Scroll untuk membaca artikel
Bimo Aria Fundrika
Ilustrasi burung, (Pixabay)

Perubahan iklim yang memicu panas ekstrem terbukti berdampak besar pada makhluk hidup, khususnya pada populasi burung di dunia. Studi terbaru yang dipublikasikan Nature Ecology and Evolution mengungkapkan bahwa populasi burung di daerah tropis cenderung menurun drastis mencapai 25-38 persen sejak 1950 dan 2020.

Penelitian Maximilian Kotz dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) dan Barcelona Supercomputing Centre (BSC), menyebut temuan ini sebagai "penurunan yang mengejutkan". 

Ia menjelaskan bahwa burung sangat sensitif terhadap dehidrasi dan stres akibat panas yang bisa menyebabkan kematian berlebih, penurunan kesuburan, gangguan perilaku berkembang biak, hingga rendahnya tingkat bertahan hidup bagi anak burung.

Ilustrasi hutan tropis (Pexels/Mihtiander)

Hal ini sudah teruji menggunakan ilmu atribusi iklim untuk mengukur dampak pemanasan global terhadap keanekaragaman hayati. Para peneliti menemukan bahwa panas yang ekstrim menjadi faktor utama dibalik penurunan jumlah burung, khususnya di kawasan tropis.

Dampak terbesar terjadi di daerah tropis. Di Hutan Hujan Amazon, jumlah populasi burung berkurang hingga lebih dari 50% pada periode 2003-2022. Penurunan ini juga terlihat di Panama, hutan yang bahkan belum tersentuh oleh manusia. Penelitian ini juga mencatat, burung tropis kini terpapar panas ekstrem 10 kali lebih sering dibandingkan 40 tahun belakangan. Rata-rata paparan meningkat dari 3 hari menjadi 30 hari per tahun.

Selama ini, deforestasi yang dianggap penyebab utama menurunnya populasi burung tropis. Namun dalam studi ini ditegaskan, di wilayah tropis lintang rendah, panas ekstrem justru yang memberi dampak besar dibandingkan deforestasi. 

Kotz menambahkan, peningkatan suhu membuat burung keluar dari habitat alami mereka dalam waktu singkat sehingga tidak sempat beradaptasi.

"Di sisi konservasi, penelitian ini memberitahu kita bahwa selain kawasan lindung dan penghentian deforestasi, kita perlu mencari cara agar spesies yang rentan panas ekstrem bisa beradaptasi," ujar Tatsuya Amano dari Universitas Queensland.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti