Sudah kira-kira hampir sepekan terakhir ini publik disuguhi kabar tentang polemik cuitan seorang pendengung –atau biasa dikenal buzzer maupun Influencer— yang berakhir ke ranah proses hukum. Setidaknya, akibat cuitan si pendengung tersebut membuatnya dilaporkan ke Polisi. Berawal dari perseruan argumentasi si pendengung yang selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintahan Presiden Jokowi dengan influencer lainnya di media sosial Twitter. Topiknya mengenai sikap Islam terhadap agama lainnya.
Tulisan ini bukan untuk mengomentari adu cuitan di media sosial itu. Atau juga menghakimi siapa yang salah dan benar di antara kedua pendengung dalam perdebatan di Twitter. Bukan juga ingin berpendapat menyoal apakah layak cuitan dan perdebatan di media sosial antar kedua pendengung, membuat salah seorang dilaporkan ke Polisi.
Namun yang ingin disoroti adalah bagaimana nasib demokrasi Indonesia dengan terbukanya kini kebebasan terhadap ruang komunikasi? Apakah dampak pengaruh kemajuan teknologi digital bagi demokrasi Indonesia? Lantas, bagaimana kelangsungan demokrasi di Tanah Air? Tentu saja, menilik pada kasus pendengung yang sedang ramai diberitakan sekarang maupun yang pernah terjadi sebelumnya.
Tak dapat dipungkiri, lajunya wadah-wadah komunikasi saat ini di Indonesia, baik itu media serta media sosial, adalah berkat lahirnya demokrasi ketika membuncahnya reformasi 1998. Sejak itulah demokrasi seperti hidup lagi, terasa lepas dari impitan. Partisipasi publik, yang salah satunya adalah di bidang politik, tumbuh berkembang. Semua orang boleh bicara perspektifnya tentang politik nasional. Bebas mengkritik, mendukung, atau netral pada rezim pemerintah. Kungkungan selama 32 tahun Orde Baru terhadap demokrasi, dibalas dengan euforia partisipatif. Situasi demikianlah seperti dikemukakan Eep Saefulloh Fatah, publik kiranya telah menemukan tempatnya (ruang publik) untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka (2000:277).
Selain itu, kebebasan suara publik tersebut seolah mendapatkan dukungan fasilitas dari sumber-sumber komunikasi informasi, seperti media dan media sosial. Bagaimana pun, kebebasan media, pers, informasi dan komunikasi adalah bentuk bagian dari prinsip demokrasi. Selama ini makna demokrasi bagi banyak kalangan atau yang menjadi doktrin definisi hanya sebatas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun apakah dengan definisi umum tersebut, lantas membuat rakyat tak dapat dibatasi lagi? Dengan pemahaman lain, apakah ketika menetapkan sesuatu hal yang bersentuhan dengan batas-batas partisipasi rakyat, kemudian dianggap mengekang lagi demokrasi Indonesia? Lebih kejam lagi: di stigmakan anti-demokrasi. Padahal demokrasi juga memerlukan stabilitas politik agar dapat terkonsolidasi. Tidak ada kegaduhan muncul, namun tanpa mengekang ruang partisipasi publik. Makna demokrasi memang tidak pernah sempurna, secara politik dan ideologi pasti menimbulkan perdebatan. Oleh sebab itulah demokrasi terus beradaptasi sesuai ciri zamannya agar meminimalisir kekurangannya. Di sinilah tampak bahwa demokrasi memang proses tanpa akhir karena tidak pernah terwujud secara tuntas (Miriam Budiardjo, 2007:135).
Secara filosofis, demokrasi berawal dari bibit kebebasan kehidupan. Negara-negara di Barat telah menerapkannya lebih dulu ketimbang Asia, apalagi Indonesia. Itulah sebabnya negara-negara di Barat kerap dijadikan rujukan dalam proses demokrasi. Tetapi perlu diperhatikan adalah: bibit kebebasan sebagai dasar demokrasi tersebut tidak akan terkendali sehingga membuat kisruh, keributan, polemik, jika tanpa dibatasi aturan (hukum). Meski begitu, aturan yang ditetapkan dalam sistem demokrasi tersebut tidak boleh melanggar atau kembali menutup prinsip demokrasi yaitu ruang partisipatif publik. Jadi, perlu proses dua arah dalam mengimplementasikan demokrasi. Kiranya ini juga seharusnya di Indonesia.
