Masalah kesehatan mental, seperti stres, kecemasan, dan depresi, dewasa ini menjadi semakin umum terjadi pada siapa saja tanpa memandang status sosial, maupun gender.
Fenomena ini menjadi perhatian global, termasuk di Indonesia, di mana survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja (34,9%) memiliki satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Meskipun prevalensi masalah mental tinggi, banyak individu, termasuk di kalangan remaja, tidak memiliki akses langsung ke terapi profesional.
Hambatan ini sering kali disebabkan oleh tingginya biaya, kurangnya ketersediaan praktisi, dan stigma sosial yang masih melekat pada isu kesehatan mental.
Biblioterapi muncul sebagai sebuah pendekatan yang memiliki potensi yang cukup signifikan. Dengan biayanya yang rendah, efisiensi tinggi, dan sifatnya yang non-stigma, biblioterapi dapat menjangkau populasi yang tidak terlayani oleh bentuk terapi pada umumnya.
Biblioterapi merupakan sebuah istilah yang berasal dari gabungan dua kata Yunani, biblio (buku) dan therapeia (pengobatan), secara harfiah dapat diartikan sebagai "penyembuhan melalui buku".
Metode ini adalah seni dan ilmu yang disengaja dalam menggunakan bahan bacaan baik fiksi maupun nonfiksi sebagai sarana untuk pemulihan emosional dan pengembangan diri.
Berbeda dari sekadar membaca untuk hiburan, biblioterapi melibatkan proses membaca dengan niat untuk refleksi, pemahaman diri, dan pertumbuhan personal.
Biblioterapi dapat disesuaikan untuk berbagai usia dari anak-anak hingga dewasa bahkan lansia. Bagi anak-anak biblioterapi sering digunakan untuk membantu mereka mengatasi kesulitan emosional, sosial, dan pencarian jati diri.
Bagi orang dewasa hingg lansia biblioterapi dapat membantu dalam menghadapi masalah stres, kecemasan, atau trauma. Bagi lansia, metode ini dapat membantu menjaga kesehatan mental dan merefleksikan pengalaman hidup.
Studi menunjukkan bahwa biblioterapi juga bermanfaat bagi pengasuh yang merawat anggota keluarga dengan masalah kesehatan jiwa, membantu mereka dalam keterampilan pemecahan masalah sosial (Fitria, 2016).
Dalam sebuah literatur, bilblioterapi adalah sebuah terapi yang dapat dilakukan secara mandiri melalui sebuah media atau buku bacaan yang spesifik dan valid. Namun, tak jarang juga yang memerlukan bantuan profesional dalam menanganinya.
Melalui aktivitas membaca, seseorang dapat menginterpretasikan makna dari sebuah buku yang ia baca, seperti rasa haru, simpati, empati dan lainnya. Perasaan-perasaan tersebut yang dapat meningkatkan seseorang untuk berperilaku secara adaptif (Fitria, 2016).
Dilansir dari alodokter.com, selain untuk depresi dan kecemasan, biblioterapi juga efektif untuk menangani gangguan makan, masalah ketergantungan narkoba, masalah hubungan asmara, dan isu-isu seperti kesepian, isolasi, dan trauma masa lalu.
Namun demikian, biblioterapi sangat tidak direkomendasikan sebagai salah satu cara pengobatan untuk masalah psikologis berat yang sangat parah. Artinya terapi ini tidak cocok untuk semua orang.
Keberhasilan biblioterapi juga sangat bergantung pada pemilihan materi bacaan yang tepat. Praktisi harus mempertimbangkan beberapa faktor penting saat memilih buku, dengan faktor terpenting adalah masalah yang dihadapi klien.
Dilansir dari Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kabuaten Lamongan, merinci beberapa contoh buku yang sering direkomendasikan dalam biblioterapi.
Buku fiksi diantaranya The Alchemist oleh Paulo Coelho (untuk mencari jati diri), To Kill a Mockingbird oleh Harper Lee (untuk empati dan keadilan) , dan Laut Bercerita oleh Leila S. Chudori (untuk kesadaran sosial).
Buku Nonfiksi diantaranya The Body Keeps the Score oleh Bessel van der Kolk (untuk pemahaman trauma), Man's Search for Meaning oleh Viktor E. Frankl (untuk menemukan makna hidup) , dan Filosofi Teras oleh Henry Manampiring (untuk menghadapi emosi).
Jika kamu memiliki masalah-masalah kesehatan mental ringan kamu bisa mencoba terapi ini secara mandiri dengan memilih bahan bacaan sesuai kebutuhan dan kondisi kamu. Selain itu juga bisa melalui bantuan profesional seperti psikolog untuk tindakan yang lebih maksimal.
Baca Juga
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Sophie's Perfect Birthday, Pentingnya Kepedulian kepada Sesama
-
Hospital-Based vs University-Based: Perang Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia?
-
Ulasan Buku Living In Zen, Inspirasi untuk Membuat Perubahan dalam Hidup
-
Novel Lessons in Chemistry: Perempuan yang Mengubah Cara Pandang Dunia
-
UGM Mendadak Batalkan Peluncuran Buku 'Jokowi's White Paper', AC dan Lampu Mendadak Dimatikan
Health
-
Kabar Buruk dari Jakarta! Udara Pagi Ini Resmi Masuk Peringkat 5 Terburuk di Dunia
-
Nitrit Lebih Mematikan dari Bakteri? 5 Fakta Mengerikan di Balik 1.315 Siswa Keracunan MBG
-
Waspada! Hipertensi Intai Anak Muda, Ini Resep Sehat Kata Dokter
-
7 RS di Jakarta Ini Tawarkan Paket MCU Unik: Cek Kesehatan Jiwa Hingga Bebas Narkoba
-
Bahaya 'Siang Ngantuk, Malam Melek' Lebih Serius dari yang Kamu Kira! (Menarik karena menakutkan)
Terkini
-
Tepuk Sakinah Viral, Tapi Sudahkah Kita Paham Maknanya?
-
Years Gone By: Ketika Cinta Tumbuh dari Kepura-puraan
-
Tak Hanya Lolos, Indonesia Bisa Panen Poin Besar Jika Menang di Ronde Empat
-
Saat Medsos Jadi Cermin Kepribadian: Siapa Paling Rentan Stres Digital?
-
Minimalis Tapi On Point! 4 Daily OOTD Classy ala Moon Ga Young