Beberapa hari yang lalu, masyarakat Indonesia disibukkan dengan pesta demokrasi di daerahnya masing-masing. Masa pra-Pilkada tidak pernah terlepas dari aktivitas suap-menyuap atau juga dikenal dengan serangan fajar. Fenomena yang membudaya seperti ini, harusnya perlu diedukasi oleh pihak yang berwenang. Praktip suap dan korupsi justru menumbuhkan persaingan yang tidak sehat antar lawan. Para calon mengedepankan suara terbanyak dengan merajarelakan praktik suap.
Melansir dari Suara.com disebutkan bahwa Kepala BPS Kecuk Suhariyanto merasa cemas dengan hasil ini Pilkada tahun ini karena pesta demokrasi masih tercoreng prilaku sogok menyogok.
"Ini yang bagi saya agak mencemaskan terutama pada poin penerimaan pembagian uang, barang atau fasilitas atau pemilu di sana masyarakat yang menganggap bahwa menerima uang pada saat Pilkada atau pemilu yang mengatakan itu wajar itu meningkat dari 20,89 persen ke 32,74 persen," kata Kecuk dalam konferensi pers melalui video teleconference di Jakarta, Senin (15/6/2020).
Praktik suap dan korupsi yang sudah diatur tindak pidananya dalam Undang-Undang sepertinya tidak memberikan efek jera bagi pelaku baik penyuap maupun penerima suap.
Praktik suap seperti ini tidak cukup jika hanya diingatkan dan ditegaskan dari sudut pandang Undang-Undang saja. Kalangan intelektual dan ulama Indonesia semestinya ikut turun tangan untuk mengedukasi masyarakat dari sudut pandang agama agar tidak lagi menerima uang suap dari oknum berkepentingan.
Dalam pandangan Islam, perbuatan yang dilakukan oleh calon kepala daerah dengan membagi-bagikan uang kepada masyarakat agar masyarakat memilihnya pada Pemilihan Kepala Daerah merupakan tindakan suap, dan hal tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Nama lain suap dalam bahasa Arab adalah risywah. Kata risywah berasal dari rasya-yarsyu yang memiliki beberapa makna yang saling berdekatan sebagaimana dikompilasi dalam kamus Lisan al-Arab (IV : 322-323).
Satu pendapat mengatakan Risywah juga dimaknai sebagai ju’lun artinya hadiah, ada juga yang memaknai sebagai al-wushlah ila haajah bil-mushaana’ah, cara sampai pada satu keperluan dengan berbagai rekayasa. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa praktik bagi bagi uang yang dilalukan oleh pihak yang berkepentingan kepada masyarakat termasuk kategori suap dalam tindak pidana korupsi.
Perbuatan risywah hukumnya haram berdasarkan beberapa dalil berikut:
Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” [QS. al-Maidah (5): 42]
Kalimat akkaaluuna lissuhti secara umum sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya adalah memakan harta dari perbuatan risywah. Penafsiran ini sesuai dengan penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis dari riwayat Ibnu Jarir sebagai berikut:
:
Artinya: “Diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda: Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht), nerakalah yang paling layak untuknya. Mereka bertanya: Hai Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud? Beliau menjawab: Suap dalam perkara hukum.” [HR. Ibnu Jarir]
Dijelaskan pula dalam hadis lain dari riwayat Ahmad sebagai berikut:
: :
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah Melaknat penyuap dan yang disuap.” [HR. Ahmad]
Dari dalil-dalil di atas dapat dipahami bahwa penyuap dan penerima suap, keduanya akan mendapat laknat Allah. Sehingga telah jelas di sini, bahwa praktik suap hukumnya haram.
Kendati demikian, masih ada beberapa masyarakat yang mempertanyakan hukum menerima uang suap kemudian disedekahkan. Kecendurangan untuk menolak uang tersebut terlihat sulit lantaran bentuk menghormati dan menghargai sedangkan mereka mengetahui bahwa menerima suap adalah sesuatu yang dilarang dan harus dihindari.
Oleh karenanya, ditemukan anggapan bahwa 'dengan disedekahkan, maka terhindar dari dosa penerima suap'. Anggapan ini harus ditinjau ulang sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat menurut sudut pandang agama.
Dalam sebuah hadis dikatakan
: :
Dari Abi Hurairah berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja' HR. Muslim
Dari hadis di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa uang yang berasal dari sumber yang haram, walaupun dipergunakan untuk tujuan yang baik maka tetap saja amalnya ditolak karena Allah swt hanya menerima yang baik-baik saja.
Waallahu a'lamu bi as-shawwab
Sumber:
https://fatwatarjih.or.id/hukum-suap-risywah-pada-saat-pemilu/
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Warga Jakarta Nyoblos 27 November, Pegawai Disdukcapil Bakal Lembur hingga Malam Hari, Mengapa?
-
Perludem Temukan Lebih 3.000 Kasus Dugaan ASN Tak Netral di Pilkada 2024: Ini Dosa Prabowo
-
Jokowi Absen di Kampanye Akbar karena Tahu RK-Suswono Bakal Keok di Jakarta? Pakar: Daripada Dia Malu
-
Jelang Pencoblosan Pilkada, Prabowo Ditantang Sampaikan Pidato Arahan ASN Harus Netral
-
6 Langkah Solusi Belum Dapat Undangan Pencoblosan Pilkada 2024
News
-
Dari Kelas Berbagi, Kampung Halaman Bangkitkan Remaja Negeri
-
Yoursay Talk Unlocking New Opportunity: Tips dan Trik Lolos Beasiswa di Luar Negeri!
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
Terkini
-
Janji Menguap Kampanye dan Masyarakat yang Tetap Mudah Percaya
-
Kehidupan Seru hingga Penuh Haru Para Driver Ojek Online dalam Webtoon Cao!
-
4 Rekomendasi OOTD Rora BABYMONSTER yang Wajib Kamu Sontek untuk Gaya Kekinian
-
Dituntut Selalu Sempurna, Rose BLACKPINK Ungkap Sulitnya Jadi Idol K-Pop
-
Ulasan Film The French Dispact: Menyelami Dunia Jurnalisme dengan Gaya Unik