Selama ini, pola makan seseorang biasanya dinilai lewat survei, kuisioner, atau pengakuan pribadi. Tapi, sesusugguhnya tubuh kita sendiri ternyata mampu berbicara lebih jujur. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS Medicine membawa kabar penting soal ini.
Sekelompok ilmuwan berhasil mengidentifikasi biomarker – molekul dalam darah dan urin – yang mampu mengungkap seberapa banyak seseorang mengonsumsi makanan ultra-proses (ultra-processed foods atau UPF).
Temuan ini bukan sekadar pencapaian teknis dalam ilmu kesehatan. Ini adalah langkah besar menuju pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana makanan modern memengaruhi tubuh manusia dan pada gilirannya, bisa mengubah cara kita merancang kebijakan pangan, edukasi gizi, hingga praktik klinis.
Apa itu makanan ultra-proses?
Makanan ultra-proses bukan cuma mie instan atau minuman bersoda, tapi mencakup segala jenis makanan yang melalui proses industri kompleks dengan tambahan bahan-bahan seperti pewarna buatan, pengawet sintetis, pemanis buatan, hingga penguat rasa yang tidak umum ditemukan di dapur rumah. Dalam hal ini, termasuk sereal manis, biskuit kemasan, sosis, nugget, hingga frozen pizza.
Kehadiran makanan-makanan tersebut kian merajalela di rak-rak supermarket dan menjadi bagian sehari-hari dari pola makan modern, terutama di kota-kota besar. Masalahnya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pola makan tinggi UPF berkorelasi dengan peningkatan risiko obesitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung, bahkan kematian dini.
Sidik jari dari piring makanmu
Studi yang dipimpin oleh Erikka Loftfield dari National Cancer Institute, Amerika Serikat, adalah yang pertama kali berhasil mengidentifikasi biomarker biologis yang terkait dengan tingkat konsumsi makanan ultra-proses.
Dengan memeriksa darah dan urin lebih dari 2000 partisipan, tim peneliti menemukan molekul-molekul tertentu yang konsisten muncul dalam kadar lebih tinggi pada mereka yang makan lebih banyak UPF.
Ini artinya, alih-alih hanya mengandalkan kuisioner atau pengakuan lisan yang bisa bias atau tak akurat, para ilmuwan kini bisa memverifikasi secara biologis pola makan seseorang. Bahkan, suatu saat nanti, dokter mungkin bisa mengetahui seberapa bersih atau berisiko pola makan pasien hanya dengan tes urin.
Membawa implikasi besar
Ada dua implikasi besar dari penemuan ini. Pertama, dari sisi medis dan kesehatan masyarakat. Dengan adanya biomarker yang terverifikasi, evaluasi risiko penyakit kronis bisa lebih akurat. Pemeriksaan rutin bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu berdasarkan pola makan yang terdeteksi lewat darah dan urin.
Kedua, dari sisi kebijakan publik. Negara bisa mengandalkan data biologis yang objektif untuk merancang intervensi gizi, regulasi iklan makanan, atau pajak atas makanan ultra-proses. Hal ini krusial, terutama di tengah krisis gizi ganda yang melanda banyak negara berkembang berupa obesitas di satu sisi, dan kekurangan gizi mikronutrien di sisi lain.
Penemuan biomarker untuk UPF adalah sinyal bahwa masa depan gizi bakal lebih berbasis sains molekuler, bukan sekadar anjuran umum seperti yang sering kita dengar: "kurangi gula dan garam". Dengan demikian, ini juga menuntut kita, sebagai konsumen, untuk lebih kritis terhadap apa yang kita makan. Tubuh kita mencatat semuanya, bahkan saat kita tidak sadar.
Jika sebelumnya makanan ultra-proses hanya dinilai dari label dan iklan, kini tubuh sendiri yang menjadi saksi bisu dan sekaligus berbicara melalui molekul darah dan urin. Maka, tak ada lagi tempat bersembunyi bagi kebiasaan makan yang buruk.
Saatnya mendengar tubuh sendiri
Pendekatan berbasis biomarker tampaknya bisa menjadi alat bantu penting untuk memahami tubuh kita lebih dalam. Mungkin kita tak bisa selalu makan sempurna, tapi dengan memahami bagaimana makanan memengaruhi kita secara biologis, kita bisa membuat pilihan yang lebih bijak. Bukan hanya untuk umur panjang, tapi juga untuk kualitas hidup yang lebih baik.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang nutrigenomik dan metabolomik, kita kini dapat mengukur dampak konsumsi UPF secara lebih objektif, bukan cuma berdasarkan apa yang kita ingat atau catat dalam jurnal makanan, tapi dari bukti nyata yang terekam dalam darah dan urin kita.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
5 Olahraga Ini Harus Dihindari Oleh Penderita Hipertensi, Salah Satunya Lari Cepat
-
7 Tanda Leukemia yang Muncul di Kulit: Mulai dari Kurap hingga Ruam Aneh
-
Belum Tentu Sehat, Urine Bening Bak Air Bisa Jadi Indikator Penyakit Tertentu
-
Jangan Tunggu Stroke! Cek Tekanan Darah Anda Sekarang, Ikuti Langkah Pencegahan Hipertensi Ini
-
10 Rekomendasi Olahraga bagi Penderita Hipertensi, Asyik dan Menantang
Health
-
Popcorn Brain: Ketika Otak Sulit Fokus Akibat Sering Terpapar Gadget
-
Neural Fatigue: Kelelahan Kognitif Akibat Terpapar Stimulus Berulang
-
Attention Fragmentation: Pecahnya Pikiran Akibat Konsumsi Konten Receh
-
Fenomena Brain Fog: Kesulitan Fokus Akibat Sering Konsumsi Konten Receh
-
6 Jenis Tanaman yang Dapat Mengatasi Bau Mulut, Ada Apel hingga Kemangi
Terkini
-
Resmi! Drama Baru Kim Seon Ho dan Bae Suzy Dikonfirmasi Tayang Tahun 2026
-
Nubia Neo 3 GT Raih Penghargaan MURI Smartphone AI Virtual Assistant Pertama
-
Goa Rangko, Wisata Alam Permata Tersembunyi di Nusa Tenggara Timur
-
Sudah Baca Buku Self-Improvement, Tapi Kenapa Hidup Masih Berantakan?
-
Malaysia Masters 2025: Apri/Febi Satu-satunya Wakil Indonesia di Semifinal