Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hasrul AL
Ilustrasi banjir. (Pixabay/Hermann)

Banjir besar kembali menggenangi Jabodetabek akhir pekan lalu. Banjir Jabodetabek seolah menjadi siklus tahunan yang pasti mengepung ratusan rumah warga. Ketika intensitas curah hujan telah sangat tinggi, biasanya pula warga Jabodetabek bakal bersiap mengantisipasi datangnya banjir supaya tidak mengalami kerugian besar. Saking kerapnya banjir mengepung, hingga muncul suatu guyonan dari masyarakat: banjir bagaikan saudara dekat yang rutin berkunjung ke Jabodetabek.

Kendati banjirnya menerjang Jabodetabek, namun yang paling menjadi sorotan adalah Jakarta. Kiranya wajar saja Jakarta menjadi perhatian utama sebab merupakan ibu kota negara Indonesia. Di Jakarta segala aktivitas berlangsung, mulai dari pusat lini politik, pemerintahan, ekonomi bisnis, seni budaya, keagamaan, olahraga serta lainnya. Saat banjir mulai memasuki Jakarta, maka di situ pula keriuhan terjadi. Jakarta menjadi diskursus analisis dari segala aspek mengenai pengelolaan tata kotanya.

Meski begitu, ada satu sisi menarik sewaktu banjir besar Jakarta yang berdampak ke ratusan rumah warga mulai meninggi. Muncul pula ‘banjir pertarungan’ antar-kubu berbeda segmentasi pilihan dan dukungan pemimpin politik. ‘Banjir’ saling menyudutkan dan membela diri baik dari kalangan elitnya maupun lapisan akar rumput (grass root) terhadap masing-masing barisan politik dipijaknya. Isu yang dibahas pun tentu saja seputar terjadinya banjir Jakarta.

Friksi politik tersebut mulai hingar bingar menyeruak ke permukaan pada saat perhelatan Pilkada Jakarta tahun 2012 yang kala itu memenangkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama ((Jokowi-Ahok). Sejumlah pemberitaan tentang pikiran Jokowi-Ahok rutin tampil di media. Barisan pendengung Jokowi-Ahok masif menyebarkan gagasan mereka di media sosial mengenai pencegahan serta penanganan banjir Jakarta. Namun, media sosial bukan hanya medium ide, di situ juga tercipta konfrontasi antar-pendukung calon Gubernur Jakarta. Kritik adalah biasa, tetapi kala itu yang tidak biasa adalah menggelembungnya juga hujatan, fitnah, kabar bohong (hoaks) dan ujaran kebencian antar-pendukung.

Bukan hanya gerbong politik Jokowi-Ahok memainkan peran seperti itu saat Pilkada Jakarta 2012. Bagi kontestan lain pun melakoni tingkah serupa. Lapisan pendukung setiap pasangan calon Gubernur Jakarta yang berkompetisi sangat marak mengopinikan pemikran kandidatnya di media dan media sosial tentang penanganan banjir. Setiap pasangan calon dibentengi oleh pendukungnya agar tidak rusak citranya sehingga berpengaruh pada sasaran kekuasaan menjadi kepala daerah.

Banjir makin jadi ‘pesona’ kala Ahok menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta. Publik hampir setiap hari disuguhi data –tetap di media dan media sosial-- bagaimana kondisi banjir saat era Ahok. Adu keberhasilan, komparasi fakta, klaim kesuksesan, siapa paling sukses dalam mencegah dan menangani banjir makin mencuat tensinya saat Anies Baswedan terpilih sebagai Gubernur Jakarta tahun 2017 dengan menjungkalkan Ahok dalam Pilkada.

Terkesan sesuatu yang biasa saja ketika muncul berita di media tentang komentar dari para elit politik yang membandingkan masa Jokowi, Ahok dan Anies ketika banjir di ibu kota meluap. Komentar para elit dari masing-masing kelompok politik adalah yang paling dicari awak media demi memolesnya untuk kehebohan informasi. Seolah hal lumrah saat para pendengung terus-menerus menerbitkan data guna konsumsi pengguna dunia maya bagaimana dampak banjir antara kepemimpinan Jokowi, Ahok, Anies di media sosial, bahkan jika harus berujung cacian, sindiran, konflik argumentasi, agar merasa sosok dukungannya tetap tejaga citranya dalam pusaran kekuasaan politik.

