Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin
Sidi Rana Menggala (kanan).(Dokumentasi pribadi)

Papua dikenal sebagai wilayah dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Ekosistemnya pun bisa dibilang unik. Selain itu, Papua adalah rumah bagi sekitar 13 ribu hingga hingga 15 ribu spesies tumbuhan serta lebih dari 200 spesies mamalia.

Bagi para pencinta burung, Papua adalah surga. Betapa tidak, ada lebih dari 700 spesies burung yang tercatat di wilayah paling ujung timur Indonesia itu. Ekoregion di Papua sendiri terdiri dari hutan hujan tropis, dataran tinggi pegunungan, ekosistem pesisir dan laut, serta rawa-rawa gambut yang dibagi menjadi 14 zona oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia.

Adapun ekoregion merupakan wilayah geografis sarat karakteristik ekologi serupa, termasuk jenis tanah, vegetasi, hidrologi, dan iklim. Konsep ekoregion penting dalam perencanaan pembangunan berbasis ekologi karena menyediakan kerangka untuk memahami dan mengelola lingkungan secara holistik.

Dengan menggunakan ekoregion sebagai indikator, pembangunan dapat lebih berkelanjutan, seimbang, dan sesuai kemampuan alam. Pemanfaatan ekoregion sebagai basis perencanaan pembangunan di Papua menawarkan solusi yang berkelanjutan. Sebab, pendekatan ini memastikan pembangunan berlangsung sesuai karakteristik ekologis setiap wilayah.

Di sini, kita akan melihat salah satu contoh upaya penerapan ekoregion yang dapat dilangsungkan di Pegunungan Papua Tengah. Kawasan ini merupakan wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati dan budaya. Masyarakat adat yang tinggal di wilayah ini, seperti suku Dani, Yali, dan Lani, memiliki pengetahuan tradisional dalam mengelola sumber daya alam mereka.

Ekoregion ini mencakup hutan hujan dataran tinggi, padang rumput subalpin, serta daerah rawa dan sungai yang penting untuk mendukung kehidupan masyarakat dan ekosistem. Namun, tantangan pembangunan di wilayah ini meliputi isolasi geografis, erosi tanah, perubahan iklim, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati dari pembangunan infrastruktur yang masif.

Masyarakat adat di Pegunungan Tengah memiliki pengetahuan mendalam tentang ekologi lokal dan pengelolaan sumber daya alam. Kendati begitu, mereka kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Buntutnya, muncul konflik dan kerusakan ekosistem setempat. Karena itu, pentingnya pengakuan hak adat atas tanah dan sumber daya alam menjadi dasar dari setiap proyek pembangunan di wilayah ini.

Masyarakat adat pun diberikan peran utama dalam perencanaan tata ruang berbasis ekoregion, dengan mempertimbangkan zona-zona konservasi, penggunaan lahan untuk pertanian, dan kawasan permukiman. Selain itu, pembentukan badan adat yang berfungsi sebagai pengelola ekoregion bekerja sama dengan pemerintah dalam menjaga keberlanjutan wilayah. Tujuannya: membantu menjaga keanekaragaman hayati dan mencegah degradasi lingkungan, seperti erosi tanah dan kerusakan hutan.

Pentingnya pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam meningkatkan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan, mengurangi konflik, dan memastikan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal.

Kesimpulannya, pembangunan ekoregion di Papua merupakan pendekatan multifaset yang menyeimbangkan konservasi dan pembangunan. Ke depannya, kemitraan strategis antara Papua Research Center dan Sekolah Ilmu Lingkungan Hidup, Universitas Indonesia bersama dengan Universitas Cenderawasih dan didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan dilangsungkan.

Dengan tujuan utama melindungi keanekaragaman hayati, mendorong praktik berkelanjutan, melibatkan masyarakat lokal, dan memperkuat tata kelola, Indonesia dapat memastikan pemanfaatan sumber daya alam yang kaya secara berkelanjutan sekaligus melestarikan warisan ekologi uniknya untuk generasi mendatang.

Sidi Rana Menggala, PhD
Insinyur Biosains, dari Universitas Gent Belgia