Perkembangan pendidikan anak usia dini ternyata masih menarik untuk diikuti. Upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dengan demikian, prinsip penyelenggaraan pendidikan haruslah dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas anak.
Berangkat dari prinsip tersebut, maka wajar bila masa belajar di taman kanak-kanak haruslah menyenangkan. Namun, di masa pandemi COVID-19 dimana Pemerintah harus memberlakukan lockdown, ternyata memaksa sekolah untuk mengubah sistem belajar menjadi daring. Kemudian, dengan segeralah istilah “tri pusat pendidikan” mulai dibumikan. Pendidikan tidak hanya berasal dari lingkungan sekolah, tetapi juga lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh sebab itu, ketiganya harus saling bersinergi dan bekerja sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di masa pandemi ini.
Konsep Taman Siswa
Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia mengenalkan pada kita tentang konsep pendidikan Taman Siswa. Taman Siswa memiliki makna menyatukan pendidikan dengan alam (kodrat alam). Konsep tersebut bermakna bahwa mendidik anak dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Proses mendidik berdasarkan situasi dan kondisi siswa.
Taman Indrya Ki Hajar Dewantara mencoba menggabungkan konsep pendidikan ala Frobel dan Montessori. Konsep Pendidikan Frobel adalah cikal bakal Taman Kanak-Kanak di Indonesia. Di sana, anak-anak diajarkan materi pelajaran berupa bimbingan dasar agama, nyanyian dan cerita, serta diselingi dengan permainan anak-anak di dalam atau di luar ruangan.
Pendidikan anak usia dini sangat penting karena pada usia inilah anak membentuk pola pendidikan yang paling bagus yaitu kesiapan diri untuk menghadapi masa sekolah dan masa depannya. Anak-anak harus belajar mandiri dan berani mengambil risiko karena pendidikan anak usia dini merupakan masa peka atau masa yang penting bagi kehidupan anak. Segala pengalaman yang diterima anak pada masa usia di bawah tujuh tahun akan menjadi dasar jiwa yang menetap. Sebagai orang tua, tentu saja kita setuju bahwa masa peka bertujuan menambah isi jiwa anak bukan merubahnya.
Namun demikian, apa yang terjadi pada sistem pendidikan anak usia dini di Indonesia?. Tujuan pembelajaran PAUD yang seharusnya memiliki porsi 80 persen untuk membangun sikap anak, tetapi saat ini justru fokus pada pembelajaran baca-tulis-hitung (calistung) yang bernuansa akademik, sedangkan di Jepang, sistem pendidikan anak di usia emas adalah untuk menanamkan konsep dan pembentukan karakter, bukan hanya tes dan indoktrinasi. Sudah saatnya Pemerintah aware untuk membangun watak manusia unggul Indonesia, berkarakter dan juga berbudaya.
Horal Titus mengatakan “play is the art of the child, and art is the play of the adult”. Menurut Horal bahwa permainan adalah seni dari anak-anak, dan seni adalah permainan orang dewasa (dalam Gie 1996). Berdasarkan hal tersebut sudah sepantasnya bahwa dunia anak adalah dunia bermain.
Anak yang cerdas bukanlah anak yang hanya memiliki tingkat kecerdasan kognitif yang tinggi, tetapi juga ditunjang dengan kecerdasan emosional dan perkembangan fisik yang optimal (nutrisi seimbang). Pengembangan konsep tri sakti jiwa (cipta, rasa, dan karsa) yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara semakin tepat untuk diimplementasikan secara nyata.
Program Logic Models
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk meningkatkan kualitas lulusan PAUD agar tidak hanya pintar membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga memiliki keseimbangan antara aspek rasio, raga dan rasanya. Untuk mencapai hasil yang demikian, dibutuhkan suatu media untuk memetakan atau menampilkan informasi dan hasil pikiran kita agar menjadi sebuah program yang masuk akal dan layak dilakukan. Media itu dikenal dengan nama model logika. Selain itu, untuk menyiasati kebijakan sekolah di kala pandemi, program ini juga harus fleksibel atau dapat dilaksanakan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah.
Knowlton dan Philips (2013) memperkenalkan pada kita, melalui bukunya yang berjudul “The Logic Model Guidebook” tentang suatu alat (tool), atau model yang dapat membantu kita dalam proses desain, perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Alat tersebut berupa pendekatan visual yang memetakan program atau rencana aksi kita, sekaligus hasil yang diharapkan. Alat atau teknik tersebut dikenal dengan nama “Logic Model”.
Merancang suatu program dengan menggunakan logic model akan membantu kita untuk melihat hubungan yang jelas antara kegiatan yang dilakukan dengan hasil yang diharapkan Masa keemasan periode tumbuh kembang anak atau dikenal dengan periode golden age merupakan waktu yang sangat efektif untuk dilakukannya optimalisasi potensi-potensi kecerdasan anak untuk memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas yaitu optimalnya perkembangan intelektual (rasio), fisik dan motorik (raga), serta emosional, bahasa dan sosial anak (rasa).
Kualitas Rasio, Raga, dan Rasa (Tri Sakti Jiwa)
Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yang menggabungkan berbagai konsep, yaitu: Frobel (permainan), Montessori (panca indra dan kemerdekaan), Steiner (musik/lagu), Dalcroze (tarian), dan Tagore (seni dan alam) (dikutip dari Agus, 2020), sangat sempurna untuk implementasi konsep tri sakti jiwa. Guru sebagai pamong dapat melakukan terobosan berupa home visit ke rumah siswa dengan tetap menjaga prosedur kesehatan, untuk mengetahui keadaan peserta didik secara intensif.