Berebut citra

Dari fenomena banjir Jakarta yang hampir rutin terjadi setiap tahunnya maka dapat dicermati bahwa gerbong pendukung masing-masing pemimpin politik –yang dalam hal ini menjurus memanas mulai masa Jokowi, Ahok, Anies— mampu membentuk citra (image). Sebagai contoh mudahnya, banjir Jakarta dapat dijadikan alat pemasaran politik bagi Jokowi, Ahok, Anies untuk mendulang popularitas dan meningkatkan potensi keterpilihan dalam menunju kekuasaan politik sebagai Gubernur. Di sinilah yang disebut oleh Denny JA (2020) bahwa marketing politik bukan sekadar urusan membuat seseorang terpilih pada politik elektoral, namun juga bagaimana mempopulerkan gagasan atau kebijakan publik. Pelaku pemasaran citra politik masing-masing dari ketiganya adalah para pendukungnya dengan secara optimal menjual ide maupun konsep agar laku di publik sehingga patut dipilih.

Domain lain adalah, secara otomatis pula ketiganya mempunyai mesin penjaga citra di dalam roda kekuasaan politik yang dikerjakan oleh para pendukungnya melalui sebaran opini di media dan media sosial. Meski cara yang ditempuh terasa tak etis, namun tujuannya adalah supaya tetap langgeng dan stabilnya kekuasaan diemban oleh Jokowi, Ahok, serta Anies. Ketiganya tidak perlu terlalu kesulitan lagi menyusun konsepsi bagaimana merawat citra ke publik dalam kekuasaan politik sebab telah terajut sendirinya oleh massa pendukung Dengan begitu simpati publik tidak akan terdegradasi akibat banjir Jakarta sebab, seperti dikemukakan Gunter Schweiger dan Michaela Adami (1999), pemilih telah mempunyai gambaran menyeluruh mengenai kandidat maupun programnya.

Akhirnya, banjir Jakarta memang menarik untuk memulai pemasaran politik bagi politisi yang ingin menyasar kekuasaan Gubernur. Tak ada salahnya menerka banjir Jakarta juga bercorak  jubah politis. Tidak salah pula bila di balik banjir ibu kota, bermuara pada munculnya popularitas elit karena gagasan dan pendukungnya yang mampu mengerek suatu citra politik.

Kendati demikian, ada hal yang paling penting tidak boleh terabaikan, yakni hak asasi masyarakat Jakarta dapat merasa tenang dari ancaman banjir. Dampak banjir tidak dapat ditampik lagi menimbulkan kerugian ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dan lainnya yang merupakan bagian dari hak asasi agar tidak terus berulang. Allan McChesney (2003) mengatakan, semua hak asasi manusia saling berhubungan satu sama lain dan faktor penting untuk mempertahankan martabat manusia. Oleh sebab itu menciptakan hak ketenangan ekonomi, kesehatan, pendidikan warga Jakarta dari banjir adalah sama halnya menghormati martabatnya. Pemikiran yang mendongkrak ketokohan citra politik menuju kekuasaan perlu dibarengi realisasi nyata kinerja bahwa Jakarta memang telah aman dari banjir agar hak asasi manusia terhormati sebagai prasyarat pembangunan tetap berperikemanusiaan dan beradab (Franz Magnis Suseno, 2000:46).

Lantas sampai kapan banjir Jakarta tidak lagi menjadi riasan citra politik dan kaitannya dengan kekuasaan? Entahlah, mungkin ketika banjir tidak llagi menganggap ibu kota adalah saudara dekatnya.

Oleh: Hasrul AL, Peneliti Politik Apta Ideas Institut dan Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Politik UNAS.

Hasrul AL