Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Bobby Kertanegara (Instagram/bobbykertanegara)

Viralnya video pengawalan polisi untuk seekor kucing bernama Bobby Kertanegara, rasa-rasanya terdengar seperti alur film komedi. Tapi sayangnya, ini nyata terjadi.

Dalam video yang beredar, kucing milik Presiden Prabowo Subianto itu tampak dikawal sejumlah personel kepolisian saat keluar-masuk kendaraan, lengkap dengan rompi dan tampang serius. Netizen yang awalnya mengira ini hasil editing Veo 3, akhirnya harus menerima kenyataan bahwa negara memang sedang serius menjaga seekor kucing.

Peristiwa ini membuat publik tertawa dan menangis di saat yang bersamaan. Karena di balik kelucuan ini, ada fakta yang tak terelakkan tentang sejauh mana negara boleh menggunakan aparat dan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk seekor peliharaan.

Publik pun mengkritik dan menganggap hal itu berlebihan. Pihak Istana akhirnya buka suara. Menurut mereka, Bobby adalah properti negara. Maka, tanggung jawab atas keamanan Bobby menjadi salah satu tugas pengamanan terhadap pejabat negara, itu menurut logika mereka.

Namun sejak kapan hewan peliharaan pribadi bisa dikategorikan sebagai aset negara? Apakah karena tinggal di rumah dinas? Lalu, apakah sandal kamar Presiden juga properti negara yang butuh pengamanan?

Logika seperti ini yang ditertawakan publik, dan dianggap tidak masuk akal.

Hal yang membuat netizen makin geram, peristiwa ini menunjukkan ketimpangan yang secara tak sadar sedang dipertontonkan ke publik.

Negara kita saja masih kesulitan menangani kejahatan jalanan, kekerasan berbasis gender, bahkan kehilangan anak karena terlambatnya respons polisi, namun kita justru diperlihatkan beberapa aparat yang sibuk mengawal seekor kucing.

Rakyat kehilangan motor karena dicuri, ketika lapor polisi malah disuruh "datang Senin depan." Rakyat melaporkan KDRT, malah dianggap urusan keluarga. Tapi Bobby? Dapat akses pengamanan lebih cepat dari penanganan korban kekerasan di luar sana. Terdengar menyedihkan memang.

Publik bukannya tak punya empati terhadap hewan. Justru banyak dari kita penyayang kucing, penyelamat anabul jalanan, bahkan rela berbagi makan dari gaji kecil untuk merawat kucing liar. Tapi karena itu juga, kita tahu betapa tidak masuk akalnya melihat seekor kucing dikawal aparat negara, sementara kucing di gang belakang rumah masih diburu karena dianggap ganggu kenyamanan.

Ketika publik bersuara, pemerintah tak meminta maaf atau mencoba meredakan reaksi, malah balik menjelaskan dengan kalimat-kalimat administratif yang tidak berguna.

Respons-respons seperti ini memperlihatkan jurang yang makin lebar antara rakyat dan penguasa. Seolah-olah, rasa keadilan publik bukan sesuatu yang layak didengar, meskipun prosedur sudah dilalui.

Di mata para pendukung, pengawalan Bobby mungkin dianggap hal kecil yang dibesar-besarkan oleh pihak oposisi.

Tapi publik marah karena merasa disepelekan. Mereka muak melihat aparat yang mestinya berdiri netral, justru tampak seperti asisten pribadi penguasa.

Tak hanya itu, kasus ini bisa menjadi preseden buruk dalam hal penggunaan sumber daya negara. Jika pengamanan untuk seekor kucing bisa dibenarkan dengan alasan prosedural, maka bukan tidak mungkin fasilitas negara lainnya akan terus dimanfaatkan oleh para penguasa atas nama jabatan, bukan kebutuhan publik.

Jika Presiden ingin memelihara kucing, itu hal yang sangat manusiawi dan menyenangkan. Bahkan bisa jadi contoh positif. Tapi justru karena itu, alangkah baiknya bila pengurusannya dilakukan secara wajar, tanpa menambah beban negara. Jangan sampai membuat publik berpikiran, “Mengapa seekor kucing bisa lebih dijaga dari rakyat?”

Di media sosial, kritik seperti tak berujung. Netizen tidak membenci Bobby, namun netizen lelah melihat negara yang tampaknya lebih ringan tangan menjaga simbol elit, daripada menjamin rasa aman rakyatnya.

Bagaimana ya, jika suatu hari Bobby hilang, apakah aparat akan bergerak lebih cepat daripada saat kita kehilangan keadilan?

Fauzah Hs