Five Nights at Freddy’s 2 (2025), yang kembali digarap oleh sutradara Emma Tammi, merupakan sekuel yang paling ditunggu-tunggu oleh jutaan penggemar game survival horror buatan Scott Cawthon. Mengikuti kesuksesan besar film pertama di tahun 2023, chapter kedua ini mengajak kita terjun lagi ke dalam dunia mencekam Freddy Fazbear’s Pizza yang dipenuhi rahasia kelam dan ketakutan.
Dibuat dengan anggaran sekitar 20 juta dolar AS, film ini resmi rilis global pada 5 Desember 2025, sedangkan di Indonesia sudah bisa disaksikan mulai 3 Desember 2025, di seluruh jaringan bioskop seperti Cinema 21, XXI, dan Cinepolis.
Penayangan perdana yang bertepatan dengan awal musim libur akhir tahun ini memang membuatnya bersaing ketat dengan film-film liburan lainnya, tapi bagi komunitas FNAF, kehadirannya justru terasa seperti kado Natal paling mengerikan yang pernah ada.
Berdurasi 104 menit dan berating PG-13, film ini secara resmi aman ditonton remaja 13 tahun ke atas—meskipun rangkaian jumpscare yang brutal tetap mampu membuat penonton dewasa ikut melonjak dari kursi dan jantungan.
Sinopsis: Kembali ke Pizzeria Neraka yang Lebih Gelap
Cerita dimulai satu tahun setelah kejadian mengerikan di Freddy Fazbear's Pizza yang dialami Mike Schmidt (Josh Hutcherson) dan adik perempuannya, Abby (Piper Rubio). Kisah horor supernatural itu kini telah berubah menjadi legenda lokal yang campur aduk antara fakta dan fiksi, seperti cerita hantu urban yang dibesar-besarkan.
Mike, yang masih trauma dan berjuang mencari nafkah, menerima tawaran pekerjaan baru di cabang Freddy's yang lebih modern. Lokasi ini tampak seperti surga bagi anak-anak: animatronik yang ditingkatkan, permainan arcade canggih, dan suasana pesta yang meriah.
Namun, di balik senyuman lebar Bonnie, Chica, Foxy, dan tentu saja Freddy Fazbear yang ikonik, tersimpan rahasia gelap yang lebih dalam. Saat Abby, yang memiliki ikatan emosional aneh dengan para animatronik sejak film pertama, mulai menyelinap ke sana untuk "berteman" lagi, rangkaian peristiwa mengerikan pun dimulai.
Mike terpaksa menghadapi asal-usul sejati animatronik tersebut—sebuah konspirasi yang melibatkan pembunuhan anak-anak misterius dan jiwa-jiwa yang terperangkap di mesin-mesin itu. Film ini mengeksplorasi tema keluarga rusak, trauma masa kecil, dan bagaimana horor bisa datang dari hal-hal yang seharusnya menyenangkan.
Dari segi cerita, Five Nights at Freddy's 2 mampu menyajikan intensitas ketegangan yang jauh lebih dewasa dan terstruktur ketimbang film pertamanya.
Emma Tammi, yang kembali duduk di kursi sutradara, berhasil menyuntikkan dimensi emosional yang lebih dalam dan menyentuh, terutama lewat ikatan rumit antara Mike dan Abby. Josh Hutcherson kini menghidupkan Mike dengan lapisan kerentanan yang lebih terasa—ia bukan lagi sosok pemuda yang bertindak gegabah, melainkan seorang kakak yang rapuh dan terkuras habis oleh beban tanggung jawab.
Sementara itu, Piper Rubio sebagai Abby benar-benar menjadi pusat emosi film; kepolosan sekaligus rasa ingin tahunya yang tak terkendali berhasil menangkap inti horor FNAF, yaitu ketakutan yang justru lahir dari curiosity khas anak-anak.
Review Film Five Nights at Freddy's 2
Para animatronik pendukung, khususnya versi “withered” yang sudah rusak dan mengerikan, ditampilkan dengan efek CGI yang jauh lebih rapi dan meyakinkan, meski jumpscare klasik tetap menjadi senjata utama.
Bunyi-bunyi mekanis yang berderit mengerikan, tawa anak-anak yang menggema samar-samar di kegelapan, serta skor musik karya The Newton Brothers yang sarat akan ketegangan sonik, berhasil membuat suasana pizzeria terasa begitu hidup sekaligus mati—sebuah paradoks mencekam yang khas FNAF.
Meski begitu, Five Nights at Freddy’s 2 jelas bukan film yang sempurna. Kelemahan paling mencolok adalah inkonsistensi plot yang cukup kentara, sampai-sampai penggemar garis keras lore FNAF sering kali hanya bisa geleng-geleng kepala.
Beberapa bagian penting dari mitologi game—terutama latar belakang William Afton yang kembali diperankan Matthew Lillard sebagai villain utama—disajikan dengan tergesa-gesa dan terasa setengah matang, sehingga kehilangan bobot yang seharusnya dimilikinya.
