Ada satu hal yang sering terlupakan orang kala bicara soal film. Di balik layar lebar yang menyala terang, ada hati yang diperas habis-habisan.
Iya. Ada sutradara yang bertengkar dengan dirinya sendiri hanya untuk menentukan panjangnya satu adegan. Ada penulis naskah yang begadang berhari-hari, merobek puluhan draft, hanya untuk menemukan satu kalimat yang terasa tepat. Ada aktor yang rela menggali kenangan buruk masa lalu supaya satu tangisan di depan kamera bisa terlihat jujur.
Film, pada akhirnya, bukan sebatas produk hiburan. Film ibarat kumpulan luka, cinta, keresahan, dan mimpi yang dijahit jadi cerita. Maka, ketika film itu lahir ke dunia, lalu dilempar ke mata publik, wajar kalau sang pembuat (filmmaker) merasa perlu menguatkan diri. Karena apa yang mungkin akan dikritik, bukan hanya hasil kerja teknis, tapi juga bagian dari dirinya sendiri.
Itulah kenapa filmmaker terkadang baper saat dikritik. Namun, masalahnya bukan soal ‘boleh atau nggak,’ melainkan bagaimana cara filmmaker mengolah baper itu.
Baper, kalau dibiarkan, bisa jadi racun. Akibatnya, setiap kritik terdengar seperti hinaan, setiap saran terasa seperti serangan. Seorang filmmaker yang terjebak di situasi ini akan gampang marah, defensif, dan akhirnya terperangkap di dalam ego. Padahal seni tumbuh justru saat ada keberanian untuk merobohkan ego.
Kritik sendiri bentuknya berlapis-lapis. Ada kritik jujur yang dibungkus peduli, meski kadang bahasanya tajam. Kritik semacam itu seperti pisau bedah—perih, tapi jujur dan bagus niatnya. Lalu ada kritik nyinyir yang lahir dari iri hati, yang hanya ingin menjatuhkan.
Nah, tugas seorang filmmaker adalah memilah. Mana kritik yang layak dipertimbangkan, mana yang harus dilepas. Kalau semua ditelan, tentunya nggak akan bagus buat kreativitas. Kalau semua ditolak, kualitas karya (film) jadi mentok. Keseimbangan itu yang menentukan apakah pembuat film bisa terus melahirkan karya yang hidup atau berhenti di tengah jalan.
Kalau dipikir-pikir, banyak film besar lahir dari kritik yang diolah. Sutradara yang diserang habis-habisan di awal karirnya, lalu bangkit dengan film yang lebih tajam. Penulis naskah yang skripnya dikritik, tapi kritik itu, rupanya membuka jalan menuju masterpiece berikutnya.
Dan kalau mau jujur, sejarah perfilman dipenuhi para pembuat film yang pernah baper, jatuh, lalu bangkit. Contohnya, Ridley Scott dulu dihajar habis-habisan saat Film Blade Runner (1982) rilis. Banyak kritikus menyebut film itu membosankan, kacau, bahkan gagal. Scott bisa saja menyerah dan berhenti. Eh, dia tetap teguh hingga akhirnya ‘Blade Runner’ dikenang sebagai salah satu film sci-fi paling berpengaruh.
Di Indonesia, Garin Nugroho juga sempat mengalami gelombang kritik keras. Beberapa filmnya dianggap terlalu berat, nggak komunikatif, dan ‘hanya untuk festival’. Namun, dari situ dia terus berani bereksperimen, membuka jalan bagi perfilman Indonesia untuk dihargai di mata dunia. Bayangkan kalau Garin berhenti hanya karena baper berkepanjangan, kita mungkin nggak akan punya film-film eksperimental yang jadi tonggak sejarah.
Bahkan sutradara sekaliber Martin Scorsese pun pernah. Film The King of Comedy (1982) saat rilis awal dianggap terlalu aneh, terlalu gelap, dan nyaris menghancurkan karirnya. Scorsese tentu (mungkin saja) sakit hati. Namun, seiring waktu berjalan, kritik berubah jadi pujian, dan film itu kini disebut sebagai salah satu film paling visioner yang bahkan menginspirasi Film Joker (2019).
Kisah-kisah mereka, menunjukkan bahwa baper bukanlah akhir. Justru dari rasa itulah lahir lagi film yang lebih tajam. Kalau semua filmmaker kebal kritik, dingin, dan nggak peduli, karya mereka mungkin akan terasa kosong.
Jadi, bolehkah filmmaker baper saat karyanya dikritik? Sangat boleh. Baper adalah tanda dirinya masih punya hati dan nggak menganggap film sebatas pekerjaan yang selesai saat kredit akhir muncul. Asal jangan berhenti.
Omong-omong, siapa sutradara favorit Sobat Yoursay?
Baca Juga
-
Sinopsis Film Pangku, Siap Guncang Layar Lebar dan Festival Dunia Tahun Ini
-
Sejuta Penonton, Seharusnya Bisa Lebih untuk Film Nasionalisme yang Membumi
-
Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba - Infinity Castle: Awal dari Akhir Perjalanan Tanjiro Kamado
-
Bedanya Film Horor Berkualitas dan yang Busuk
-
Review Film The Girl with the Needle: Sepi yang Menjerat Begitu Kejamnya
Artikel Terkait
-
Rilis Trailer, Kupas Lebih dalam Film Anime Independen Beyond the Trail
-
Ganti Mantra Asli Buat Hindari Celaka, Didi Ninik Thowok Malah Alami Kejadian Aneh Saat Syuting
-
Adu Peran dengan Didi Ninik Thowok di Film Perempuan Pembawa Sial, Raihaanun: Seksi dan Magis
-
Ulang Tahun ke-20, Film New Gintama: Yoshiwara in Flames Rilis 2026
-
Sinopsis Film Pangku, Siap Guncang Layar Lebar dan Festival Dunia Tahun Ini
Kolom
-
Memaknai Literasi Finansial: Membaca untuk Melawan Pinjol dan Judol
-
Manakah Lore yang Lebih Kaya Antara Lord of the Mysteries dan One Piece?
-
Diksi Pejabat Tidak Santun: Ini Alasan Pentingnya Mapel Bahasa Indonesia
-
Sejuta Penonton, Seharusnya Bisa Lebih untuk Film Nasionalisme yang Membumi
-
Komunitas Buku sebagai Safe Space: Pelarian dari Kegaduhan Dunia Digital
Terkini
-
Jangan Cuma Fokus Cara Masukin Bola! Ini Strategi Saat Bola Futsal Direbut Lawan
-
Rilis Trailer, Kupas Lebih dalam Film Anime Independen Beyond the Trail
-
BRI Super League: Pelatih Persijap Jepara Kembali Soroti Panen Kartu Kuning
-
NCT Wish Temukan Kembali Warna dalam Hidup di Video Teaser Color Is Missing
-
Goodbyes and Sad Eyes oleh Moonbyul: Temukan Kebahagiaan Diri Setelah Putus