Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Presiden Jokowi didampingi Wapres Ma'ruf Amin mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 di Istana Kepresidenan, Rabu (23/10/2019). (Antara)

Isu perombakan (reshuffle) kabinet pada beberapa waktu lalu sempat mengemuka, disebabkan banyak argumentasi tafsir politik di mana pada saat itu pidato Jokowi bernada marah kepada jajaran menterinya atas kinerja penanganan Covid-19. Tetapi dari banyaknya argumentasi tafsir politik tersebut, Jokowi belum juga melakukan perombakan (reshuffle) kabinet, padahal nama-nama menteri yang akan diganti sudah mulai banyak spekulasi di berbagai media mainstream maupun sosial media.

Waktu demi waktu berlalu, setelah tafsiran politik itu mengemuka di mana-mana, tiba-tiba berita mengabarkan pada tanggal 25 November 2020 KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo, walaupun sampai tulisan ini ditulis status hukum dari Edhy Prabowo tersebut masih belum dipublikasikan. Tetapi  tentunya berita ini sangat mengejutkan masyarakat karena disituasi pandemi Covid-19 seperti ini masih ada pejabat negara tingkat elit yang sempat-sempatnya melakukan perbuatan keji tersebut yaitu dugaan tindak pidana korupsi.

Jika kita tarik mundur kebelakang menteri KKP Edhy Prabowo ini sempat menjadi daftar 5 menteri kinerja terburuk menurut survei yang dirilis lembaga survei Arus Survei Indonesia (ASI), Jumat (19/6/2020). Selain itu menteri KKP ini juga sempat membuat heboh masyarakat karena membuat kebijakan ekspor benur atau benih lobster dan kebijakan itu pula yang membuat menteri KKP ini ditangkap oleh KPK.

Kedua faktor tersebut dari kinerja hingga kebijakan ekspor benih lobster yang kontroversi menjadikan nama Edhy Prabowo sempat menjadi list nama yang akan direshuffle pada isu kemarin saat pidato Jokowi marah kepada jajaran kementerian yang sempat mengatakan bahwa Jokowi tidak segan-segan untuk reshuffle kabinetnya.

Pola Reshuffle Kabinet

Menurut Gun-Gun Heryanto dalam bukunya Problematika Komunikasi Politik, rencana resfhuffle kabinet biasanya dipacu oleh tiga faktor. Pertama, pernyataan presiden sendiri yang ditangkap sebagian kalangan mengindikasikan kekecewaan atas capaian kinerja satu atau beberapa pos kementerian. Hal pertama ini sebenarnya sudah sempat terjadi karena pada saat pidato Jokowi merah kepada jajaran kementeriannya, presiden sempat mengatakan bahwa ia tidak segan-segan untuk reshuffle kabinet. 

Kedua, isu perombakan ramai setiap mendekati bulan-bulan evaluasi tahunan kinerja menteri dan kementrian dan Ketiga, faktor pemantiknya adalah soal relasi kuasa (power relations). Faktor ketiga ini biasanya lebih bersifat politis misalnya didalam tengah perjalanan pemerintahan, koalisi pemerintahan mengajak salah satu partai oposisi untuk bergabung berasama koalisi pemerintahan hingga akhirnya perombakan kabinet dilakukan untuk kepentingan power sharing tersebut. Begitu juga dengan sebaliknya jika didalam koalisi ada satu partai yang tidak solid dalam mendukung program pemerintah biasanya reshuffle kabinet akan terjadi.

Jika melihat dari pola reshuffle kabinet diatas, Edhy Prabowo seharusnya sudah pantas dilakukan pencopotan dari jajaran kementerian Kabinet Kerja Jilid Dua karena dari ketiga faktor pola reshuffle kabinet, Edhy Prabowo sudah sangat memunuhi faktor-faktor tersebut untuk dilakukan pencopotan jabatan.

Bukan hanya soal kinerja yang buruk, faktor merusak citra pemerintahan Jokowi juga menjadi faktor yang harus dipikirkan oleh presiden. Dengan ditangkapnya Edhy oleh KPK setidaknya telah membuat citra pemerintah tercoreng karena disituasi sulit resesi seperti ini mengapa masih ada pejabat negara yaitu pembantu presiden melakukan dugaan tindak pidana korupsi. Bukan hanya hal itu saja, citra juga merusak kinerja pemerintahan Jokowi disektor kelautan, padahal pada Kabinet Kerja Jilid Satu pada era menteri KKP Susi Pudjiastuti kinerja dan citra kementerian KKP cukup baik, tetapi dengan adanya kasus ini bisa merusak citra KKP yang selama ini terbentuk.

Momentum Reshuffle Kabinet

Maka dari itu Presiden Jokowi selayaknya sudah pantas melakukan reshuffle kabinet minimal pada satu kementerian yaitu KKP. Tetapi pada momentum seperti ini biasanya reshuffle kabinet bisa lebih dari satu jajaran kementerian, karena menurut hemat penulis ini adalah momentum yang tepat bagi presiden melakukan reshuffle kabinet untuk evaluasi kinerja kedepan yang lebih baik. khususnya pada evaluasi penanganan Covid-19 dan juga pemulihan ekonomi.

Penulis juga menitip pesan agar perombakan kabinet diharapkan bisa kepada perombakan yang bersifat substantif di mana menimalisir perombakan kabinet yang bersifat power sharing. Dalam situasi yang tidak biasa seperti ini, presiden harus melakukan tindakan yang luar biasa atau out of the box, diantaranya adalah melakukan reshuffle kabinet yang lebih mengutamakan pergantian orang-orang profesional dalam bidang kementerian terkait.

Penulis: Muhammad Farras Fadhilsyah ( Analis Komunikasi Politik Kajian Kopi Malam Institute)