Berbeda dari kebanyakan film horor Indonesia yang biasanya bertaruh nyawa pada jumpscare instan, Riba justru datang dengan pendekatan yang jauh lebih elegan: teror dibungkus rapat dalam drama keluarga yang menusuk hati.
Disutradarai Adhe Dharmastriya dan diproduksi Verona Pictures, film ini merupakan adaptasi resmi dari thread viral “Getih Anak” karya akun Mitologue di X, yang sempat membuat jagat Twitter gempar karena kisah nyata praktik riba di desa-desa Jawa.
Berdurasi 95 menit, Riba bukan film hantu biasa. Ini adalah alegori sosial yang tajam tentang bagaimana jerat utang berbunga bisa lebih mengerikan daripada makhluk gaib mana pun. Film ini resmi tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia hari ini, 4 Desember 2025, melalui jaringan Cinema XXI, CGV, Cinepolis, dan lainnya. Tiket pre-sale yang dibuka sejak 23 November lalu langsung ludes di banyak kota, menandakan antusiasme yang luar biasa.
Sinopsis: Jerat Riba dan Ritual Getih Anak yang Menghancurkan Keluarga
Kisahnya mengikuti Sugi (Ibrahim Risyad), seorang pengepul tembakau sederhana di sebuah desa terpencil Jawa Tengah. Kehidupan rumah tangganya yang hangat bersama istri Rohmah (Fanny Ghassani), dua anak kecilnya—Dimas (Kevin Danu) dan Bening—serta ibu mertua Lastri (Jajang C. Noer) tiba-tiba berubah menjadi neraka ketika ia terlilit utang riba pada Pak Haji (Wafda Saifan), rentenir kejam yang tak kenal ampun.
Dalam keputusasaan, Sugi tergoda menjalani ritual terlarang bernama “Getih Anak”—pesugihan kelam yang menjanjikan kekayaan dengan mengorbankan darah keturunannya sendiri. Dari situlah teror sejati bermula: bukan pocong yang meloncat tiba-tiba, melainkan rasa bersalah dan kutukan yang perlahan menghancurkan keluarga dari dalam.
Adhe Dharmastriya, yang sebelumnya menggebrak lewat Iblis Dalam Kandungan (2022), berhasil mengemas cerita dengan ritme yang sangat terukur. Paruh pertama film terasa seperti potongan kehidupan desa yang nyata: aroma tembakau, suara gamelan samar-samar, tawa anak-anak, dan obrolan santai di teras bambu—semua itu membuat kita benar-benar peduli pada keluarga Sugi.
Ketika akhirnya elemen horor masuk, transisinya terasa organik; ritual “Getih Anak” bukan sekadar alat cerita, tapi cerminan nyata bagaimana riba bisa menjadi “setan” yang jauh lebih menakutkan daripada kuntilanak di layar kaca.
Review Film Riba
Akting menjadi salah satu nyawa utama film ini. Ibrahim Risyad berhasil membuat Sugi terasa manusiawi—bukan pahlawan atau penutup dosa, tapi ayah biasa yang salah langkah. Namun yang paling mencuri perhatian adalah Fanny Ghassani sebagai Rohmah.
Ekspresinya saat menyanyi ninabobok untuk anak-anak sambil menahan air mata, atau saat ia diam-diam melawan kutukan, benar-benar menghantui. Kevin Danu sebagai Dimas juga luar biasa; bocah ini bukan sekadar “anak imut” yang jadi umpan hantu, tapi representasi generasi yang menanggung dosa orang tua. Bahkan Wafda Saifan sebagai Pak Haji, meski dialognya minim, mampu membuatku geram sekaligus ngeri hanya lewat tatapan dinginnya.
Secara tema, Riba sangat cerdas menggabungkan horor supernatural dengan kritik sosial yang aktual. Riba di sini bukan sekadar istilah agama, tapi metafora “darah anak” yang terus dikorbankan demi ambisi sesaat.
Nuansa budaya Jawa terasa kental: sesajen, mantra-mantra dalam bahasa Jawa kuno, dan visual makhluk gaib yang terinspirasi folklore lokal membuat film ini terasa sangat “Indonesia”. Pesan moralnya pun tersampaikan halus—seperti kalimat Mbok Lastri, “Utang dunia dibayar dunia, utang akhirat dibayar nyawa”—yang terus bergema sampai kredit akhir.
Dari sisi teknis, sinematografi Fajar Bagaskara patut diacungi jempol. Cahaya lampu teplok yang temaram, bayangan panjang di kebun tembakau, ditambah sound design yang memadukan angin malam dengan bisikan ritual, menciptakan suasana mencekam tanpa perlu CGI berlebihan. Musik arahan Rahung Nasution yang menggabungkan gamelan dengan orkestra modern juga berhasil bikin bulu kuduk berdiri.
Tentu ada kekurangan kecil: beberapa jumpscare di paruh akhir masih terasa generik, dan tempo kadang melambat ketika menggali backstory keluarga. Bagi yang tidak sabar dengan horor slow-burn, mungkin akan sedikit terganggu. Karakter Rohmah yang punya semangat perlawanan juga sebenarnya bisa digali lebih dalam, sayangnya terbatas durasi.
Namun semua itu tak mengurangi fakta bahwa Riba adalah salah satu film horor Indonesia terbaik tahun ini. Ini berhasil membuatku takut sekaligus menangis, geram sekaligus introspeksi. Di tengah banjir film horor yang mudah dilupakan, Riba mengingatkan kita pada satu pertanyaan sederhana tapi mengerikan: kalau kita berani berutang riba, apakah kita juga berani membayarnya dengan darah anak cucu kita sendiri?
Dengan harga tiket mulai Rp 50.000–Rp 75.000 di XXI, ini adalah “investasi” yang sangat worth it untuk malam yang penuh keringat dingin dan renungan panjang. Rating pribadi: 8/10. Segera tonton sebelum kursi bioskop habis—karena ternyata, hantu paling seram di hidup kita sering kali bukan makhluk gaib, tapi bunga utang yang tak pernah selesai.
Baca Juga
-
Review Film Five Nights at Freddy's 2: Hadir dengan Teror dan Twist Baru!
-
Revitalisasi Kampung Nelayan di Tengah Gempuran Modernitas
-
Review Film Eternity: Cinta Abadi di Balik Birokrasi Akhirat
-
Review Film Pesugihan Sate Gagak: Komedi Horor Absurd yang Bikin Ngakak
-
Self-love sebagai Tameng Terkuat Melawan Kata-kata Pelaku Bullying
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film Five Nights at Freddy's 2: Hadir dengan Teror dan Twist Baru!
-
Ulasan Film In Your Dreams: Tatkala Mimpi Jadi Kunci Mengubah Nasib
-
Review Film Eternity: Cinta Abadi di Balik Birokrasi Akhirat
-
Review Film Pesugihan Sate Gagak: Komedi Horor Absurd yang Bikin Ngakak
-
3 Daftar Novel Dee Lestari yang Akan Diadaptasi Menjadi Serial Netflix
Terkini
-
Hell's Paradise S2 Tayang Januari 2026, MAPPA Janjikan Aksi Lebih Intens
-
6 Kebiasaan Sederhana untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Setiap Hari
-
Cancel Culture dan Toxic Call-Out: Edukasi atau Bullying Berkedok Moral?
-
Bupati Tak Menyerah, tapi Sistem Penanganan Bencana Aceh Jelas Kewalahan
-
Trailer Ready or Not 2: Here I Come Dirilis, Samara Weaving Kembali!