Hampir setiap hari kita mendengar kasus bunuh diri, baik itu di televisi, koran ataupun di media sosial. WHO menyatakan bahwa setiap 40 detik terdapat satu orang atau setara dengan 800 ribu orang setiap tahun yang meninggal karena bunuh diri. Menurut data Kepolisian Indonesia, pada tahun 2020 dilaporkan terdapat 671 orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Sedangkan BPS tahun 2020 mencatat terdapat total 2.787 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Tingginya kasus bunuh diri menunjukkan bahwa adanya ketidakmampuan untuk mencari solusi saat mengalami depresi. Lalu apakah depresi itu? Mengapa depresi bisa terjadi?
Depresi adalah suatu kondisi di mana seseorang biasanya merasa rendah diri, marah, sedih, menutup diri dan bahkan merasa tidak berharga. Ini merupakan gangguan pada emosi yang tentunya dipicu oleh banyak hal. Nah, segala hal yang dapat memicu terjadinya depresi disebut stressor. Depresi bisa terjadi saat tubuh tidak mampu beradaptasi dengan stresor yang berlebihan. Stresor tersebut dapat berupa suatu peristiwa kehilangan sesuatu objek yang dicintai, misalnya orang tersayang, harta benda, pekerjaan, jabatan, kejadian tragis/trauma, bencana alam bahkan masalah keuangan. Besarnya stresor yang dihadapi menimbulkan efek yang berbeda pada diri seseorang.
Dalam kondisi tertentu, depresi dapat kita katakan sebagai suatu reaksi normal ketika menghadapi suatu permasalahan. Namun, ada waktu-waktu tertentu, di mana depresi mulai mengacaukan kehidupan seseorang. Sebagai contoh, setiap orang pernah merasakan sedih, tetapi hampir sebagian besar mampu melaluinya dalam hidup dan kemudian perasaan sedih itu hilang lalu kembali beraktivitas secara normal.
Adapula orang yang berlarut-larut dalam nuansa kesedihan sehingga bersedih dalam waktu yang cukup lama, bahkan dapat lebih dari satu bulan. Keadaan ini biasanya berhubungan dengan gejala-gejala ketidakmampuan seperti kelelahan dan sulit berkonsentrasi. Kemudian mulai mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan mengganggu pekerjaan. Jika kondisi ini mulai mengganggu kehidupan dan baru hilang dalam waktu yang lama, maka dapat dipastikan bahwa seseorang menderita gangguan depresi.
Depresi ditunjukkan dengan tanda-tanda berikut ini:
1. Fisik
Merasa lelah dan tidak bertenaga, sakit dan nyeri di seluruh tubuh yang tidak jelas sebabnya, mengalami gangguan tidur, dan perubahan nafsu makan
2. Perasaan
Perasaan sedih dan menderita; hilangnya rasa ketertarikan pada hidup, seperti terhadap interaksi sosial dan pekerjaan; rasa bersalah.
3. Pikiran
Tidak punya harapan akan masa depan, sulit konsentrasi dan mengambil keputusan; merasa diri tidak sebaik orang lain (tidak percaya diri), merasa bahwa mungkin lebih baik jika ia tidak hidup, sehingga muncul keinginan dan rencana untuk bunuh diri
Mengapa bisa timbul keinginan untuk bunuh diri ?
Disadur dari Sherwood, saat seseorang mengalami rasa takut, sedih, cemas dan hal hal lain yang berhubungan dengan emosi. Stimulus atau rangsangan sensorik nantinya akan dihantarkan menuju talamus untuk diproses. Ketika sudah diproses di thalamus, kemudian stimulus tersebut akan dibawa menuju korteks serebri yang akhirnya akan dipersepsikan sebagai respon emosi.
Pada korteks serebri, terdapat bagian prefrontal korteks yang nantinya akan mengontrol perilaku bawaan dan tindakan sesuai pikiran. Kemudian stimulus tersebut akan dibawa menuju amigdala sebagai pusat emosi dan akan dibawa terus menuju Hipotalamus dan Batang otak yang akhirnya akan dibawa menuju efektor sebagai respon fisik. Hal inilah yang menggerakkan tangan dan kaki seseorang ketika melakukan tindakan bunuh diri
Secara etiologi (Kaplan. ed), depresi terjadi karena adanya penurunan kadar neurotransmitter di otak yaitu :
1. Norepinefrin yang mengatur kecemasan dan perhatian
2. Serotonin yang mengatur ketertarikan dan keharusan
3. Dopamin yang mengatur perhatian, motivasi dan kesenangan.
Jika ketiga neurotransmitter di atas mengalami penurunan, maka terjadi ketidakseimbangan respons imun dan metabolisme monoamin yang akan menyebabkan perilaku mood negatif. Secara sederhananya seperti ini, dalam kondisi normal, ketiga hormon di atas berfungsi untuk mengatur kebahagiaan, kesenangan, mood, perhatian. Namun, ketika terjadi penurunan atau gangguan pada regulasinya berarti kadar kesenangan dan kebahagiaan juga akan berkurang, sehingga merasa hilang minat pada apapun, suram, bahkan memutuskan untuk bunuh diri.
Padahal kenyataannya, saat mengalami fase depresi, melakukan bunuh diri bukanlah solusi terbaik untuk mengatasinya. Bunuh diri hanyalah tindakan pelarian diri untuk menghindari masalah yang ada di dunia ini. Nyawa terlalu berharga untuk dihilangkan secara sengaja oleh tangan sendiri, mengingat masih banyak diluar sana yang berjuang keras agar tetap hidup, maka sudah sepatutnya kita mensyukuri kesempatan hidup yang diberikan dengan berubah menjadi lebih baik lagi.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Bintangi Film Hutang Nyawa, Rachel Vennya Sampai Stres hingga Nangis Bareng Tasyka Namya
-
Minum Cokelat Panas dan Teh Hijau Bisa Tangkal Stres? Ini Penjelasannya
-
Serangan 'Operasi Bunuh Diri' Hamas di Tel Aviv Tewaskan Satu Orang, Ditengah Upaya Gencatan Senjata
-
Serangan Bom Bunuh Diri Sasar Pasukan Gabungan Irak-Kurd, Tiga Perwira Tewas
-
2 'Dosa Besar' Justin Hubner Selama Bela Timnas Indonesia, Bikin Tim Frustasi
Health
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Suka Konsumsi Kulit Buah Kopi? Ini 3 Manfaat yang Terkandung di Dalamnya
-
Sehat ala Cinta Laura, 5 Tips Mudah yang Bisa Kamu Tiru!
-
4 Minuman Pengahangat Tubuh di Musim Hujan, Ada yang Jadi Warisan Budaya!
-
6 Penyakit yang Sering Muncul saat Musim Hujan, Salah Satunya Influenza!
Terkini
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans
-
3 Rekomendasi Oil Serum Lokal Ampuh Meredakan Jerawat, Tertarik Mencoba?
-
Mama yang Berubah Jadi Peri di Mummy Fairy and Me 4: Keajaiban Putri Duyung