Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Novan Harya Salaka
Tick, Tick… Boom (Instagram/ticktickboom).

Apa yang dialami Jonathan Larson merupakan fase hidup yang sebagian individu bakal—atau sudah mengalaminya. Kehilangan arah, bingung, dan cemas akan masa depan adalah gejala dalam quarter life crisis. Akan tetapi, Tick, Tick… Boom! tampaknya tak ingin fokus ke sana.

Suara berdetik dalam kepalanya membuat Jonathan Larson (Andrew Garfield), seorang komposer drama musikal muda, merasa selalu dikejar-kejar oleh waktu. Inspirasi dari para superstar dan orang tuanya sendiri membuatnya terobsesi untuk meraih sesuatu yang membanggakan dalam hidup, sebelum genap berusia 30 tahun.

Ia sangat ingin dapat tampil di broadway. Lagu yang telah ditulisnya selama 8 tahun, Superbia, akan memasuki tahap workshop dalam waktu dekat, tetapi ia masih kekurangan 1 lagu lagi.

Film yang disutradarai Lin-Manuel Miranda menyajikan konflik antara idealisme dengan realita. Dengan bermodalkan keyakinan, Jon menolak tawaran menulis jingle lagu untuk iklan dan memilih fokus pada workshop-nya yang belum dapat mendatangkan penghasilan. Padahal, untuk menyambung hidup, ia masih harus bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran kecil di New York.

Ia sangat yakin bahwa Superbia bakal sukses. Dengan semua keruwetan di kepalanya, ia masih harus membagi waktu untuk sahabat dan pacarnya. Jon mengalami kesulitan menentukan dan mengurutkan prioritasnya.

Pada suatu adegan, kekasihnya (Susan) mengatakan bahwa ia diterima bekerja sebagai guru menari di Berkshire dan harus pindah dari tempat tinggal Jon. Susan pun  mengajak berbicara dengan Jon terkait persoalan ini. Akan tetapi, diskusi untuk memutuskan apakah mereka akan tinggal atau pergi bersama tak pernah terjadi lantaran Jon terlalu sibuk latihan.

Kesulitan membangun komunikasi juga dialami oleh sahabatnya, Michael. Jon —entah sengaja atau tidak, membuang kesempatan yang diberi Michael untuk hidup yang lebih baik. Ia bahkan mengejek jalan hidup Michael menjadi agen periklanan yang menurut Jon adalah pembohongan demi mengejar kemewahan. Kabar bahwa Michael mengidap HIV pun baru diketahui Jon belakangan setelah kesibukannya dengan Superbia selesai.

Dalam Tick, Tick… Boom! obsesi Jon yang membuatnya kesulitan mengatur waktu, prioritas, dan hubungan dengan orang-orang terdekat adalah “menu utama” film ini. Perasaan dihantui kegagalan sejatinya tak kita temukan dalam sosok Jonathan Larson dari awal hingga menjelang akhir film. Sebaliknya, ia begitu yakin dengan apa yang tengah dilakukannya dan mencurahkan segalanya ke dalam usahanya menyelesaikan Superbia.

Sebagian besar porsi dalam film justru dicurahkan untuk menunjukkan betapa sebuah obsesi dapat membutakan. Jon mengabaikan cinta dan kekayaan materi demi sesuatu yang benar-benar berarti untuknya. Kebuntuan ide untuk lagunyalah yang membuat Jon terlihat cemas, bingung, dan khawatir, bukan karena ketidakpastian akan masa depan. 

Novan Harya Salaka