Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Charia Roswita
Petani memanen buah kelapa sawit di ladangnya, Nagari Tapakis, Padangpariaman, Sumbar. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Sektor industri sawit merupakan sektor industri yang memberikan kontribusi tinggi bagi perekonomian Indonesia. Misalnya, kontribusi sawit yang sampai tahun 2019 memberikan peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor ini. Dimana jumlah petani swadaya telah mencapai 2.6 juta dan pekerja non-petani telah mencapai 4.3 juta, lalu di sektor industrinya pekerja langsung telah mencapai jumlah 4.2 juta dan pekerja tidak langsungnya telah mencapai 12 juta orang. Selain bisa menyerap tenaga kerja, peranan sawit yang lain ialah sebagai pengentasan kemiskinan dan sebagai masukan penerimaan negara.

Mengingat kontribusi yang hadir dari sektor industri sawit ini, maka sangat diperlukan campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi dan pengaturan tata kelola bagi sektor ini. Salah satu program yang menjadi kunci bagi pengembangan perkebunan dan sektor industri sawit adalah kemitraan. Dalam mewujudkan kemitraan ini pemerintah menerapkan suatu skema Perkebunan Inti Rakyat yang dimaksudkan sebagai suatu pola kemitraan. Dimana pengembangan perkebunan rakyat ini dengan cara memitrakan perkebunan besar yang berperan sebagai inti dengan perkebunan rakyat yang berada disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan dan berkelanjutan. Sehingga melalui kemitraan pertanian rakyat dapat lebih berkembang, karena kemitraan dapat melibatkan lebih banyak petani swadaya ke dalam skema program-program pengembangan sektor industri kelapa sawit. Meskipun tujuan dari program kemitraan salah satunya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi tidak semuanya berdampak pada kesejahteraan.

Hal ini dikarenakan secara umum ada perubahan signifikan yang terjadi ketika kemitraan sebelum dan sesudah reformasi . Pergeseran peran pemerintah setelah reformasi ini terjadi pada saat PIR-KKPA dan PIR-Revitalisasi berdampak menciptakan peningkatan konflik antara masyarakat dan perusahaan. Hal ini dikarenakan Koperasi Kredit Primer Anggota atau lebih dikenal sebagai KKPA yang dilahirkan dari proses Reformasi melahirkan kebijakan pemberian Kredit kepada Anggota Koperasi yang meluas sejak Tahun 1999. Namun dalam pelaksanaannya banyak anggota KKPA yang bukan lagi Petani murni, tapi lebih banyak non-petani yang mengurus urusan pertanian dan hasil pertanian. Pola KKPA ini dikenal sebagai desentralisasi peran pemerintah dalam memberikan bantuan kepada rakyat.

Selain itu dalam Revitalisasi, semua aktivitas pengelolaan kebun dilakukan oleh perusahaan, hal ini menyebabkan petani dan koperasi tidak memiliki peran. Sehingga petani pun menjadi buruh di tanah mereka sendiri, mereka bahkan tidak mengetahui dimana kebun plasma mereka. Lalu adanya permasalahan dalam pembagian hasil yang tidak transparan, dimana untuk potongan kredit diambil 30%, lalu perusahaan mengambil 50% sebagai biaya untuk menyewa buruh, membeli pupuk, mengangkut buah, dan petani hanya mendapatkan 20% dari total pendapatan per hektar. Sehingga pada akhirnya banyak petani yang minus pendapatannya dan tidak mampu melunasi kredit bank. Hingga pada akhirnya berakibat pada meningkatnya konflik di sektor perkebunan.

Sehingga terkait masalah diatas sebenarnya dalam meningkatkan kesejahteraan petani di sawit sebenarnya bisa dilakukan dengan melakukan peralihan dimana mental petani harus dibenahi terlebih dahulu. Misalnya dengan diberikannya kepercayaan kemitraan dengan diizinkan berapa persen untuk petani memiliki saham di perusahaan. Selanjutnya dengan meminimalisir TBS (Tandan Buah Segar) menurun tingkat mutunya, petani dapat selalu dibina dan diawasi sehingga dari pembukaan lahan, pembibitan dan perawatan perkebunan selalu terpantau. Terlebih penting ialah petani harus diberikan kepastian dalam penjualan TBS sehingga dalam penetapan harga TBS ini petani bisa ikut berperan juga dalam penetapan bukan hanya perusahan inti dan perusahaan pembeli TBS saja yang ikut andil dalam penetapan harga.

Selain itu sebaiknya mitra yang ada diarahkan untuk mengandalkan kemampuan bisnis dalam partnernship untuk penjualan hasil panennya. Ditambah perlunya penekanan visi misi untuk perusahaan inti dan mitra agar selalu selaras sehingga akan memunculkan sikap yang bertanggung jawab. Hingga pada akhirnya akan menciptakan hubungan yang baik diantara keduanya. Kemudian pemerintah juga harus melakukan pengawasan dan evaluasi yang baik agar setiap kebijakan yang dibuat sebagai solusi dalam mengatasi suatu masalah dalam pelaksanannya pun juga tidak akan menghasilkan masalah baru. Terlebih lagi masalah ini menyangkut kepada kesejahteraan petani. Sehingga penerimaan negara yang besar jumlahnya dirasakan oleh pemerintah dari sektor industri sawit ini juga bisa dirasakan kesejahteraannya oleh petani-petani sawit yang telah berkorban banyak dalam industri sawit ini.

Charia Roswita

Baca Juga