidikan Multikultural?

Pendidikan multikultural merupakan proses reformasi sekolah yang memastikan pendidikan yang adil bagi semua siswa dengan merangkul keberagaman dan menegaskan pluralisme dalam praktik pedagogis. Beberapa sarjana berpendapat bahwa pedagogi kritis adalah filosofi dasar dari pendidikan multikultural, tetapi berbagai sarjana mendefinisikan konsep secara berbeda. Sebagian besar setuju bahwa tujuan pendidikan multikultural adalah perubahan untuk meningkatkan budaya literasi.

Seftiana

Baca Juga