Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Alya Fathinah
Jalur ramah disabilitas (Unsplash)

Setiap tanggal 3 Desember masyarakat dunia memperingati International Day of People with Disabilities atau Hari Disabilitas Internasional. Peringatan tersebut dicetuskan pada tahun 1992 oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuan dari peringatan tersebut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait permasalahan yang dialami penyandang disabilitas sebagai upaya menghormati, melindungi, memberikan dukungan, dan memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas di seluruh dunia. 

Dalam situs resminya, PBB mengusung tema Hari Disabilitas Internasional yaitu Transformative Solutions for Inclusive Development: The Role of Innovation in Fuelling an Accessible and Equitable Word atau Solusi Transformatif untuk Pembangunan Inklusif: Peran Inovasi dalam Mendorong Dunia yang Dapat Diakses dan Adil. Sedangkan, tema nasionalnya bertajuk “Partisipasi Bermakna Menuju Pembangunan Inklusif yang Berkelanjutan.” Berdasarkan kedua tema tersebut, peringatan Hari Disabilitas Internasional tahun ini berfokus pada penegakkan hak asasi manusia dan keikutsertaan para disabilitas dalam pembangunan berkelanjutan yang inklusif, aksesibel, dan setara.

Pada peringatan Hari Disabilitas Internasional tahun ini Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial (Kemensos) memberikan bantuan Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) melalui Program Indonesia Melihat, Indonesia Mendengar, Indoesia Melangkah, Pembebasan Pasung, dan operasi katarak. Bantuan tersebut diberikan kepada para disabilitas secara serentak di 31 sentra milik Kemesnsos di seluruh wilayah Indonesia dengan titik peluncuran di Kabupaten Subang, Jawa Barat.

BACA JUGA: Ferdy Sambo Gugat Jokowi dan Kapolri Gegara Dipecat, Mahfud MD: Dulu Terima, Kok Sekarang Nggak?

Meskipun, pemerintah telah memberikan bantuan, tetapi pada kenyataannya masih banyak hak penyandang disabilitas yang belum terealisasi. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas mengemukakan bahwa penyandang disabilitas memiliki 22 hak, salah satunya hak pendidikan

Indikator paling mudah untuk membuktikan hak pendidikan penyandang disabilitas belum terpenuhi yaitu minimnya akses dan fasilitas pendidikan bagi penyandang disabilitas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat terdapat 2.250 sekolah untuk anak penyandang disabilitas di berbagai jenjang pendidikan pada tahun ajaran 2020/2021.

Pada tahun ajaran yang sama, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah sekolah berbagai jenjang di Indonesia mencapai 217.283 sekolah. Jumlah tersebut berkali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah sekolah untuk anak disabilitas. Padahal BPS mendata adanya 650 ribu atau 0,79 persen anak penyandang disabilitas dari 84,4 juta anak Indonesia pada tahun 2020.

Salah satu aktris Indonesia bernama Asri Welas mengeluh sulitnya mencari sekolah Taman Kanak-Kanak untuk anak keduanya yang menderita katarak kongenital, tetapi bisa berkomunikasi dengan baik. Asri sudah mendaftarkan anaknya ke dua sekolah inklusi, tetapi hasilnya ditolak tanpa menyurvei anaknya terlebih dahulu. Tentu saja sebagai orang tua Asri, merasa kecewa karena anaknya mendapatkan diskriminasi karena menurutnya tidak ada anak yang mau dilahirkan dengan keterbatasan fisik.

Pengalaman Asri merupakan salah satu cerita orang tua penyandang disabilitas yang terekspos ke media. Nyatanya, masih banyak cerita orang tua lainnya yang mendapatkan perlakuan sama sehingga menyekolahkan anaknya di rumah dan membuka peluang adanya hukuman pasung.

BACA JUGA: Kabar Gembira Jelang Tahun Baru, RSDC Wisma Atlet Kemayoran Sudah Kosong Pasien Covid-19

Pendidikan yang masih terbatas untuk para penyandang disabilitas perlu diperbaiki demi merealisasikan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Jumlah sekolah inklusi perlu ditambah dengan meningkatkan berbagai fasilitas yang dapat mendukung tumbuh kembang anak, menambah keinginan untuk mau belajar, dan memberikan kepercayaan untuk mau berdaya serta berkontribusi di masyarakat. 

Tak hanya itu, setiap sekolah inklusi seharusnya menyurvei calon anak didiknya terlebih dahulu agar tahu kondisi sang anak sehingga dapat memberikan pelayanan yang sesuai dan tidak asal menolak tanpa alasan yang jelas. Staf khususnya pengajar tentu saja harus diberikan pelatihan khusus terlebih dahulu sebelum akhirnya berhubungan langsung dengan anak penyandang disabilitas. Negara juga seharusnya dapat memberikan gaji tambahan dan pelatihan soft skill secara rutin untuk pengajar dan staf sekolah inklusi.

Terakhir, dibutuhkan pendekatan kepada masyarakat agar mengetahui hak-hak penyandang disabilitas, memandang penyandang disabilitas setara serta tidak lagi menganggap penyandang disabilitas sebagai seseorang yang harus dikasihani dan tidak berdaya. Pendidikan menjadi pintu utama agar negara ini lebih baik. Meningkatkan pendidikan penyandang disabilitas menjadi keharusan supaya tidak lagi terjadi ketimpangan sehingga penyandang disabilitas dapat berkontribusi untuk membangun Indonesia yang jauh lebih baik dan unggul. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Alya Fathinah

Baca Juga