Stockholm syndrome merupakan sebuah kondisi langka yang membuat seseorang yang menjadi korban sandera, justru menaruh simpati pada pelaku yang telah berbuat jahat atau menculiknya. Hal tersebut merupakan sebuah gangguan psikologis. Penderita stockholm syndrome akan tetap memilih berada di pihak pelaku bahkan ketika mereka diberi kesempatan untuk kabur dari pelaku tersebut.
Melansri halodoc, berikut 3 fakta menarik tentang Stockholm syndrome!
1. Berasal dari Kota Stockholm di Swedia
Istilah “Stockholm syndrome” muncul pertama kali di Swedia untuk menggambarkan apa yang terjadi pada korban perampokan bank pada 1973 di Stockholm, Swedia. Perampokan dan penyanderaan pun terjadi selama 6 hari. Para perampok melakukan negosiasi dengan para polisi agar mereka dapat keluar dari bank tersebut dengan aman.
Namun, dalam waktu tersebut para karyawan bank yang menjadi sandera sebagian besar malah menaruh simpati terhadap para perampok. Bahkan, saat telah dibebaskan, para sandera menolak meninggalkam para perampok dan malah berbalik membela mereka. Bahkan, para korban ini juga menolak bersaksi di pengadilan dan malah membantu mengumpulkan uang untuk membela para perampok.
2. Penyebab terjadinya stockholm syndrome
Stockholm syndrome merupakan salah satu strategi bertahan hidup yang delusif. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan stockholm syndrome antara lain:
- Pelaku dan korban memiliki kesulitan dan berada dalam kondisi yang sama-sama buruk atau tidak menguntungkan selama beberapa hari.
- Para pelaku menjalin kedekatan dengan korban dengan tetap terhubung dan berinteraksi secara baik.
- Pelaku tidak menyakiti korban sama sekali atau bahkan menunjukkan sikap-sikap yang baik terhadap para korban.
3. Gejala yang dialami oleh penderita stockholm syndrome
Beberapa gejala yang akan dialami oleh penderita stockholm syndrome antara lain:
- Terdapat perasaan positif yang berkembang terhadap pelaku;
- Korban bersimpati terhadap apa yang terjadi dengan para pelaku;
- Muncul perasaan negatif terhadap orang-orang yang melawan pelaku;
- Korban mudah marah dan terkejut;
- Flashback pada hal-hal yang telah terjadi;
- Ketidakmampuan untuk menikmati pengalaman yang sebelumnya menyenangkan;
- Sering mengalami mimpi buruk dan sulit berkonsentrasi.
Nah, itulah fakta seputar Stockholm syndrome yang menyebabkan korban mengembangkan perasaan pada pelakunya. Untuk mengatasi syndrome ini, sebaiknya konsultasikan ke psikolog ataupun psikiater yang professional di bidangnya.
Tag
Baca Juga
-
5 Rekomendasi Kafe Dekat ISI Jogja, Harga Terjangkau Nyaman Buat Nongkrong!
-
5 Rekomendasi Tempat Camping di Purwokerto, Viewnya Memesona!
-
5 Rekomendasi Wisata Keluarga di Klaten, Seru dan Menyenangkan!
-
4 Kafe di Temanggung dengan View Gunung Sumbing dan Sindoro
-
5 Kafe di Boyolali dengan View Gunung Merapi yang Memesona, Auto Bikin Betah
Artikel Terkait
-
Secondary Traumatic Stress : Rasa Simpati yang Justru Punya Dampak Negatif
-
Perfeksionisme di Dunia Kerja: Ketika Ambisi Menjadi Beban Psikologis
-
Ulasan Novel Yang Paling Patah Antara Kita, Isu Kesehatan Mental di Kisah Empat Sahabat
-
Ulasan Drama Korea Thriller Doubt yang Raih 5 Penghargaan Grimae 2024
-
Cinta Pertama Sulit Dilupakan Ternyata Bukan Mitos, Ini Penjelasan Psikologis di Baliknya
Health
-
Secondary Traumatic Stress : Rasa Simpati yang Justru Punya Dampak Negatif
-
Purging atau Alergi? Ini Cara Kenali Breakout Akibat Produk Baru
-
Waspada! Ini 3 Penyakit Menular yang Lazim Muncul saat Musim Hujan
-
Fenomena Fatherless di Indonesia dan Dampaknya bagi Perkembangan Anak
-
Seni Meronce Manik-Manik: Jalan Menuju Pemahaman Emosi dan Kesehatan Mental
Terkini
-
Segere Wes Arang-Arang, Fenomena Remaja Jompo dalam Masyarakat!
-
Sinopsis Film Berebut Jenazah: Bukan Horor, tapi Kisah Haru di Tengah Perbedaan
-
Ulasan Buku 'Kita, Kami, Kamu', Menyelami Dunia Anak yang Lucu dan Jenaka
-
Generasi Muda, Jangan Cuek! Politik Menentukan Masa Depanmu
-
Pesta Kuliner Februari 2025: Promo Menggoda untuk Para Foodie!