Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ernik Budi Rahayu
Ilustrasi Sampah Plastik (pexels.com/Emmet)

Di tengah perayaan kemerdekaan yang ke-80, mungkin yang selalu ada dibenak kita adalah peringatan jasa para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tak hanya itu, yang ada dibenak kita adalah bagaimana bangsa bisa bebas dari penjajahan.

Tentunya tak ada yang salah dari pemikiran tersebut, namun yang perlu kita sadari saat zaman ini adalah banyak bentuk penjajahan lain yang sedang kita hadapi. Salah satu bentuk penjajahan baru tersebut dan lebih berbahaya adalah penjajahan bumi oleh sampah plastik.

Setiap tahunnya, Indonesia menghasilkan banyak sampah plastik, dengan jutaan ton di antaranya berakhir di lautan. Hal ini dibuktikan dari catatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengungkapkan lebih dari 8 juta ton sampah plastik terbuang ke laut setiap tahunnya. Kondisi ini mengancam kehidupan laut, ekosistem pesisir, dan kesehatan manusia yang bergantung pada sumber daya laut.

Angka yang cukup fantastis bukan? Melihat angka yang tinggi tersebut tak heran menjadikan kita sebagai salah satu negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita akan tetap berbicara tentang kemerdekaan jika bumi tempat tinggal kita justru terjajah oleh sampah plastik yang akan merusak lingkungan kita?

Kebijakan ada, tapi implementasi lemah

Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan regulasi untuk mengatur masalah sampah ini. Salah satunya tertuang pada Perpres No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Aturan ini memiliki target bahwa negara kita akan bisa mengurangi sampah plastik laut. Namun, tujuh tahun berjalan, capaian target itu tentunya masih jauh. Bisa kita lihat bahwa sistem pengelolaan sampah yang bergantung pada TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebagian besar sudah overload dan akhirnya sampah berakhir kembali ke laut.

Selain masalah TPA, ada beberapa masalah lain salah satunya adalah dibebankannya konsumen melalui program kantong plastik berbayar yang kita tau bersama betapa sulitnya untuk di daur ulang, Masalah lain pada hulu juga masih terjadi yakni, produksi plastik sekali pakai yang terus melonjak dan Industri yang masih gencar memproduksi kemasan sachet, botol, dan plastik sekali pakai lain yang sulit didaur ulang. Tanpa regulasi yang tegas dan menekan maka masalah ini akan tetap tumbuh subur.

Dampak dari masalah ini bukan hanya pada ekosistem laut, tapi juga kesehatan manusia. Jika terus menerus dibiarkan maka maka kerusakan tidak hanya berhenti di laut, tetapi juga berlanjut pada tubuh manusia yang perlahan diracuni tanpa disadari

Merdeka bumi, dimulai dari kita bersama

Berdasarkan dari apa yang penulis jabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan untuk bumi seharusnya kondisi dimana kita semua terbebas dari jerat sampah plastik. Penulis sangat mengapresiasi langkah pemerintah yang sudah membuatkan produk hukum bagi masalah ini. Namun, alangkah baiknya Pemerintah juga perlu mengambil tindakan untuk membuat target dengan implementasi yang maksimal.

Bagi, produsen penulis berharap pihaknya berani untuk mengambil tanggung jawab agar limbah plastik tidak lagi hanya dibebankan pada konsumen dan pemerintah daerah. Hanya dengan langkah berani di level kebijakan dan kesadaran publik, maka penulis yakin Indonesia bisa benar-benar merdeka dari ancaman plastik.

Sebagai bagian dari masyarakat, penulis menyarankan agar kita tetap bersuara karena suara kita juga penting untuk mendorong perubahan. Untuk perseorangan kita juga bisa untuk memulai langkah sederhana dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilah sampah rumah tangga, hingga mendukung kebijakan ramah lingkungan. Tak lupa, untuk bersuara lewat kampanye, tulisan atau komunitas agar tak ada lagi yang abai dengan permasalahan ini. Kemerdekaan untuk bumi bukan hanya tanggung jawab negara, tapi juga keberanian kita menjaga rumah bersama.

Ernik Budi Rahayu