Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rizky Pratama Riyanto
Ilustrasi para pembuat konten (Unsplash/BP Miller)

Isu penggunaan hak cipta musik sedang ramai dibicarakan banyak orang saat ini di media sosial. Hak cipta dapat dikatakan sebagai hak eksklusif pencipta ketika menerbitkan sebuah karya di berbagai platform manapun. Di samping itu, ada pula hak moral yang melekat pada pembuat karya, sedangkan definisi royalti dapat digambarkan sebagai orang awam yang menggunakan karya orang lain dan perlu membayar kepada pemilik hak cipta (pembuat karya) sebagai bentuk imbalan atas penggunaan aset.

Secara etika, jika dasar hukum tidak mengatur perlindungan hak cipta maka sama saja tidak menghargai pemilik karya. Contoh sederhana adalah ketika seseorang membuat sebuah video di suatu platform, lalu diposting oleh orang lain tanpa mencantumkan nama pemilik karya dan lebih parahnya tidak izin terlebih dahulu. Maka sama saja secara tidak langsung sudah termasuk melanggar norma hukum, kesusilaan, dan etika dalam bermasyarakat di dunia digital. 

Menggubah sesuatu yang sudah ada tanpa seizin pemilik karya termasuk pelanggaran hukum. Mengunggah ulang di akun dan platform berbeda saja sudah melanggar, apalagi yang mengubah dengan menambahkan dan mengurangi elemen yang ada walau hanya sedikit. Bagaimana pun konten yang dibuat dan dipublikasikan penting untuk dihargai berlandaskan moral dan etika. Oleh karena itu, jangan asal mengunggah, menggubah, dan mencomot karya orang lain tanpa sepengetahuan pemilik karya. 

Sebenarnya dari kehidupan sehari-hari dapat ditemukan salah satunya di lingkungan sekolah, misalnya ketika siswa mendokumentasikan kegiatan berupa foto dan video. Walaupun tergabung dalam suatu ekstrakurikuler yang berkaitan, tetap saja klip mentahan tidak dapat diubah sama sekali oleh pihak sekolah sesuka hati seperti 'barang gratis' karena hak cipta dan moral tetap ada pada pembuatnya.

Sebagai pendidik yang memahami dasar etika, langkah paling sederhana yang seharusnya dilakukan adalah meminta izin kepada pemilik karya. Terlebih lagi bila karya tersebut diunggah ulang, digubah, atau disunting tanpa sepengetahuan penciptanya. Bayangkan, kita sudah bersusah payah menciptakan sebuah karya, tetapi kemudian ada orang yang mengakuinya secara tidak langsung dengan tidak mencantumkan kredit dan bahkan menyuntingnya secara asal-asalan. Lantas, di manakah letak hati nurani kita sebagai manusia?

Kita mengetahui bahwa sebuah karya yang tercipta membutuhkan kemampuan atau keahlian yang tidak semua orang bisa melakukannya, maka dari itu ada pembuat dibalik hasil karya yang telah diterbitkan sehingga ia memiliki hak atas ciptaannya. Hak itu tergantung bagaimana pemilik karya menyikapinya, apakah ketika seseorang menikmati karyanya perlu membayar royalti ataukah tidak. Tetapi, konteksnya berbeda jika orang lain menggunakan dan menyunting karyanya maka perlu izin secara etika dan norma yang ada. 

Ironisnya, masih banyak orang yang dengan enteng berkata, "Kan cuma dipakai sebentar, kan cuma diunggah ulang, kan cuma musik doang.” Padahal, kata “cuma” itu sejatinya telah menjadi dalih untuk menutupi perilaku mencuri dengan cara yang lebih halus. Tidak ada istilah cuma dalam ranah hak cipta, karena di balik sebuah karya, ada pikiran, waktu, dan tenaga. Bagaimana mungkin sesuatu yang penuh keringat dan air mata bisa diremehkan hanya dengan kata cuma?

Kalau tidak mau karyanya dicuri, jangan dulu berkarya. Begitu kata orang yang gemar mencomot tanpa rasa bersalah. Namun, bukankah lebih adil jika kita balik pertanyaannya: kalau memang ingin menggunakan karya, mengapa begitu berat untuk sekadar meminta izin dan memberi penghargaan? Jangan-jangan bukan soal tidak tahu aturan, melainkan karena sudah terbiasa mengabaikan etika.

Pada akhirnya, karya bukan sekadar konten untuk dipajang di media sosial, tetapi wujud jiwa seorang pencipta yang berhak mendapat perlindungan. Menghargai karya bukan hanya soal patuh pada hukum, tetapi juga soal seberapa dalam hati nurani kita bekerja. Jika masih tega mengabaikannya, jangan salahkan bila suatu saat orang lain memperlakukan karya Anda dengan cara yang sama. Maka berhentilah bersikap munafik dan hargai karya orang lain, karena di sanalah harga diri kita sebagai manusia diuji.

Rizky Pratama Riyanto