Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Poster Film Jagal Teluh (IMDb)

Film Jagal Teluh akhirnya menghantui layar bioskop Indonesia sejak 27 Februari 2025. Disutradarai George Hutabarat, film ini merupakan hasil kolaborasi Suhita Zenza Sinema, Majas Pictures, dan Seroja Film.

Dengan deretan pemain seperti Selvi Kitty, Elina Joerg, Ferdi Ali, Mastur, Udin Penyok, Kelono Gambuh, dan dengan masih banyaknya bintang pendukung lain, film ini agaknya ngasih pengalaman horor yang berbeda lho. 

Sinopsis Film Jagal Teluh 

Film ini mengangkat kisah tentang seorang wanita yang dianggap jelek dan dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya. Karena merasa terasing, dia mencari cara untuk bisa jadi lebih cantik.

Akhirnya, dia menemukan sebuah ritual yang harus dilakukan, yaitu mencari mayat wanita dengan rambut panjang. Setelah berhasil, dia mulai menjalankan rencana balas dendam yang sudah lama dipendam.

Horor dengan Nuansa yang Berbeda

Salah satu janji yang dibawa Film Jagal Teluh adalah atmosfer mistis yang lebih kuat. Dibandingkan dengan film horor populer lainnya, Jagal Teluh tampaknya lebih menekankan unsur penderitaan sosial sebagai elemen utama cerita.

Alih-alih sekadar menyajikan hantu atau makhluk astral yang meneror, film ini lebih berfokus pada bagaimana seseorang bisa terdorong untuk masuk ke dalam dunia mistis akibat tekanan dari masyarakat sekitarnya.

Pendekatan seperti ini mengingatkan kita pada beberapa film horor yang lebih mengedepankan cerita dan tragedi sosial. 

Masa Penuh Perjuangan

Sepertinya menarik untuk membahas bagian ini deh. Produksi film horor memang bukan perkara mudah, apalagi ketika harus menghadapi berbagai tantangan teknis dan non-teknis. 

Film Jagal Teluh, sepemahamanku, menghabiskan hampir dua tahun sebelum akhirnya siap tayang. Itu waktu yang cukup lama untuk ukuran film horor Indonesia, kan?

Pada dasarnya, dalam dunia perfilman, produksi yang panjang bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ini bisa berarti proses kreatif yang lebih matang, baik dari segi cerita maupun eksekusi teknis. 

Namun, di sisi lain, bisa juga menandakan adanya kendala produksi yang harus dihadapi. Apakah penundaan ini berujung pada hasil yang lebih maksimal? Atau justru menjadi tantangan bagi film ini untuk tetap relevan di tengah persaingan horor Indonesia yang semakin ketat?

Film ini nggak hanya mengandalkan jumpscare semata, tapi juga membangun suasana mencekam yang terus meningkat sepanjang durasi kok. 

Pada akhirnya, kepuasan penonton hanyalah soal selera. Nggak salah bila ada yang berpendapat film ini masih sama penyakitnya dengan kebanyakan film horor lainnya.

Faktanya, kisah tentang si buruk rupa yang dikucilkan itu tema klasik sih. Namun, bila kamu tertarik dan penasaran, seharusnya kamu akan tetap ke bioskop tanpa memedulikan penilaian orang lain. Pokoknya, selamat nonton ya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Athar Farha