Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Deviana Purbaning Hapsari
Ilustrasi wanita lelah (Unsplash).

Tidur ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk melepaskan rasa lelah, sekaligus mengistirahatkan tubuh agar kembali segar di hari besok. Menurut National Sleep Foundation, manusia seharusnya memiliki waktu tidur dengan rentang waktu 7-9 jam setiap malamnya. Sayangnya, hingga saat ini permasalahan kurang tidur justru makin umum dalam masyarakat.

Kurangnya waktu tidur dan kesehatan mental merupakan hubungan yang saling berkaitan dua arah. Permasalahan ini telah menarik perhatian baik di ranah publik maupun akademik. Kurang tidur biasanya akan dikaitkan dengan peningkatan suasana hati negatif, peningkatan reaktivitas emosional terhadap pemandangan visual dan wajah, serta pemrosesan memori emosional yang berubah. Sayangnya, kurang tidur juga memiliki dampak kesehatan yang signifikan termasuk pada gangguan metabolisme, penyakit kardiovaskular, juga gangguan mental termasuk depresi dan gangguan kecemasan.

Pada jurnal penelitian yang ditulis oleh Fifel et al. (2017), dilakukan penelitian pada tikus dan ditemukan bahwa tikus jantan dewasa yang 6 jam kurang tidur akan menginduksi perubahan pada aktivitas saraf dalam hipotalamus lateral, nukleus paraventrikular, nukleus arkuata, dan tubuh mammillary.

Perubahan ini bertahan hingga 48 jam dan membuktikan bahwa kurang tidur memiliki efek berkepanjangan pada aktivitas di beberapa daerah hipotalamus. Perubahan hipotalamus ini menjadi dasar keterkaitan antara kurang tidur dengan beberapa penyakit seperti gangguan metabolisme, stres dan depresi. Oleh karena itu, tidur yang cukup sangat penting untuk fungsi otonom yang dikendalikan oleh hipotalamus.

Fakta Pengaruh Kurang Tidur Terhadap Peningkatan Stres, Kecemasan, Gejala Depresi, dan Fungsi Emosional

Banyak penelitian dilakukan pada remaja yang kekurangan waktu tidur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang tidur berkaitan dengan fungsi emosional yang buruk pada remaja tanpa gangguan kejiwaan yang didiagnosis. Misalnya, dalam sampel non-klinis, kurang tidur dikaitkan dengan lebih banyak gejala depresi, perasaan putus asa dan kecemasan yang lebih besar.

Berdasarkan Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007, sebanyak 11,6% penduduk Indonesia kelompok usia 15-24 tahun mengalami gangguan mental emosional. Pola tidur seperti kualitas dan waktu tidur juga menjadi salah satu hal yang berperan pada perkembangan mental emosional.

Sebuah studi epidemiologi yang dilakukan di Ethiopia menunjukkan bahwa sekitar 49% remaja mengalami kualitas tidur yang buruk. Kurang tidur dapat merangsang terjadinya kesulitan emosional yang dapat menyebabkan peningkatan stres dan kecemasan serta meningkatkan reaksi simpatetik terhadap stimulus yang tidak menyenangkan. Namun, masih banyak faktor lain dari komponen kualitas tidur yang dapat memengaruhi mental dan emosional.

Kualitas tidur dapat dinilai dari beberapa aspek, seperti atensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur subjektif, efisiensi tidur sehari-hari, gangguan tidur, penggunaan obat tidur dan disfungsi di siang hari. Sebaliknya, tidur yang cukup secara konsisten berkaitan dengan peningkatan kesehatan emosional. Durasi tidur yang pendek pada malam hari juga berhubungan dengan berkurangnya mood dan meningkatnya kecemasan pada dewasa muda.

Pada studi terbaru diidentifikasi mekanisme saraf yang mendasari temuan dari studi eksperimental, di mana remaja menunjukkan peningkatan depresi, kecemasan, kekuatan dan kelelahan setelah kurang tidur. Satu studi longitudinal, misalnya, meneliti gejala insomnia pada gadis remaja awal pada usia 9 hingga 13 tahun dan kemudian mengukur pemrosesan penghargaan saraf dengan fMRI beberapa tahun kemudian.

Studi ini menemukan bahwa tidur non-restoratif yang dilaporkan sendiri (yaitu, melaporkan perasaan tidak tenang saat bangun) pada usia 9-13 tahun secara positif terkait dengan respons korteks prefrontal medial dorsal (dmPFC), untuk mengantisipasi penghargaan dan gejala depresi beberapa tahun kemudian. Karena peran penting dmPFC dalam kontrol afektif, temuan ini menunjukkan bahwa kurang tidur dapat berkontribusi pada pengaruh depresi dengan mengganggu fungsi dmPFC.

Fakta Kurang Tidur Terhadap Perilaku Penarikan Sosial dan Perasaan Kesepian

Selain menyebabkan gangguan metabolisme, gangguan mental emosional, serta mengganggu fungsi dorsomedial prefrontal cortex, kurang tidur ternyata juga menyebabkan fenotipe saraf dan perilaku penarikan sosial dan kesepian. Seperti yang ditulis pada hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ben Simon, E., Walker, M.P. (2018), menunjukkan bahwa kurang tidur menyebabkan fenotipe saraf dan perilaku penarikan sosial dan kesepian; salah satu yang dapat dirasakan oleh anggota masyarakat lainnya, dan secara timbal balik, membuat anggota masyarakat tersebut lebih kesepian.

Manusia sejatinya tidak berevolusi sendirian. Sosialitas memainkan peran mendasar dalam kesejahteraan manusia. Sebaliknya, isolasi sosial dan kesepian diketahui sebagai faktor risiko kematian dini lebih besar daripada obesitas. Individu yang merasa terisolasi secara sosial juga memiliki tingkat penyakit kardiovaskular, alkoholisme, dan bunuh diri yang lebih tinggi.

Selain itu, perasaan kesepian juga dapat menyebabkan penyakit fisik yang terkait dengan stres dan gangguan fungsi kekebalan. Di kemudian hari, risiko demensia degeneratif yang lebih besar. Hal yang paling penting, kesepian memiliki karakteristik yang menguatkan diri sendiri.

Jika seseorang dianggap kesepian, orang lain akan sering melepaskan diri dari interaksi bersama mereka, sehingga menghasilkan siklus isolasi sosial yang rumit. Oleh karena itu, konsep luas fenotipe asosial melibatkan banyak fitur, termasuk jarak sosial dan penarikan diri dari orang lain, perasaan subjektif dari isolasi sosial dan kesepian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kurang tidur menyebabkan individu menjadi lebih menghindari sosial, menjaga jarak sosial yang lebih besar dari orang lain.

Kesimpulan

Dengan demikian, setiap orang diharapkan bisa menjaga pola tidur agar terhindar dari gangguan fisik dan mental yang ditimbulkan akibat kurang tidur, serta mengikuti rata-rata jam tidur yang ditetapkan oleh National Sleep Foundation yaitu sekitar 7-9 jam setiap malamnya.

Pasalnya, kurangnya waktu tidur menjadi salah satu pemicu untuk terjadinya gangguan mental emosional, seperti depresi, anxiety, penarikan diri sosial, dan kesepian. Selain itu, tidur dengan waktu yang cukup dapat mencegah untuk terjadinya kerusakan otak dan mencegah untuk terjadinya gangguan metabolisme tubuh.

Deviana Purbaning Hapsari

Baca Juga