Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Oktavia Ningrum
Api Jihad di Tanah Suriah (Dok. Pribadi/Oktavia Ningrum)

Novel Api Jihad di Tanah Suriah karya Abdul Muntolib mengangkat kisah nyata yang menyentuh, sekaligus menjadi refleksi penting bagi dunia pendidikan, orang tua, dan seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi bahaya radikalisme.

Melalui narasi perjalanan seorang pemuda Indonesia bernama Syahrul Munif, novel ini membongkar secara jujur dan menyeluruh bagaimana seseorang bisa terjerumus ke dalam pusaran ekstremisme, meski berasal dari latar belakang yang baik dan religius.

Identitas Buku

  • Judul: Api Jihad di Tanah Syuriah
  • Penulis: Abdul Muntolib
  • Penerbit: Paragraf
  • Tahun terbit: Juli 2022
  • Tebal: 384 halaman
  • Genre: novel non fiktif

Abdul Muntolib dengan cermat menampilkan bagaimana proses doktrinasi berlangsung secara perlahan, halus, dan sistematis. Pembaca diajak menyadari bahwa doktrin jihad yang keliru bukan hanya datang dari luar negeri, tapi bisa menyusup dari dalam lingkungan sendiri.

Simbol-simbol keislaman, jargon mati syahid, hingga janji surga dan bidadari digunakan sebagai pemicu semangat “jihad” yang pada kenyataannya jauh dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Kedok Jihad Sebagai Narasi Manipulatif tanpa Tanggung Jawab

Syahrul adalah gambaran dari banyak pemuda idealis Indonesia: seorang santri yang cinta ilmu dan bangsa. Namun, idealisme yang tidak dibarengi dengan literasi keagamaan yang kuat dan pendampingan lingkungan yang sehat membuatnya rentan. Saat ia menerima tawaran untuk "berjihad" ke Suriah, ia mengira akan menjalankan misi kemanusiaan. Rasa empatinya terhadap penderitaan rakyat Suriah membuatnya mudah terpengaruh oleh narasi propaganda yang disebarkan oleh kaki-tangan ISIS di Indonesia.

Di sinilah letak kekuatan novel ini: mengungkap bahwa akar radikalisme seringkali bukan berasal dari kebencian atau niat jahat, melainkan dari kesalahpahaman terhadap konsep jihad dan minimnya pengetahuan akan realitas geopolitik di balik konflik internasional.

Dalam buku ini, Abdul Muntolib menjelaskan bagaimana sosok Abu Jandal, perekrut ISIS asal Indonesia, berhasil meracuni pola pikir Syahrul dengan iming-iming "mati syahid", "bidadari surga", dan glorifikasi jihad fisik. Syahrul pun akhirnya nekat berbohong pada orang tua dan berangkat ke Suriah.

Namun, enam bulan kemudian, ia menyadari bahwa apa yang dilakukan ISIS jauh dari nilai-nilai Islam. Kekejaman yang ia lihat dengan mata kepala sendiri memantik penolakan dari hati nuraninya.

Kesadaran Nurani dan Jalan Kembali

Syahrul akhirnya memilih keluar dari ISIS dan kembali ke Indonesia, serta menyatakan tobat dan kesetiaannya kembali pada NKRI. Kisah ini bukan hanya tentang keterjerumusan, tapi juga tentang penebusan, tentang keberanian mengakui kesalahan dan kembali pada jalan yang benar.

Karya ini juga mengungkap betapa toleransi semata tidak cukup untuk mencegah radikalisme. Tanpa pendidikan kritis, pendampingan rohani, dan pengawasan lingkungan sosial, siapa pun bisa menjadi korban doktrin ekstrem. Novel ini secara tidak langsung memberi pesan kepada masyarakat bahwa radikalisasi bisa menimpa siapa saja, bahkan dari kalangan terdidik dan religius.

Catatan Kritis untuk Buku ini

Meski menyajikan kisah yang penting,  sungguh disayangkan bagian tentang kehidupan Syahrul di Suriah tidak digali secara mendalam. Padahal, bagian inilah yang seharusnya menjadi inti narasi jika berpatokan pada judul novel ini.

Banyak ruang dalam buku ini justru diisi oleh pengantar dan penjelasan penulis yang cukup panjang, sehingga kesan "klarifikasi" lebih terasa dibanding kisah dramatik dari sisi human interest dan konflik internal tokoh utama. Karena tokoh Syahrul diceritakan dari awal kelahiran hingga tumbuh kembangnya, novel ini agaknya lebih mirip kisah perjalanan atau buku biografi tokoh Syahrul. 

Namun demikian, judul yang kuat dan cover yang menarik menjadikan buku ini relevan sebagai bahan bacaan reflektif. Ia tidak hanya menyentuh sisi psikologis dan spiritual pembaca, tetapi juga memberikan alarm bagi masyarakat tentang pentingnya pendidikan karakter dan kewaspadaan terhadap narasi manipulatif atas nama agama.

Api Jihad di Tanah Suriah bukan sekadar novel, melainkan catatan sejarah kecil dari wajah radikalisme di era digital, sekaligus pesan bahwa setiap orang berhak dan bisa kembali ke pangkuan tanah air—asal diberi ruang untuk bertobat dan didampingi untuk kembali.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Oktavia Ningrum