Di pagi yang terburu-buru, kita mampir ke minimarket, meraih sebotol air mineral dingin, lalu melanjutkan hidup seperti biasa. Habis minum? Botolnya masuk ke tempat sampah atau lebih buruk lagi, kita biarkan di meja, di halte, atau di kursi bioskop. Sekilas sepele. Tapi coba hitung, berapa botol plastik yang sudah kamu beli minggu ini? Sebulan ini? Setahun terakhir?
Di kota-kota besar, membeli air kemasan sudah seperti refleks. Kita beli tanpa pikir panjang. Tindakan itu jadi bagian dari gaya hidup harian, layaknya ngopi di pagi hari atau scroll media sosial sebelum tidur. Tapi justru karena begitu “biasa”, dampaknya kerap tak terasa. Padahal, dari satu botol plastik sekali pakai itu, lautan bisa rusak. Iklim bisa terganggu. Dan tubuh kita bisa ikut terdampak.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan lebih dari 7,8 juta ton sampah plastik per tahun, dan botol air minum adalah salah satu penyumbang utamanya. Studi dari Ocean Conservancy bahkan menempatkan botol plastik sebagai sampah terbanyak kedua yang ditemukan dalam kegiatan bersih-bersih pantai di Indonesia. Jumlah yang tak main-main dan sebagian besar tak akan pernah benar-benar lenyap.
Plastik, seperti yang kita tahu, tidak mudah terurai. Botol air mineral yang kamu buang hari ini bisa tetap eksis selama 450 tahun ke depan. Dalam kurun waktu itu, botol tersebut bisa hanyut ke laut, pecah menjadi mikroplastik, masuk ke tubuh ikan, lalu kembali ke tubuh manusia lewat makanan laut. Sebuah siklus tragis yang kita ciptakan sendiri.
Dan ini belum menyentuh persoalan iklim. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa setiap produksi botol plastik menghasilkan emisi karbon. Data dari JRC (EU Science Hub, 2019) menyebut bahwa satu botol plastik setara dengan ±100 gram CO. Bayangkan jika 10 juta orang Indonesia membeli satu botol tiap hari. Itu berarti 1.000 ton karbon per hari hanya dari satu barang yang kita pakai lalu buang. Dalam satu tahun, kita menghasilkan jejak karbon yang cukup untuk menyalakan ribuan rumah dan hanya dari kebiasaan minum air kemasan.
Tapi di tengah masalah yang besar, selalu ada celah solusi yang tak kalah sederhana, bawa botol minum sendiri. Iya, sesimpel itu. Satu kebiasaan kecil yang punya efek kolektif luar biasa. Dalam beberapa tahun terakhir, kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar mulai menyediakan hydration station gratis di berbagai titik. Beberapa kampus, kantor, dan tempat umum pun mulai ikut tren ini. Bahkan ada gerakan nasional seperti #BijakBerplastik yang mempromosikan gaya hidup isi ulang air minum, daripada terus menerus beli baru.
Jika satu juta orang Indonesia konsisten membawa botol sendiri, itu bisa mengurangi ±365 juta botol plastik setiap tahun. Dan itu setara dengan pengurangan emisi lebih dari 30.000 ton CO per tahun. Angka ini bahkan belum memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap pengurangan polusi laut dan biaya penanganan sampah di kota-kota besar.
Selain itu, membawa botol sendiri juga memberikan manfaat personal. Hemat uang, jelas. Tapi lebih dari itu, kita sedang ikut mengembalikan ruang publik yang sehat dan bersih. Kita sedang mencegah satu ekor penyu dari kematian akibat menelan tutup botol. Kita sedang menjaga laut agar tetap punya ikan yang layak dikonsumsi anak cucu nanti.
Masalahnya bukan karena kita tak tahu. Tapi sering kali kita merasa masalah lingkungan terlalu besar untuk ditangani sendiri. Padahal, dalam banyak kasus, perubahan dimulai dari kebiasaan sehari-hari. Tidak harus revolusi besar-besaran. Tidak harus menunggu undang-undang. Dunia bisa berubah lewat keputusan kecil yang kita buat di pagi hari. Apakah akan membeli air kemasan lagi, atau cukup isi ulang dari rumah?
Di tengah krisis iklim yang kian nyata, mungkin penting untuk mengingat bahwa tindakan paling kecil pun punya bobot. Botol minum yang ada di tasmu hari ini bisa jadi simbol bahwa kamu masih peduli. Bahwa kamu percaya perubahan dimulai dari hal kecil. Dan bahwa kamu tak butuh menunggu siapa-siapa untuk mulai bertindak.
Baca Juga
-
Akar Lokal untuk Krisis Global: Bisa Apa Desa terhadap Perubahan Iklim?
-
Nikel dan Sustainability Paradox: Elektromobilitas Harus Mengorbankan Alam?
-
Jejak Karbon Digital: Saat Internet Diam-Diam Membakar Bumi
-
Dampak Nikel terhadap Ikan Pari dan Penyu: Raja Ampat Sudah Tak Aman
-
Budaya Cicil Bahagia: Ketika Gen Z Menaruh Harapan pada PayLater
Artikel Terkait
-
Pantai Teluk Asmara: Miniatur Raja Ampat yang Sama-Sama Tersakiti
-
Akar Lokal untuk Krisis Global: Bisa Apa Desa terhadap Perubahan Iklim?
-
Dapur Kosan Tanpa Pepes Ikan: Cerita Rasa dan Rumah yang Tertinggal
-
Dua Pabrik Besi di Serang Disegel, Diduga Sumber Pencemaran Udara di Jakarta
-
Turut Tangan Usut Polemik IUP Nikel Raja Ampat, Bareskrim: Tambang Mana yang Gak Rusak Lingkungan?
Rona
-
Akar Lokal untuk Krisis Global: Bisa Apa Desa terhadap Perubahan Iklim?
-
Dilema Tampil Modis dan Ancaman Fast Fashion bagi Lingkungan
-
Kamu Belum Cinta Lingkungan Kalau Belum Tahu 8 Gerakan Ini!
-
Jejak Karbon Digital: Saat Internet Diam-Diam Membakar Bumi
-
Dampak Nikel terhadap Ikan Pari dan Penyu: Raja Ampat Sudah Tak Aman
Terkini
-
Resmi Comeback, ATEEZ Ungkap Momen Seru di Balik Produksi GOLDEN HOUR Part 3
-
Anti Ribet, Ini Cara Kalibrasi Warna Monitor Secara Manual Buat Desain Grafis
-
Cozy tapi Tetap Edgy, 4 Ide OOTD ala Annie ALLDAY PROJECT yang Patut Dicoba
-
Terungkap! Masa Depan Timnas Vietnam Mulai Diragukan Publik Gara-gara Ini
-
Pakai Kostum Ikonis, David Corenswet Curhat Sulitnya Perankan Superman