Memasukkan nama Kartosoewirjo sebagai pahlawan bangsa Indonesia mungkin akan menuai perdebatan panjang, mengingat di akhir perjalanan kariernya dianggap sebagai pemberontak terhadap negara. Alhasil, ia pun harus rela dieksekusi mati dengan cara ditembak di bawah kepemimpinan presiden Soekarno.
Namun, kiprahnya terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia amatlah banyak, ia termasuk anggota Partai Sarekat Islam yang kritis. Di samping itu, Kartosoewirjo juga merupakan tokoh aktif untuk melawan Agresi Militer yang digencarkan oleh Belanda dan sekutunya. Akan tetapi, Kartosoewirjo ada sedikit kekecewaan kepada pemerintah pusat dan lebih memilih jalannya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) melawan pemerintah pusat.
Pemilik nama lengkap Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, seperti dikutip dari buku yang ditulis Johan Prasetya, "Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan." Kartosoewirjo bukanlah sosok yang terlalu islami, meski tergolong priyayi feodal namun bukan pemeluk Islam yang taat.
Kartosoewirjo berhasil menamatkan sekolahnya di Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal dengan sebutan sekolah Ongko Loro. Kemudian, ia melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School (HIS) di Rembang, Jawa Tengah.
Tidak berhenti di situ saja, ia berhasil masuk di sekolah elit yang hanya bisa ditempuh anak Belanda dan anak pribumi yang cerdas serta keluarga amtenar bisa masuk sekolah itu, nama sekolahnya Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian, ia melanjutkan lagi pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School, atau biasa disebut sekolah Dokter Jawa, di Surabaya.
Pada masa remaja, Kartosoewirjo mulai tertarik dunia pergerakan dan pemikiran kebangsaan, ia mulai banyak mempelajari buku sosialisme. Hingga akhirnya, ia bergabung di Jong Java, lalu Jong Islamieten Bond.
Pengetahuan Islam Kartosoewirjo mulai digali secara otodidak, ia juga banyak belajar agama dan mengaji kepada beberapa Kiai, seperti Notodihardjo, Kiai Mustafa Kamil, dan Kiai Yusuf Tauziri.
Tetapi sebenarnya, guru terbesar dan mentor Kartosoewirjo dalam dunia pergerakan adalah H.O.S Tjokroaminoto. Kartosoewirjo sangat tertarik pada pemimpin Sarekat Islam (SI) itu di Surabaya. Akhirnya, Kartosoewirjo melamar jadi murid dan melakukan mondok, dari situ pula Kartosoewirjo bersama Semaun dan Soekarno belajar satu atap di bawah didikan guru H.O.S Tjokroaminoto.
Kartosoewirjo sempat menjadi sekretaris Jenderal Partai Islam Indonesia. Namun, hengkang dari partai tersebut karena ada perbedaan pemikiran. Kartosoewirjo dikenal sebagai sosok yang keras kepala dan tidak mau kompromi terhadap pemerintah kolonial.
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, ketika pemerintah pusat memerintahkan seluruh divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah sebagai konsekuensi Perjanjian Renville, Kartosoewirjo sangat menolak perintah itu.
Banyak faktor yang mempengaruhi Kartosoewirjo sehingga memilih untuk melawan pemerintah, selain karena persoalan politis yang berbeda juga karena ada faktor kekecewaan. Kartosoewirjo dengan tegas membulatkan tekadnya membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Hingga akhirnya, NII diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisarong, Tasikmalaya.
Kondisi itu membuat hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah pusat makin memanas, berbagai upaya pemerintah untuk membujuk dan menghentikan niat Kartosoewirjo memisahkan diri dan mendeklarasikan NII. Namun, tampaknya tak mungkin Kartosoewirjo menelan ludahnya sendiri.
Sejak saat itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin intens baku tembak Tentara Islam NII. Setelah lama melawan TNI, satu persatu anggota NII berhasil dilumpuhkan. Kartosoewirjo berhasil ditangkap oleh Batalion Kujang II Siliwangi pada Juni 1962 di kawasan Gunung Sangkar dan Gunung Geber.
Beberapa bulan kemudian, Kartosoewirjo dieksekusi mati dengan cara ditembak pada 12 September 1962. Sebelum penembakan itu, ada sumber yang mengatakan bahwa Soekarno sempat meneteskan air mata, akan tetapi tidak ada pilihan selain mengeksekusi Kartosoewirjo demi menjaga stabilitas negara.
Tag
Baca Juga
-
Logika Sesat dan Penyangkalan Sejarah: Saat Kebenaran Diukur dari Selembar Kertas
-
KPK setelah Revisi: Dari Macan Anti-Korupsi Jadi Kucing Rumahan?
-
Merantau: Jalan Sunyi yang Diam-Diam Menumbuhkan Kita
-
Perempuan Hebat, Masyarakat Panik: Drama Abadi Norma Gender
-
Saat Generasi Z Lebih Kenal Algoritma daripada Sila-sila Pancasila
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film 13 Days, 13 Nights: Ketegangan Evakuasi di Tengah Badai Taliban
-
5 Drama Korea Bertema Kehidupan Anak Kos yang Bikin Kamu Nostalgia
-
Ulasan Novel Aib dan Nasib, Pertarungan Eksistensial Melawan Stigma Sosial
-
Review Film Mertua Ngeri Kali: Pelajaran Cinta dari Mertua Gila!
-
7 Our Family: Luka Keluarga dari Sudut Anak Paling Terlupakan
Terkini
-
Virgoun Tanggapi Isu Rujuk dengan Inara Rusli, Tolak Mentah-Mentah?
-
Peer Preasure dan Norma Feminitas: Ketika Bullying Halus Menyasar Perempuan
-
Sekolah Darurat Pembullyan, Kritik Film Dokumenter 'Bully'
-
Redmi TV X 2026 Resmi Rilis: Harga Rp 5 Jutaan, Bawa Panel Mini LED 55 Inci
-
6 HP Rp 7-10 Jutaan Terbaik 2025: Mana yang Masih Worth It Dibeli di 2026?