Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Listya Dewi S
Ilustrasi petani. (Pixabay/wuzefe)

Kecamatan Ngimbang, tepatnya di Desa Kedungmentawar merupakan salah satu desa yang terletak dipaling selatan Kab. Lamongan. Masyarakatnya sudah menuju modern ditandai dengan perubahan sistem dalam masyarakat, perubahan pada pola pikir dan perubahan pada gaya hidup. Namun, kebanyakan masyarakatnya merupakan seorang petani. Yang pada musim kemarau kebanyakan menanam tembakau dan pada musim penghujan menanam padi. Dalam bercocok tanam pasti banyak sekali hal-hal yang membuat hasil pertanian mengalami penurunan, semisal banyaknya rumput liar, hama wereng, tikus, belalang, banjir dan angin kencang. Hal ini diperparah dengan adanya virus corona di Indonesia.

Pandemi membawa barisan duka yang belum tuntas dan terlihat semakin gencar meluas hingga sektor pertanian. Kebijakan psbb membuat terhambatnya proses distribusi pupuk. Akibatnya pupuk yang biasa digunakan petani untuk merawat padi, membuat kualitas dan kuantitas padi menurun. hal ini dikarenakan banyaknya hama yang bermunculan akibat tidak diberikan pupuk. Perawatan padi tidak pada pupuk saja, namun pada penanaman dan pencabutan rumput liar. Masyarakat Desa Kedungmentawar masih menggunakan buruh tani untuk membantu menanam padi, sistem yang digunakan yaitu sistem upah berupa uang Rp. 30.000 untuk setengah hari mulai jam 07.00 – 10.00 dan Rp. 75.000 untuk sehari mulai dari pukul 07.00 – 17.00. kemudian buruh mencabut rumput liar diupah mulai dari Rp. 35.000 – 60.000 tergantung pada luasnya sawah yang akan dicabuti rumputnya. 

Kondisi yang sulit akibat pandemi membuat pendapatan petani menurun drastis, namun kebutuhan akan perawatan tanaman padi membutuhkan uang yang tidak sedikit. Hal ini membuat petani memikirkan jalan keluar apa yang dianggap saling menguntungkan, dan tercetuslah irutan. Tradisi irutan memang tidak asing dilakukan oleh masyarakat Desa Kedungmentawar, namun dengan mengudaranya globalisasi membuat sistem kehidupan masyarakat berubah seiring berjalannya waktu. Membuat minimnya buruh tani yang ada, hal ini mmebuat para petani kesulitanmencari orang untuk diminta membantu merawat sawahnya. Hal ini membuat banyak petani mencari orang diluar desa untuk merawat sawahnya. .

Dalam bahasa Indonesia irutan dapat diartikan sebagai “gantian yang berurutan”. Sistem yang ditawarkan berlaku pada petani yang sama-sama mempunyai sawah. Semisal sawah si A sedang digarap, si B, C, D ikut membantu tanpa diberikan upah dan sebaliknya. Akan tetapi masih menyediakan sarapan dan makan siang. Sistem ini tidak berlaku bagi yang tidak memiliki sawah, sebab kebanyakan buruh tani merupakan orang luar dari desa. Selain merugikan di bidang perekonomian, pandemi memperbaiki sistem masyarakat yang giyah akibat globalisasi. Pandemi membuat eksistensi irutan menyala kembali. Hal ini memperbaiki solidaritas antar petani agar kehidupan lebih sejahtera dan sistem gotong-royong masih mendarahdaging dimasyarakat Desa Kedungmentawar, Kecamatan Ngimbang Kab. Lamongan.

Listya Dewi S