Pada akhir tahun 2019 sederet kasus yang menerpa BUMN mencuat ke permukaan. Mulai dari kasus penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton di pesawat Garuda Indonesia yang menyeret sejumlah petinggi PT. Garuda Indonesia Tbk (persero), hingga PT. Krakatau Steel Tbk (persero) yang merugi selama 7 tahun berturut-turut.
Adapun kasus gagal bayar PT. Asuransi Jiwasraya menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Kementerian BUMN untuk membenahi kinerja beberapa perusahaan yang dirasa sangat jauh dari makna berkualitas.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan tahun 2019, dari total 113 BUMN, 34 diantaranya memiliki saldo laba yang negatif pada akhir 2018. Total kerugian yang tercatat senilai Rp 97,44 triliun. Berikut 5 besar BUMN yang memcatatkan kerugian pada akhir tahun 2018, yaitu PT Dirgantara Indonesia (Persero) tercatat memiliki kerugian terbesar yakni senilai Rp 19,67 triliun.
Kemudian di urutan kedua adalah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan saldo rugi Rp 13,08 triliun. Pada urutan ketiga, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) dengan saldo rugi mencapai Rp. 11,77 triliun.
Urutan keempat, PT Perkebunan Nusantara III (Persero) dengan saldo rugi mencapai Rp 10,84 triliun. Kemudian, urutan kelima adalah PT Krakatau Steel (Persero) yang mencatatkan kerugian sebesar 9,76 triliun.
Menurut survei dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan survei Ekonomi Indonesia 2018, menyebut tren pertumbuhan utang BUMN yang melebihi pertumbuhan ekonomi nasional mengundang kekhawatiran.
Hal ini diperparah dengan beberapa BUMN yang mengalami kerugian, sehingga kerugian yang ditanggung BUMN mendorong pemerintah untuk melakukan suntikan modal yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Sehingga, Kementerian BUMN melakukan tindakan preventif dalam menangani permasalahan di tubuh perusahaan BUMN, agar kinerja dapat meningkat dan dapat menghasilkan laba yang maksimal.
Kementerian BUMN melakukannya dengan mengevaluasi terhadap anak usaha dan perusahaan patungan yang kinerjanya tidak bagus, memperbaiki core business, merombak direksi dan komisaris, membentuk holding asuransi, membentuk klaster BUMN sesuai dengan sektornya masing-masing, membagi kelompok perusahaan yang menguntungkan dan dead-weight, menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) terkait pelimpahan wewenang untuk melakukan merger dan likuidasi terhadap perusahaan BUMN yang berkinerja buruk dan tidak mempunyai fungsi pelayanan masyarakat.
Oleh: Lora Wita / Penerima Beasiswa BMM
Tag
Artikel Terkait
-
Bantu Genjot Pariwisata Imbas Corona, Garuda Beri Diskon Tiket Pesawat
-
Khawatir Virus Corona, Garuda Tunda Angkutan Jamaah Umrah
-
Angkut Tim Evakuasi WNI ke Jepang, Dirut Garuda: Pesawatnya Lega
-
Apa Kabar Moge Sitaan Eks Bos Garuda Indonesia, Sudah Dilelang?
-
Sewa Pesawat Garuda, Pemerintah Tak Ingin Jokowi Capek Saat ke Amerika
News
-
Rakernas IMA 2025 Soroti Pemasaran sebagai Kunci UMKM Tembus Pasar Global
-
7 Rekomendasi Cushion Minim Oksidasi, Ringan dan Awet Sepanjang Hari
-
Bahas Evaluasi Formatif, Dr. Elfis Isi Kuliah Umum di UIN Bukittinggi
-
Tiga Pilar Kedamaian: Solusi Atasi Emosi di Lapas Narkotika Muara Sabak
-
Balap Liar Bukan Tren Keren: Psikologi UNJA Ajak Siswa Buka Mata dan Hati
Terkini
-
Air Terjun Sumber Pitu Tumpang: Surga Tersembunyi di Malang Timur
-
5 Rekomendasi Film Baru Sambut Akhir Pekan, Ada How to Train Your Dragon!
-
Piala Presiden 2025 Janjikan Hadiah Fantastis Meski Tak Sentuh Uang Negara
-
4 Inspirasi Gaya Rambut ala Ziva Magnolya yang Cocok Buat Pipi Chubby!
-
Rasa Rindu di Balik Sepiring Indomie Goreng yang Sederhana