Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi penjara [Shutterstock]

Tahun ini menjadi tahun yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di mana sabab musababnya adalah munculnya pandemi virus Corona. Virus yang tak kasat mata tersebut, menjadi seperti pembatas mobilitas di sendi kehidupan umat manusia saat ini.

Celakanya, mobilitas di dunia luar yang terbatas, akhirnya berimbas pada fenomena baru di tengah masyarakat, salah satunya adalah sosialisasi antar sesama manusia yang sarat dengan rasa curiga atau seperti slogannya penjara “Awas Jangan-jangan” ada virus Corona bersemayam dalam diri orang di hadapannya. Barangkali jika virus tersebut adalah sang pemimpin, ia mirip pemimpin diktator yang berhasil mengendalikan paksa kebiasaan baru rakyatnya.

Bukan hanya masyarakat di luar saja yang akhirnya merasakan imbasnya, akan tetapi juga berdampak pada masyarakat yang tengah menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan, atau yang sering dikenal dengan narapidana. Selain itu, dampak yang nyata walau tak kasat mata adalah kondisi kesehatan mentalnya. Padahal problem klasik yang lebih dulu ada dibandingkan Corona, seperti overkapasitas lapas saja sudah cukup membuat penanggulangan gangguan psikologi dan kesehatan mental tidak sepenuhnya berjalan, otomatis dengan adanya kejadian tak terduga ini akan semakin tinggi tantangan pembinaannya.

Mengapa semakin tinggi tantangannya? Sabab musababnya adalah keleluasaan hak untuk dikunjungi sanak saudaranya tentunya menjadi terbatas atau bahakan tertutup untuk sementara waktu lewat layanan kunjungan tatap muka. Ditutupnya besukan tatap muka untuk sementara waktu sesuai dengan instruksi dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS), guna mencegah terjadinya penyebaran virus Corona di dalam lembaga pemasyarakatan.

Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwasanya Dirjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM Reynhard Silitonga dalam diskusi yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) secara daring pada senin 29 Juni 2020 lalu, ia mengatakan bahwa total tahanan ataupun narapidana telah terpapar Covid-19 sebanyak 100 orang. Langkah menutup akses sementara besukan tersebut adalah langkah yang lebih baik, dibandingkan dengan membiarkan terjadinya transmisi penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan yang sedang dirundung overkapasitas hunian.

Hal ini memang menjadi dilema, karena dengan tiadanya besukan, artinya akan membuat narapidana merasa terputus hubungan dengan keluarganya yang dijadikannya sebagai penguat mentalnya selama menjalani hukuman di penjara.

Akan tetapi jika besukan tatap muka dilaksanakan juga membuat potensi penularan virus bisa terjadi. Bahkan dengan menerapkan protokol kesehatan sekalipun, rasanya akan sulit untuk tidak berkontak fisik, terlebih dengan banyaknya jumlah pembesuk yang tidak sebanding dengan kondisi infrastruktur yang ada.

Tidak hanya itu saja, kontak fisik saat besukan juga sulit untuk di hindari, karena dengan bertemu keluarga sebagai orang terkasih, kontak fisik minimal berjabat tangan adalah laksana obat rindu yang menentramkan hati. Memang hal ini dapat diatasi, bilamana narapidana dapat mencari dukungan sosialnya sendiri, melalui rekan sesama narapidana atau kemampuan petugas lapas dalam menanggulangi problem psikologis narapidana yang muncul.

Dalam praktiknya di lapangan, ternyata dukungan sumber daya manusia yang mengerti akan psikologis ini tidaklah merata di seluruh lapas-lapas yang ada di Indonesia. Dengan overkapasitas yang terjadi di lapas-lapas seluruh indonesia ketepatan dalam perawatan, penanganan dan pembinaan narapidana adalah kunci utama.

Data yang tercatat di sistem database pemasyarakatan hingga Oktober 2020, untuk jumlah narapidana di seluruh indonesia mencapai 235,284 dan kapasitas hunian penjara yang ada hanya 133,454. Artinya jumlah overkapasitas mencapai 76%.

Selain memunculkan potensi gangguan ketertiban dan keamanan, kelebihan muatan yang terjadi membuat pembinaan narapidana tidak berjalan maksimal. Saling berebut ruang untuk sejenak memejamkan mata, hingga berebut nafas akhirnya tak bisa dihindari.

Sebagian narapidana yang belum tuntas dengan penerimaan akan hukuman yang dijalani atau munculnya permasalahan baru terhadap keluarga mereka di luar penjara semakin memperumit keadaan mereka. Sejauh ini penanganan yang ada masih sebatas memaksimalkan pembinaan dengan pendekatan rohani. Itu pun terkadang tidak semua narapidana yang mau untuk mendatangi kegiatan pembinaan, lantaran mereka mencoba memaksimalkan waktu untuk istirahat atau sekdear berebut air untuk mandi dan mencuci.

Penanganan masalah psikologis dan kesehatan mental ini ibarat seperti tebak-tebakan saja dan mengira-ngira semata. Diibaratkan perang, musuh lurus di depan mata, namun sang prajurit justru menembaki kesegala arah terlebih dahulu sebelum menembak lurus kedepan secara langsung.

Hal ini sama saja membuang-buang waktu, tenaga, dan peluru atau tidak efisien. Terlebih dengan banyaknya narapidana yang juga harus di urus. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, gesekan antar narapidana akan terjadi, sampai dengan potensi bunuh diri akibat depresi.

Sejatinya ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah dalam hal menanggulanginya. Misalnya dengan membangun lapas dan rutan baru, meningkatkan sarana dan prasarana dengan konsekuensi pembiayaan yang lebih besar, atau yang lebih relevan adalah meningkatkan sumber daya yang ada lewat pelatihan atau beasiswa.

Untuk beberapa pelatihan memang sudah mulai digalakan, walaupun belum secara optimal terkhusus pelatihan yang memang berkaitan dengan teknis penanganan psikologis narapidana. Dan yang tidak dapat disepelekan adalah naluri sebagai petugas pemasyarakatan yang diamanahi oleh negara untuk selalu meningkatkan pelayanan, dan ikhlas dalam menjalankan tugas.

Begitu pentingnya menjaga kesehatan mental narapidana terlebih di masa Covid-19 ini adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan. Efek domino dari pandemi Covid-19 ini, satu persatu telah memperlihatkan akibatnya, yaitu terputusnya dukungan sosial keluarga akibat tidak bisa bertemunya lewat besukan tatap muka.

Semoga momentum hari kesehatan mental sedunia ini dapat dirasakan seluruh rakyat indonesia, juga narapidana agar sukses menjalani hukumannya sebagai bagian dari introspeksi menjadi manusia yang lebih baik saat bebas nantinya.

Oleh: Muhamad Fadhol Tamimy, S.Psi / Sipir Penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tenggarong

Baca Juga