Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Kendaraan melintas di Jalan Sudirman, Jakarta, Senin (14/8). [Suara.com/Oke Atmaja]

Pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta mulai Senin (14/9) menuai tentangan dari banyak pihak karena dianggap akan membawa dampak buruk bagi perekonomian nasional, termasuk bagi pengusaha kecil dan menengah.

Ekonom UGM, Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., Ph.D, mengungkapkan bahwa pemberlakuan PSBB kali ini tidak akan sampai menghentikan roda perekonomian atau memberi dampak sebesar saat pemberlakuan PSBB pertama pada bulan April silam.

“Sebenarnya sudah ada adaptasi setelah PSBB pertama. Ketika saat ini ada PSBB kedua saya merasa lebih optimis karena kita sudah melewati learning process,” ucapnya.

Ia menjelaskan, saat pemberlakuan PSBB pertama, banyak masyarakat dan pelaku usaha yang belum bisa sepenuhnya melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang muncul akibat pandemi.

“Yang terjadi pada bulan Maret hingga Mei lalu dalam banyak hal semua masih meraba-raba, masih mencoba mana yang bisa jalan, mana yang tidak. Tapi sekarang saya kira semua sudah mulai tahu apa yang dapat dilakukan,” kata Rimawan.

Terkait kekhawatiran terhadap nasib UMKM, ia mengatakan bahwa justru UMKM akan bisa bertahan di dalam masa krisis, karena sudah terbiasa menjalankan usaha secara dinamis di tengah kondisi pasar yang tidak menentu. Bahkan banyak usaha-usaha baru yang justru muncul di tengah pandemi.

Layanan pembelian bahan makanan secara daring serta jasa penyelenggara acara pernikahan secara virtual menjadi beberapa contoh peluang usaha yang muncul dan berkembang beberapa bulan belakangan sebagai hasil dari proses pembelajaran dan adaptasi dengan kondisi yang baru.

“Layanan virtual wedding, misalnya, itu ada delapan sektor ekonomi yang digerakkan, jadi roda perekonomian itu tetap berjalan,” paparnya.

Keberadaan UMKM yang menyumbang sekitar 60 persen perekonomian nasional, menurutnya, menjadi keunggulan tersendiri yang dimiliki Indonesia dibanding negara-negara maju yang lebih banyak mengandalkan industri-industri besar.

Untuk mengaktifkan perekonomian, pemerintah menurutnya perlu lebih mendorong sektor UMKM. Ia juga menilai perlu ada perubahan pada key performance indicator yang lebih diarahkan pada pencapaian outcome dan bukan penyerapan anggaran.

“Penyerapan anggaran dari Rp 700 Triliun yang terserap hanya dua puluh persen. Ini yang keliru dari cara berpikir selama ini, pemerintah memberikan stimulus fiskal secara makro padahal pada tingkat mikro proses bisnis sudah berubah 180 derajat,” terangnya.

Di tengah masa pandemi, masyarakat dan pemerintah menurutnya perlu bersikap realistis dengan tidak memiliki ekspektasi yang berlebihan, serta menyadari bahwa pola pikir serta kebijakan yang lama tidak lagi relevan untuk diterapkan.

“Kita harus memahami sekarang semua negara mengalami kondisi yang sulit. Mari menata ekspektasi, jangan lagi bicara high growth rate, tapi bagaimana bisa bertahan melewati situasi yang ada,” kata Rimawan.

Pemerintah di tingkat pusat dan daerah pun perlu saling mendukung agar terdapat kebijakan yang jelas dan konsisten. Hal ini menjadi penting karena kepercayaan masyarakat akan ditentukan oleh integritas, transparansi, serta kebijakan yang berfokus pada hasil.

“Jangan sampai gubernur mengatakan A pemerintah mengatakan B, atau sebaliknya. Butuh kebersamaan, sehingga kemudian masyarakat akan mengikuti,” ucapnya.

Oleh: HUMAS UGM