Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fathorrozi 🖊️
Buku Sorban yang Terluka karya Abdul Waid (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Seiring perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat terhadap generasi Islami yang unggul, pesantren menjadi pijakan yang banyak dipilih masyarakat untuk dipercayakan dalam menitip putra-putri mereka dalam belajar ilmu agama. Dan seiring menjamurnya lembaga pendidikan umum di berbagai daerah, khususnya di tanah air Indonesia, pesantren terus menjaga eksistensinya dengan juga menerapkan ilmu umum sebagai tambahan ilmu agama.

Betapa banyak pesantren telah melahirkan santri-santrinya menjadi pemimpin di negeri ini. Sebut saja seperti KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ma'ruf Amin, KH. Hasyim Muzadi, Mahfud MD, KH. Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Prawansa, dan lain sebagainya.

Namun, Abdul Waid dalam buku Sorban yang Terluka ini, ia menyingkap sisi lain dari pesantren yang jarang dikuak ke publik. Berawal dari kegelisahannya yang menyaksikan secara langsung realitas kehidupan di pesantren, yang hingga saat ini tidak banyak diketahui orang, baik dalam aspek budaya santri, maupun fenomena lain yang terjadi di pesantren. Berangkat dari hal tersebut, Abdul Waid menulis buku ini sebagai persepsi baru untuk menilai pesantren.

Buku ini berbicara mengenai berbagai cerita miris yang tersimpan di pesantren. Tujuan penulisan buku ini pun bukan untuk menjatuhkan citra pesantren. Sebab, penulis buku ini juga merupakan lulusan pesantren. Namun, ia bertujuan untuk menyelamatkan pesantren dari perilaku para penghuni yang melenceng dari tradisi pesantren.

Jika penulis tidak menulis buku ini, berbagai kisah miris yang tersimpan di pesantren tidak pernah terekspos ke publik, sehingga selamanya tidak pernah lahir tindakan konkret untuk menghilangkan berbagai cerita miris tersebut. Dengan begitu, Abdul Waid ini bermaksud untuk tidak apatis terhadap lingkungan dan masa depan pesantren. 

Ada banyak kasus yang diangkat oleh penulis mengenai sisi lain pesantren di dalam buku ini. Seperti pacaran, kencan, mengintip, mengambil barang tanpa izin pemiliknya, ghasab, mendekati zina, perdukunan, dan lain sebagainya. Ditulis dengan gaya bahasa nyastra sehingga membuat pembaca semakin asyik dan santai seperti sedang membaca novel.

Dengan tersingkapnya sisi lain pesantren yang telah ditulis, Abdul Waid ini berharap segera ada tindakan rekonstruksi dan introspeksi terhadap sistem pendidikan di pesantren, atau pembenahan sistem pengawasan para santri. Sehingga cerita-cerita miris yang selama ini tersembunyi di balik pesantren, tidak pernah lagi muncul ke permukaan.

Fathorrozi 🖊️