Terlebih di era kemajuan teknologi digital saat ini yang membuat siapa pun berhak bersuara, beropini, tentang apa saja, termasuk politik. Wadah berpartisipasi publik sangat mudah diperoleh. Media sosial menjadi semacam kebutuhan primer untuk komunikasi dan informasi, selain juga media massa. Di sinilah pertaruhan demokrasi Indonesia. Kebebasan berargumentasi memang tidak boleh dibatasi. Layaknya menjadi ruang publik untuk melakukan pengawasan terhadap kekuasaan dan penguasa. Dengan tradisi seperti itu menunjukkan demokrasi telah hadir, seperti Affan Gafar (1999) jelaskan yang dapat disebut demokratis adalah budaya politik yang partisipatif dengan adanya kemampuan penilaian dari masyarakat. Cuitan-cuitan pelaku media sosial dapat menjadi alarm bagi penguasa dan kekuasaan yang telah melampaui norma dan hukum. Di sini, trend media sosial punya peran penting terhadap demokrasi.
Tetapi apakah demokrasi dapat menjadi rapuh, khususnya di Indonesia, dengan partisipasi publik di ranah media sosial atau komunikasi informasi digital yang sangat masif? Bisa berpotensi begitu. Kebebasan mencuit di media sosial yang tidak terkendali akan memicu konflik, baik sesama individu maupun kelompok. Media sosial dalam demokrasi dapat berubah salah arah ketika digunakan oleh pendengung untuk membentengi pihak-pihak tertentu, sedangkan yang lainnya adalah salah bila tidak selaras. Pendengung menjadi anti-kritik saat muncul sikapnya menokohkan seseorang saja. Akhirnya, jika itu terjadi di Indonesia, tidak berbeda dengan sistem politik totalitarian-otoritarian. Begitu juga pendengung yang berbeda sikap, misalnya, kepada rezim kekuasaan, ketika hanya beropini di media sosial tanpa rasionalitas dan pengetahuan, hanya berdasarkan asumsi serta kebencian.
Hal-hal begitulah yang mengancam masa depan demokrasi, dan di Indonesia dapat saja terjadi. Partisipasi publik dalam demokrasi akhirnya berubah menjadi kepentingan pribadi saja, perusak stabilitas dan menghilangkan khazanah perbedaan. Padahal seperti diungkapkan Ramlan Surbakti, demokrasi hanya mentolerir yang tidak mengganggu sistem (2007:228).
Kiranya kebaikan demokrasi di Indonesia juga sangat bergantung pada penggunaan media, baik itu media sosial dan media massa. Termasuk penggunanya. Satu hal yang menarik dari pesatnya penggunaan media sosial dan demokrasi di Indonesia, di mana posisi pendengung? Apakah mereka sebagai civil society, kelompok penekan, kelompok kepentingan, atau istilah lainnya yang memang merupakan syarat terbentuknya demokrasi?
Hasrul AL, Analis Politik Apta Ideas Institut dan Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Prodi Ilmu Politik UNAS.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
6 Cara Pakai Media Sosial yang Aman untuk Kesehatan Mental
-
Regenerasi Terhambat: Dinasti Politik di Balik Layar Demokrasi
-
Viral Earbuds Berdarah, Ini Batas Aman Volume untuk Mendengarkan Musik
-
Australia Bikin RUU Larangan Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun, Jika Dilanggar Dendanya Mencapai Rp500 Miliar
-
Pakar Politik UI Desak Pilkada Ditunda jika Hanya Ada Paslon Tunggal: Tidak Sehat Bagi Demokrasi
News
-
Dari Kelas Berbagi, Kampung Halaman Bangkitkan Remaja Negeri
-
Yoursay Talk Unlocking New Opportunity: Tips dan Trik Lolos Beasiswa di Luar Negeri!
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
Terkini
-
Janji Menguap Kampanye dan Masyarakat yang Tetap Mudah Percaya
-
Kehidupan Seru hingga Penuh Haru Para Driver Ojek Online dalam Webtoon Cao!
-
4 Rekomendasi OOTD Rora BABYMONSTER yang Wajib Kamu Sontek untuk Gaya Kekinian
-
Dituntut Selalu Sempurna, Rose BLACKPINK Ungkap Sulitnya Jadi Idol K-Pop
-
Ulasan Film The French Dispact: Menyelami Dunia Jurnalisme dengan Gaya Unik