Hayuning Ratri Hapsari | Gabriella Keisha
Komeng (Instagram/@komeng.original)
Gabriella Keisha

Ruang rapat DPD RI yang biasanya serius mendadak cair saat Alfiansyah Bustami alias Komeng, anggota DPD RI asal Jawa Barat, mengambil giliran bicara.

Dengan gaya khasnya yang jenaka, Komeng menyampaikan pandangan soal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemenhut) dengan pendekatan yang berbeda, penuh humor, tapi tetap menyelipkan kritik yang ngena.

Humor sebagai Alat Kritik

Anggota DPD terpilih masa bakti 2024-2029 Alfiansyah alias Komeng saat mengikuti pelantikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

“Alhamdulillah dan terima kasih, saya bisa bertemu dengan kementerian yang selalu ulang tahun, KemenHUT,” ucap Komeng sambil tersenyum dan langsung disambut tawa peserta rapat pada Selasa (16/09/2025). 

Namun, di balik candaannya, tersirat sindiran terhadap bagaimana hutan kerap dirayakan secara simbolik, tapi perlindungannya masih minim.

Komeng melanjutkan dengan menyentil soal banjir Jakarta yang sering dituduhkan akibat kiriman dari Jawa Barat.

“Karena Jakarta sendiri seperti Utan Kayu dan Utan Panjang sudah tidak ada,” ujarnya.

Sekilas terdengar seperti lawakan absurd, tapi justru di situlah letak kekuatannya, menyisipkan kritik dalam bentuk yang ringan namun menggelitik.

“Walaupun hewannya sudah masuk ke tol, seperti kijang. Dan itu Kijang Innova ya,” tambahnya, yang sukses membuat seisi ruangan tertawa riuh. 

Gaya komunikasi Komeng 

Gaya komunikasi Komeng bisa disebut sebagai satir politik. Ia tidak menyerang secara langsung, tetapi menyoroti permasalahan seperti, hilangnya hutan adat, satwa yang kehilangan habitatnya, dan kurangnya koordinasi antarwilayah dalam menjaga lingkungan hidup.

Komeng memilih bahasa dan kata-kata yang membumi, sederhana, dan mudah dicerna, bahkan lucu. Dengan begitu, pesan yang ia bawa lebih cepat sampai ke publik, hingga viral di media sosial. 

Gaya komunikasinya berhasil menjangkau masyarakat luas, termasuk mereka yang biasanya malas menyimak pembahasan rapat karena bahasanya yang terlalu teknokratis.

Komeng bukan sekadar pelawak yang nyasar ke politik. Ia menunjukkan bahwa gaya komunikasi yang ringan, jenaka, dan satir justru bisa menjadi cara yang ampuh untuk menyuarakan isu penting. 

Dalam dunia politik yang kerap dipenuhi debat kaku dan bahasa rumit, kehadiran Komeng menjadi bukti bahwa tertawa bukan berarti tidak serius, terkadang justru itu cara paling efektif untuk dapat didengar.