Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi lari pagi. (Unsplash.com/ Gabin Vallet)

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang penuh tekanan, sebagian orang lari ke kopi, sebagian lagi ke drama Korea, dan sisanya… lari beneran. Ya, bukan lari dari kenyataan atau utang cicilan, melainkan lari dalam arti sesungguhnya: jogging, sprint, trail run, atau sekadar lari-lari kecil menghindari mantan.

Pada Rabu pertama bulan Juni, dunia kompak memperingati Hari Lari Sedunia atau Global Running Day, sebuah momen yang tampaknya sederhana, tapi menyimpan makna mendalam tentang kesehatan, kebebasan, dan kebahagiaan.

Sejak pertama kali digaungkan di Amerika Serikat tahun 2009, lalu menembus sekat-sekat nasionalisme pada 1 Juni 2016, peringatan ini telah menggerakkan jutaan kaki, dari atlet profesional hingga bapak-bapak komplek yang baru beli sepatu lari diskon.

Berlari, dalam kerendahan hatinya, tidak memerlukan keanggotaan gym eksklusif, pelatih pribadi, atau gadget canggih yang bisa menyuruh kita tidur. Yang dibutuhkan hanya sepatu, niat, dan sedikit dorongan untuk bergerak.

Tapi ironisnya, di era saat kita bisa memesan martabak via ponsel dan melihat kucing joget di TikTok, bergerak justru menjadi aktivitas yang "sulit". Padahal, berlari itu gratis—kecuali kamu berlari dari tanggung jawab, itu bisa mahal akibatnya.

Hari Lari Sedunia adalah pengingat bahwa langkah kecil yang konsisten bisa membawa perubahan besar, baik untuk tubuh maupun jiwa.

Mari kita bahas lebih dalam, dengan semangat santai namun tajam, tentang bagaimana berlari bukan hanya soal olahraga, tapi juga filosofi hidup.

Berlari demi Jantung, Tulang, dan Harga Diri

Jika jantung adalah mesin utama tubuh, maka berlari adalah oli yang membuatnya tetap lancar. Aktivitas ini, menurut Hurtt et al. (2024), meningkatkan kesehatan kardiovaskular, kekuatan tulang, daya tahan otot, dan metabolisme tubuh.

Bukan hanya itu, sistem imun juga ikut naik level. Jadi, jika kamu merasa sering sakit-sakitan padahal sudah makan vitamin dan sering update story tentang salad, mungkin tubuhmu hanya ingin kamu… lari.

Selain kesehatan fisik, berlari juga meningkatkan harga diri. Bayangkan, ketika kamu berhasil menempuh 5 km tanpa henti, ada rasa bangga yang muncul, meski lutut mungkin berteriak minta ampun. Tapi percayalah, perasaan itu tidak bisa dibeli, bahkan oleh diskon Plat-Form Online.

Menariknya, kamu tidak perlu menjadi pelari maraton untuk mendapatkan manfaat ini. Varela-Sanz et al. (2024) menunjukkan bahwa berlari 91–120 menit per sesi, lima kali seminggu, sudah cukup untuk meningkatkan vitalitas dan kesejahteraan.

Bahkan pelari pemula pun bisa merasakannya. Jadi kalau kamu baru mulai dan masih ngos-ngosan setelah dua tiang listrik, jangan kecil hati. Itu langkah awal yang sah.

Namun, penting juga untuk mengingat batas tubuh. Jangan sampai semangat Hari Lari Sedunia malah membuat kamu masuk UGD. Dengarkan tubuhmu, bukan ego.

Lari dari Stres, Menuju Bahagia

Stres adalah bumbu kehidupan, tapi terlalu banyak bisa membuat kepala meledak seperti popcorn microwave. Untungnya, berlari datang membawa solusi.

Braunsmann et al. (2024) menegaskan bahwa berlari terbukti memperbaiki suasana hati dan mengurangi stres. Mungkin karena saat berlari, tubuh melepaskan endorfin—senyawa ajaib yang sering dijuluki "hormon bahagia". Gratis, alami, dan tanpa efek samping seperti belanja impulsif.

Banyak orang menemukan momen hening yang terapeutik saat berlari. Dalam keheningan itulah pikiran-pikiran jernih muncul. Beberapa ide brilian bahkan lahir dari pelari. Siapa tahu, saat kamu berlari mengelilingi taman, tiba-tiba kamu mendapat solusi atas masalah skripsi yang sudah tiga semester mangkrak.

Lari juga bisa menjadi bentuk meditasi dinamis. Alih-alih duduk diam di bawah pohon sambil memikirkan eksistensi, kamu bisa merenung sambil berlari. Setiap langkah adalah detak hidup, setiap napas adalah doa yang bergerak. Kedengarannya puitis, tapi memang begitu adanya.

