Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film Hayya 3 – Gaza (IMDb)

Ada kalanya film bukan hanya sekadar tontonan. Hadir sebagai cermin empati, medium perenungan, bahkan seruan bagi nurani yang (mungkin) mulai kebas. 

Film Hayya 3 – Gaza adalah salah satunya? Ditayangkan sejak 12 Juni 2025, film ini menjadi penutup dari trilogi ‘Hayya’, setelah sebelumnya dimulai melalui Film Hayya – The Power of Love dan dilanjutkan dengan Hayya 2 – Hope, Dream & Reality. 

Namun, meskipun ini kelanjutan dari dua judul sebelumnya, Hayya 3 – Gaza berdiri tegak sebagai kisah yang utuh, bahkan buat penonton yang belum mengikuti perjalanan sebelumnya.

Disutradarai Jastis Arimba dan diproduksi Warna Pictures, film ini membawa pesan kemanusiaan yang kuat: Tentang luka yang tertinggal di Palestina, tentang harapan yang tetap menyala meski berkali-kali diterpa gelombang kekerasan, dan tentang solidaritas dari negeri jauh bernama Indonesia.

Sekilas tentang Film Hayya 3 – Gaza

Di pusat cerita, ada anak laki-laki bernama Abdullah Gaza (AzamySyauqi), delapan tahun, baru saja kehilangan ayahnya yang gugur saat bertugas di Palestina sebagai relawan.

Tanpa lagi sosok yang bisa dia panggil ‘ayah’, Gaza kemudian dibawa ke Indonesia. Di sinilah dia memulai babak baru, diasuh di sebuah panti asuhan sama Ustazah Dewi (diperankan Oki Setiana Dewi), si perempuan tangguh yang menanamkan nilai kasih sayang dan keislaman kepada anak-anak asuhnya.

Di tempat yang jauh dari kampung halamannya itu, Gaza bertemu dengan Hayya (Amna Shahab), gadis Palestina yang telah lebih dulu tinggal di Indonesia. Nama Gaza membawa Hayya pada trauma masa lalunya; pada ledakan-ledakan yang pernah dia saksikan, suara sirine yang mengoyak malam, dan pada jeritan ibunya yang nggak pernah terdengar lagi.

Keduanya kemudian menjalin persahabatan yang tulus. Gaza dan Hayya, dua anak kecil yang masing-masing membawa luka, tapi juga harapan. Mereka berbagi kisah, mimpi, dan diam-diam saling menyembuhkan. 

Namun, seperti kisah nyata yang seringkali penuh guncangan, kebersamaan mereka pun dihadapkan pada ujian besar. Ada satu peristiwa mengancam memisahkan mereka, yang memaksa keduanya merenungkan ulang apa arti rumah, keluarga, dan cinta dalam bentuknya yang paling jujur.

Impresi Selepas Nonton Film Hayya 3 - Gaza

Selain menghadirkan dua karakter utama yang mencuri hati, film ini juga diperkuat para pemeran pendukungnya. Ada Cut Syifa sebagai Shafira, Arafah Rianti, Fauzi Baadila, dan Adhin Abdul Hakim. Dialog-dialog yang mengalir dengan puitis tapi tetap membumi adalah hasil kolaborasi apik dari dua penulis kenamaan: Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa, yang juga turut bertindak sebagai produser.

Memang ‘Hayya 3 – Gaza bukan film propaganda, juga juga bukan semata ajakan donasi atau bentuk retorika aktivisme. Namun, bentuk seni yang mengingatkan bahwa konflik di Palestina bukan hanya tentang politik atau wilayah, melainkan tentang manusia (terutama anak-anak) yang merindukan pelukan ayah, dekapan ibu, dan rasa aman dalam tidur mereka.

Sayangnya ….

Di antara semua hal yang menggugah dari film ini, aku nggak bisa nggak ngomongin satu hal yang jujur saja, ganggu banget sejak awal terkait posternya.

Serius, coba lihat deh. Poster Hayya 3 –Gaza itu tampil seperti poster film perang kelas berat. Kota hancur, reruntuhan bangunan di kedua sisi, langit merah pekat dipenuhi asap dan lintasan roket, lalu judul “GAZA” terpampang besar-besar di bawah. Apinya menyala. Warnanya membara. Semua elemen visual itu membawa pesan keras: Ini film tentang zona perang, tentang tragedi yang berlangsung di jantung konflik, tentang Gaza yang sebenarnya. 

Kenyataannya?

Film ini sebagian besar terjadi di Indonesia. Nggak ada satu pun adegan panjang yang benar-benar membawa kita masuk ke dalam Gaza secara langsung. Nggak ada visual kehancuran kota besar-besaran seperti yang dijanjikan posternya.

Kilas balik tentang peperangan pun, hanya sesingkat nyala lilin yang ditiup pelan. Gaza dalam film ini hadir hanya sebagai nama, dan mungkin sebagai trauma, tapi bukan sebagai tempat aktual yang aktif membentuk cerita. Bahkan, setting cerita lebih banyak bermain di lingkungan panti asuhan dan ruang lain yang aman dan nyaman.

Dan di situ letak masalahnya. Bukan karena dramanya jelek, tapi karena cara film ini memasang wajahnya. Poster dan judulnya seperti janji besar yang kemudian disajikan dalam bentuk lain. Rasanya kayak mengunjungi warung makan yang pasang papan “Mie Aceh Paling Pedas”, tapi yang didapat justru mie rebus kuah bening rasa kaldu ayam.

Dan ketika Gaza (tempat nyata dengan luka yang sangat riil) hanya jadi tempelan estetika visual dan daya tarik emosional, di situ mulai terasa ganjil. Mungkin maksudnya baik, ingin membawa empati lewat cara yang lembut, lewat anak-anak dan trauma. Tetap saja, menyandingkan judul "Gaza" dengan kehancuran perang di poster, lalu ngasih sebuah drama keluarga yang berlatar damai, itu seperti menjual kesedihan Palestina sebagai label, bukan sebagai substansi.

Bukannya aku gak bisa terhubung secara emosional lewat kisah diaspora dan traumanya. Sayangnya memang, ekspektasi itu penting. Dan ketika ekspektasi yang dibangun terlalu jauh dari isi, rasanya nggak heran kalau sebagian penonton pulang dengan rasa janggal, bahkan kecewa. 

Film ini mungkin memang bukan tentang Gaza sebagai tempat, melainkan Gaza sebagai rasa. Nah, kalau begitu, kenapa harus memilih visual dan judul yang sekeras itu? Kenapa harus mendramatisasi kehancuran yang nggak pernah benar-benar ditunjukkan? Entahlah. 

Buat Sobat Yoursay yang penasaran dan mau nonton, turunkan saja ekspektasimu ya. Selamat nonton. 

Athar Farha