Puncak cerita, ketika Mike terpaksa “bernegosiasi” dengan animatronik demi menyelamatkan Abby, juga terasa terlalu mengandalkan fan service berlebihan: referensi langsung ke mekanik dan jumpscare game memang memancing sorak penggemar, tapi justru mengorbankan orisinalitas dan membuat klimaksnya kurang bertenaga.
Elemen horornya pun terasa lebih jinak dibanding film pertama; pendekatan kali ini lebih mengarah ke thriller psikologis ketimbang gore atau kekerasan eksplisit, yang kemungkinan besar akan mengecewakan penonton yang datang mengharapkan darah berceceran atau teror yang lebih brutal.
Intinya, film ini memang berhasil menghadirkan “teman-teman lama” sekaligus “teror baru” yang tetap menghibur, tapi juga datang dengan catatan keras: ada tema kekerasan implisit dan beberapa dialog kasar yang sebaiknya dipertimbangkan orang tua sebelum mengajak anak di bawah umur.
Bagi sebagian besar fandom, tetap saja ini adalah puncak hiburan franchise—peak cinema versi FNAF—terutama karena kesetiaan yang tinggi terhadap materi aslinya, meski dengan segala kekurangannya.
Secara visual, film ini unggul di departemen desain produksi. Pizzeria baru dirancang seperti labirin neon yang suram, dengan cahaya redup yang menyorot mata merah animatronik di kegelapan—efek yang membuatku merasa seperti sedang bermain game asli di layar lebar.
Adegan malam hari, di mana Mike memantau kamera keamanan, adalah homage sempurna ke mekanik gameplay, lengkap dengan baterai yang habis secara dramatis. Tammi juga pintar memanfaatkan elemen emosional: Abby melihat animatronik sebagai "teman" yang kesepian, menciptakan kontras menyedihkan antara kegembiraan siang hari dan kengerian malam. Ini menambah kedalaman, membuat horor tidak hanya soal takut, tapi juga soal kehilangan dan penebusan.
Bagi para penggemar FNAF, sekuel ini terasa seperti upgrade yang sangat memuaskan: skalanya lebih megah, atmosfer lebih kelam, dan ikatan emosionalnya jauh lebih dalam. Memang masih ada beberapa plot hole yang cukup mengganjal, tapi chemistry kuat antara para karakternya serta dedikasi tinggi terhadap lore asli berhasil menutupi kekurangan itu dan tetap membuat film ini adiktif untuk ditonton.
Kalau film pertama lebih berfungsi sebagai pintu masuk yang fun dan penuh kejutan, bagian kedua ini adalah pengalaman yang lebih intens dan menyayat hati—meski tingkat kengeriannya tidak selalu lebih ganas. Skor pribadiku tetap 7.5/10. Sangat pas dijadikan penutup marathon horor akhir tahun, apalagi kalau ditonton rame-rame di bioskop biar ada yang dipeluk pas Foxy tiba-tiba nyelonong dari kegelapan.
Jadi, jangan sampai ketinggalan! Tayang perdana mulai 3 Desember 2025. Freddy dan kawan-kawan sudah siap menyambutmu di kursi bioskop. Datanglah… kalau berani!
Baca Juga
-
Revitalisasi Kampung Nelayan di Tengah Gempuran Modernitas
-
Review Film Eternity: Cinta Abadi di Balik Birokrasi Akhirat
-
Review Film Pesugihan Sate Gagak: Komedi Horor Absurd yang Bikin Ngakak
-
Self-love sebagai Tameng Terkuat Melawan Kata-kata Pelaku Bullying
-
Mengajarkan Empati Sejak Dini: Kunci Mencegah Generasi Pembully
Artikel Terkait
Ulasan
-
Ulasan Film In Your Dreams: Tatkala Mimpi Jadi Kunci Mengubah Nasib
-
Review Film Eternity: Cinta Abadi di Balik Birokrasi Akhirat
-
Review Film Pesugihan Sate Gagak: Komedi Horor Absurd yang Bikin Ngakak
-
3 Daftar Novel Dee Lestari yang Akan Diadaptasi Menjadi Serial Netflix
-
Ulasan Film Dead of Winter, Survival di Tengah Badai dan Ancaman Manusia
Terkini
-
Revitalisasi Kampung Nelayan di Tengah Gempuran Modernitas
-
Perundungan Tak Kasat Mata: Saat Covert Bullying Menghancurkan Tanpa Suara
-
4 Serum Kandungan Exosome Ampuh Atasi Wrinkle dan Buat Kulit Auto Plumpy!
-
Ungkap Judul Resmi, Film Detective Conan Terbaru Bakal Tayang Tahun Depan
-
Disutradarai oleh Hanung Bramantyo, Ini Pemeran Film Children of Heaven