Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | aisyah khurin
Novel Courtroom Drama (goodreads.com)

Novel "Courtroom Drama" karya Neely Tubati Alexander, adalah sebuah kisah yang memadukan intrik ruang sidang, romansa masa lalu, dan ketegangan sosial yang dikemas dalam gaya penulisan yang ringan namun tajam.

"Courtroom Drama" membuka ceritanya melalui sudut pandang Sydney Parks, seorang mediator profesional yang dikenal tenang, sistematis, dan penggemar berat reality show Authentic Moms of Malibu. Segalanya berubah ketika ia terpilih sebagai juri dalam kasus pembunuhan yang melibatkan salah satu bintang acara favoritnya, Margot Kitsch.

Sydney bukan tipikal pengacara atau jaksa. Ia bukan bagian dari sistem hukum formal, namun keterlibatannya sebagai juri membuka ruang untuk eksplorasi hukum dari perspektif warga biasa yang cerdas. Ini memberi warna baru dalam genre fiksi hukum yang biasanya berfokus pada pengacara atau detektif.

Ketegangan cerita meningkat ketika Sydney menyadari bahwa salah satu juri lainnya adalah Damon Bradburn, sahabat masa kecil yang pernah menjadi bagian penting hidupnya sebelum hubungan mereka hancur oleh pengkhianatan keluarga. Reuni mereka tidak hanya membangkitkan luka lama, tetapi juga percikan emosional yang masih membara.

Margot Kitsch, terdakwa utama, diduga membunuh suaminya dengan tetes mata dalam smoothie dan kemudian dengan cepat mengkremasi jasadnya. Seorang figur publik yang memesona namun misterius, Margot menjadi pusat perhatian media dan para juri yang mencoba memilah antara citra dan realitas.

Alexander memainkan elemen ketegangan psikologis dengan menempatkan para juri dalam kondisi sequester—mereka dipaksa tinggal bersama di hotel tua tanpa akses ke dunia luar. Ini menciptakan suasana terkekang yang menekan dan memunculkan sisi gelap tiap karakter.

Romansa antara Sydney dan Damon tumbuh kembali dengan penuh gesekan. Keduanya tahu bahwa terlibat secara emosional saat menjadi juri adalah pelanggaran etika, namun perasaan masa lalu sulit untuk dihindari. Hubungan mereka menjadi subplot yang intens dan menyentuh.

Selain Sydney dan Damon, karakter-karakter juri lainnya digambarkan dengan jelas dan berwarna, seorang nenek yang bijak, mahasiswa sarkastik, juri pendiam yang mencurigakan, hingga pemimpin juri yang ambisius. Dinamika di antara mereka memperkaya konflik dan memperkuat elemen drama.

Sydney bukan tanpa konflik internal. Ia mulai mempertanyakan keyakinannya terhadap sistem hukum, terhadap media yang membentuk opini publik, bahkan terhadap Margot sendiri yang perlahan memperlihatkan wajah ganda. 

Cerita ini tidak sekadar berpusat pada pembuktian hukum, tetapi pada pencarian identitas, pengampunan, dan pemulihan trauma. Sydney memproses ulang masa kecilnya, hubungan keluarganya yang retak, dan bagaimana rasa percaya yang hancur memengaruhi kemampuannya membangun relasi.

Alexander menyisipkan banyak referensi budaya pop, terutama tentang reality show, yang menjadi satire tersendiri. Ia mengejek sekaligus mengapresiasi bagaimana publik memuja selebritas, bahkan saat mereka berada dalam kasus kriminal.

Gaya penulisannya cerdas dan ringan. Alexander menggunakan istilah-istilah hukum di awal setiap bab, lengkap dengan definisinya, lalu mengaitkannya dengan konflik dalam bab tersebut. Ini membuat pembaca belajar sambil terhibur, tanpa merasa digurui.

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah keseimbangan nada. Ia bisa serius saat membahas sistem peradilan yang cacat, lalu ringan dan jenaka saat menyentuh momen-momen awkward antara Sydney dan Damon.

Dinamika jumlah menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Apakah mereka semua tulus ingin mencari kebenaran? Ataukah ada yang ingin memanipulasi hasil demi ambisi pribadi atau bias yang tak disadari?

Sementara penyelidikan berlangsung, Sidney dan Damon diam-diam mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Margot dan suaminya. Misi kecil mereka di balik persidangan membawa nuansa investigatif yang memperkaya alur cerita.

Hubungan Sydney dan Damon terasa organik. Mereka tidak langsung jatuh cinta kembali, melainkan dibangun perlahan lewat percakapan, kilas balik, dan pertanyaan yang belum sempat terjawab satu dekade lalu. Ini membuat romansa terasa lebih matang dan emosional.

Namun, pembaca merasa jika penyelesaian kasus Margot agak dipaksakan dan terlalu cepat. Meskipun ada twist mengejutkan, pengungkapannya terasa terburu-buru dibandingkan build-up-nya yang kuat.

Meski demikian, "Courtroom Drama" tetap memberikan kepuasan dari segi emosional. Sydney akhirnya menemukan keberanian untuk memaafkan masa lalu dan memilih dirinya sendiri, meskipun keputusan itu tidak selalu mudah atau tanpa konsekuensi.

Alexander dengan piawai mengangkat tema kedewasaan emosional, identitas, dan keadilan sosial, menyuguhkan cerita yang relevan bagi pembaca modern. Apalagi dengan latar karakter multirasial dan dinamika keluarga broken home, novel ini terasa inklusif dan jujur.

Secara keseluruhan, novel ini adalah eksplorasi emosional yang memikat dengan dialog yang tajam, chemistry yang menyentuh, dan misteri ruang sidang yang cukup menggugah. Neely Tubati Alexander berhasil menciptakan sebuah karya yang ringan namun berisi, menghibur sekaligus reflektif.

Identitas Buku

Judul: Courtroom Drama

Penulis: Neely Tubati Alexander

Penerbit: Harper Perennial

Tanggal Terbit: 20 Mei 2025

Tebal: 352 Halaman

aisyah khurin