Namun, berlari tidak serta-merta menghapus semua beban hidup. Kalau setelah 10 km lari, kamu masih diputusin pacar, ya itu bukan salah sepatunya. Tapi setidaknya, kamu bisa menangis sambil lebih bugar.

Menua dengan Kaki yang Masih Bisa Berlari

Menua adalah keniscayaan, tapi menua dengan sehat adalah pilihan. Braschler et al. (2024) menemukan bahwa berlari berkontribusi pada penuaan yang sehat, menjaga kebugaran dan aktivitas fisik di usia lanjut. Dalam dunia yang terobsesi dengan awet muda melalui krim wajah dan suntikan botox, berlari menawarkan alternatif, yaitu awet muda melalui gerak.

Bayangkan kakek-nenek yang masih bisa jogging pagi, alih-alih sibuk mencari remote TV yang hilang. Itu bukan sekadar kebanggaan keluarga, tapi juga bukti bahwa gaya hidup aktif adalah investasi masa tua. Ketika tubuh terus diajak bergerak, organ-organ pun ikut menari, bukan pensiun.

Berlari juga menjaga fleksibilitas sendi dan mengurangi risiko osteoporosis. Jadi, kalau kamu ingin tua dengan tulang yang masih bisa diajak bercanda, larilah dari sekarang. Dan kalau nanti kamu punya cucu, kamu bisa mengejar mereka di taman, bukan cuma menyuruh mereka mengambilkan air.

Dalam konteks sosial, lansia yang tetap aktif juga memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Mereka lebih mandiri, lebih bahagia, dan lebih jarang mengeluh tentang drama sinetron. Berlari bisa jadi kunci panjang umur yang bahagia—tanpa perlu puasa 3 hari atau diet serangga.

Otak Juga Butuh Lari, Bukan Cuma Logika

Jika selama ini kita mengira berlari hanya bermanfaat bagi tubuh, penelitian terbaru membantahnya. Tseitlin et al. (2025) menunjukkan bahwa berlari dapat meningkatkan fungsi kognitif, memori, dan daya tahan mental, serta membantu pemulihan dari gangguan otak atau cedera. Ya, otak juga butuh olahraga, bukan cuma skripsi dan debat warung kopi.

Dalam dunia pendidikan dan kerja yang menuntut produktivitas tinggi, otak kita seringkali kelelahan. Lari bisa menjadi metode "reboot" alami yang murah dan efektif. Tidak perlu liburan ke Bali atau retreat di pegunungan, cukup putar jalur di taman kota.

Selain itu, ada korelasi menarik antara kreativitas dan gerak fisik. Banyak penulis, seniman, bahkan ilmuwan, menemukan ide-ide terbaik mereka saat tubuh sedang bergerak. Berlari bukan cuma aktivitas mekanis, tapi juga pemantik gagasan. Mungkin inilah alasan mengapa banyak startup sukses dimulai oleh pelari pagi.

Lari Itu Serius, tapi Jangan Terlalu Serius

Hari Lari Sedunia mengajak kita untuk bergerak bukan demi estetika atau gengsi, tapi demi diri sendiri. Di tengah dunia yang makin statis—duduk di kantor, duduk di kafe, duduk merenung nasib—berlari adalah bentuk perlawanan. Ini adalah pengingat bahwa tubuh kita dirancang untuk bergerak, bukan hanya untuk rebahan.

Tentu saja, tidak semua orang harus menjadi pelari maraton. Tapi semua orang bisa memulai dari satu langkah. Mungkin kamu tidak bisa langsung 5 km, tapi kamu bisa mulai dari 500 meter. Karena sejatinya, berlari bukan tentang seberapa jauh, tapi seberapa mau.

Lebih dari itu, berlari adalah bentuk ekspresi. Ia menyatukan orang dari berbagai latar belakang dalam satu gerakan kolektif menuju kesehatan dan kebahagiaan. Tak perlu persyaratan sosial, hanya kemauan dan sepatu (yang bahkan bisa bekas asal bersih).

Jadi, saat Hari Lari Sedunia tiba, jangan hanya mengucap di media sosial. Pakai sepatu, buka pintu, dan berlarilah. Karena mungkin saja, di ujung jalan itu, ada versi dirimu yang lebih sehat, bahagia, dan bebas dari cicilan.

Namun ingat, kalau kamu terlalu sibuk memikirkan utang sambil lari, bisa-bisa malah tersandung. Jadi, gunakan lari untuk membersihkan pikiran, bukan menambah beban pikiran.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yudi Wili Tama