Sudah bukan menjadi rahasia jika pemerintahan Presiden Joko Widodo berinisiatif untuk melanjutkan program Food Estate. Oktober tahun lalu, Presiden menyambangi Provinsi Kalimantan Tengah untuk meninjau lahan yang kelak akan digunakan untuk merealisasikan program tersebut.
Dikutip dari indonesia.go.id, Food Estate akan menjadi Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Program ini menjadi prioritas kedua di bawah pengembangan lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang rencananya akan dibangun di lima destinasi wisata super prioritas.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menuturkan, terdapat lahan potensial seluas 165.000 hektare kawasan aluvial di Kalimantan Tengah yang dipersiapkan untuk merealisasikan program ini. Melalui APBN, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk program ini sebesar 1,9 Triliun Rupiah hingga tahun 2021.
Dalam rapat terbatas mengenai Food Estate, Presiden mengatakan lokasi lumbung pangan Indonesia akan dibangun di lima provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua. Lantas program apakah Food Estate yang sedang digenjot ini?
Food Estate adalah kegiatan budidaya tanaman pangan yang ditanam di atas tanah dengan skala luas, yaitu lebih dari 25 ha. Pelaksanaan Food Estate akan dilakukan dengan konsep pertanian industrial yang dilandasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Program ini dilaksanakan karena tingginya permintaan pangan dunia dan kebutuhan pangan dalam negeri.
Kini program tersebut tengah dijalankan dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan pangan dan menaikkan pendapatan negara melalui ekspor pangan seperti yang sedang dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
Pada Selasa (23/3/2021), Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, didampingi oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, dan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, menghadiri acara panen perdana hortikultura dari kawasan Food Estate Humbang Hasundutan.
Dalam acara itu, Syahrul menuturkan bahwa produktivitas kentang dari kawasan tersebut mencapai lebih dari 15 ton per hektare, di atas rata-rata produktivitas nasional yang berkisar di angka 15 ton per hektare. Melihat hasil ini, pemerintah memiliki rencana untuk semakin memperluas kawasan ini pada kabupaten-kabupaten sekitarnya, seperti Kabupaten Pakpak Barat, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Barat.
Meski tengah diterpa kabar baik, pelaksanaan Food Estate tersebut tetap harus dilaksanakan secara hati-hati mengingat pada masa lalu, program ini menjadi buah simalakama bagi masyarakat sekitarnya.
Pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, program ini pernah diwacanakan dan dilaksanakan. Khususnya pada masa pemerintahan Presiden SBY, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi masalah pangan. Program ini dinamakan Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) yang pada 2008 berganti nama menjadi Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Melalui PP 26/2008, Perpres 5/2008, dan PP No 18/2020, pemerintah berencana menggandeng 36 investor untuk merealisasikan program ini. Namun proyek besar yang bertujuan untuk mengatasi masalah pangan justru berbalik mengancam kesejahteraan masyarakat sekitar.
Kehadiran korporasi sektor pertanian kerap menyingkirkan petani kecil. Selain itu, mega proyek yang awalnya direncanakan untuk ditanami tanaman pangan seperti beras, jagung, dan kedelai, serta tanaman pangan lainnya, saat ini justru didominasi oleh industri perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Pelaksanaan MIFEE juga mengakibatkan krisis pangan masyarakat lokal dan kerusakan alam yang berbuntut pada potensi berkurangnya keanekaragaman hayati di Papua.
Soal pangan memang adalah soal hidup dan mati bangsa. Pemerintah berinisiatif untuk melakukan program pemenuhan kebutuhan pangan. Hanya saja, program tersebut harus dilaksanakan dengan sangat berhati-hati, melibatkan para ahli, dan harus mempertimbangkan dampak negatif yang akan terjadi.
Jika memang berencana untuk membuka lahan pertanian, pastikan lahan itu bebas dari hutan atau kawasan dilindungi serta perealisasiannya harus melibatkan partisipasi menyeluruh dari kelembagaan masyarakat lokal setempat demi memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Kawasan Wakaf Pertanian Produktif Dompet Dhuafa
-
Dukung Ketahanan Pangan, Yasa Artha Trimanunggal Akuisisi SAM Air
-
Kontroversi Food Estate Merauke: Calon Kepala Daerah Dukung, Warga Menolak
-
Bos BP Taskin Ajak Semua Pihak Bersatu Lawan Kemiskinan dan Kelaparan
-
RSI: Sawit Komoditas Strategis Indonesia Capai Kedaulatan Pangan dan Energi
Kolom
-
Kolaborasi Tim Peserta Pilkada Polewali Mandar 2024 Melalui Gerakan Pre-Emtif dalam Pencegahan Politik Uang
-
Generasi Alpha dan Revolusi Parenting: Antara Teknologi dan Nilai Tradisional
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
Terkini
-
Pedasnya Nendang, Icip Kuliner Cabe Ijo yang Bikin Ketagihan di Kota Jambi
-
4 Gaya OOTD Simpel ala Seohyun SNSD, Tetap Fashionable untuk Hangout!
-
3 Pemain Debutan yang Dipanggil STY ke Timnas untuk AFF Cup, Siapa Saja?
-
Semangat Menggapai Cita-Cita dalam Buku Mimpi yang Harus Aku Kejar
-
Yoursay Talk Unlocking New Opportunity: Tips dan Trik Lolos Beasiswa di Luar Negeri!