Ada 2 aktivitas yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa PAUD. Pertama, anak mulai dikenalkan dengan konsep matematika yang bersifat sederhana dengan memanfaatkan objek yg berada di sekitar anak. Mereka belajar matematika dengan cara menyenangkan (mengenal aneka bentuk geometri di lingkungan sekitar, belajar angka dan berhitung dengan lagu dan puzzle). Kedua, guru harus mulai menugaskan anak-anak untuk berani berpresentasi atau bercerita dengan tema tertentu di depan siswa-siswa lainnya. Ada penelitian di bidang pendidikan yang menyatakan bahwa 15 menit pengenalan materi, 15 menit kegiatan utama, 60 menit kegiatan berhitung atau bercerita, 15 menit saat mengingat kembali, sudah dirasa cukup untuk mengoptimalkan kemampuan anak (Nelly, 2016).
Menurut Cahyati (2020), senam irama yang diterapkan oleh guru, telah terbukti sangat membantu proses perkembangan motorik kasar anak khususnya anak usia 5 hingga 6 tahun. Strategi belajar outdoor akan memberikan anak ruang gerak bebas, dan secara bersamaan dapat meningkatkan perkembangan fisik anak secara total dan optimal (Herlinda, 2018). Aktivitas outdoors game yang dapat dilakukan untuk mengembangkan motorik kasar anak contohnya: mendaki, bergelayutan, melompat, loncat tali dan berlari-lari. Bermain outdoor membuat anak dapat menikmati kesenangan dan sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan fisik anak (Susilowati, 2018). Berdasarkan hal tersebut, untuk meningkatkan perkembangan fisik dan kesehatan siswa, mereka dapat melakukan aktivitas “Jumat sehat” dengan permainan outdoor, dan berolahraga senam irama selama 30 menit. Dilansir dari sebuah media online bahwa menurut penelitian, olahraga yang dilakukan selama 30 menit dan rutin akan memberikan manfaat maksimal untuk kesehatan fisik.
Ambuka Raras Angesti Widji
Lagu, tarian, dan seni lukis adalah perwujudan dari konsep “Ambuka Raras Angesti Widji” oleh Ki Hadjar Dewantara yang memaknai kesenian sebagai bagian dari pendidikan. Mengajarkan kelas melukis tingkat dasar pada anak, cukup dengan menyediakan spidol dan kertas gambar.
Tujuan pembelajaran seni lukis anak adalah untuk membentuk anak menjadi pintar, kreatif, dan berbudi pekerti yang baik. Teori Vigotsky menyatakan bahwa kontribusi budaya lokal sangat berpengaruh terhadap pengembangan mental/perilaku anak (Karwati, 2014). Oleh karena itu, selain melukis, anak sebaiknya juga diajarkan lagu dan tarian daerah.
Lagu, tarian dan seni lukis sangat ampuh untuk mengasah kemampuan rasa atau emosional siswa (sikap toleransi, kesabaran, keberanian, dan berpikir terbuka). Diharapkan, nantinya siswa tidak hanya memiliki kekayaan intelektualitas, tetapi juga kaya rasa dan sehat raga.
Terakhir, untuk melaksanakan program dibutuhkan input, antara lain: guru, ruang kelas atau rumah, anggaran, sarana/prasarana, dan kurikulum/metode belajar siswa. Supaya program peningkatan kualitas rasio, rasa dan raga siswa dapat terselenggara dengan baik, dibutuhkan dukungan dari orang tua dan lingkungan siswa. Konsep tri sakti pendidikan memang menjadi hal krusial, tetapi tetap saja kualitas kinerja lebih penting dibandingkan kuantitas kinerja atau dengan kata lain “trying hard is not good enough”.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Pendidikan Febby Rastanty, Dipuji Cewek Alpha Sejati yang Tak Berisik Kayak Artis Sebelah
-
Gegara Pendidikan Gibran Janggal, Warganet Curiga Sekolah Menengah Orchid Park Bukan SMA Tapi SMP
-
Beda Pendidikan Asri Welas Vs Galiech Ridha Rahardja, Gugat Cerai Usai 17 Tahun Menikah
-
Kreativitas Akademik Terkubur Demi Jalan Pintas Lewat Plagiarisme, Ironis!
-
Data Pendidikan Gibran saat Daftar Wali Kota dan Wapres Berbeda, Netizen: Semuanya Palsu?
Kolom
-
Apatis atau Aktif? Menguak Peran Pemilih Muda dalam Pilkada
-
Mengupas Tantangan dan Indikator Awal Kredibilitas Pemimpin di Hari Pertama
-
Mempelajari Efektivitas Template Braille pada Pesta Demokrasi
-
Transparansi Menjaga Demokrasi di Balik Layar Pemilu, Wacana atau Nyata?
-
Polemik KPU Menghadapi Tekanan Menjaga Netralitas dan Kepercayaan Publik
Terkini
-
Walau Sukses Tantang Max Verstappen, Lando Norris Ragu Bisa Juara Dunia
-
Menggali Makna Kehidupan dalam Buku Seni Tinggal di Bumi Karya Farah Qoonita
-
Sosok Radojko Avramovic, Pelatih Tersukses di Piala AFF
-
Calvin Verdonk Berharap Jepang Pakai Tim B saat Jamu Timnas Indonesia
-
Ulasan Film Exhuma, Aksi Dua Dukun Muda Menaklukkan Arwah Misterius Penunggu Tanah