Menenteng sampah sering dianggap lucu. Orang-orang menertawakan, melontarkan komentar sinis, atau sekadar menggeleng tak peduli. “Sampah ya sampah, tinggal buang saja.” Kalimat sederhana, tapi menyimpan penyakit lama: keacuhan. Kebiasaan buruk yang diwariskan dari generasi ke generasi. Padahal, di balik satu plastik yang disimpan di tas hingga menemukan tempat sampah, ada secercah harapan untuk bumi yang lebih bersih.
Mengantar sampah pulang bukanlah aksi heroik. Ia adalah pernyataan sikap. Ia adalah bukti bahwa manusia bisa bertanggung jawab atas jejaknya sendiri.
Sampah yang Menghantui Pariwisata
Bahkan di tempat wisata, yang seharusnya dijaga sebagai etalase keindahan, sampah berserakan. Plastik terdampar di pantai. Botol kosong mengotori hutan. Puntung rokok menghitamkan tanah. Orang-orang sekitar hanya acuh, seolah-olah itu pemandangan biasa.
Padahal, dampaknya nyata. Bali, ikon pariwisata Indonesia, menerima sekitar 16,4 juta wisatawan per tahun. Namun keindahan itu dibayar mahal: 33.000 ton plastik masuk ke perairannya setiap tahun. Musim hujan membawa kabar duka. Jarum suntik dan sampah medis ikut hanyut ke Pantai Kuta dan Legian. Hingga 60 ton plastik per tahun mencemari laut.
Tak hanya Bali. Lima taman nasional besar, Halimun Salak, Way Kambas, Alas Purwo, Bromo Tengger Semeru, dan Ciremai, menghasilkan 295 ton sampah per tahun. Di Gunung Gede Pangrango, 62% sampah adalah plastik. Bukti betapa konsumsi instan dan sekali pakai sudah menjadi kebiasaan yang melekat.
Di kota pun sama. Medan, misalnya, menghasilkan 1.725 ton sampah per hari hanya dari aliran Sungai Deli. Sungguh angka yang mencengangkan.
Sampah: Cermin Peradaban
Setiap sampah adalah saksi bisu peradaban. Plastik yang terbuang di jalan bukan sekadar merusak pemandangan. Ia mencatat kelemahan kita: bahwa manusia belum mampu hidup berdampingan dengan alam. Kita berteriak ingin bebas dari bencana, tetapi enggan membebaskan bumi dari beban sampah.
Ironi ini makin kentara ketika kita mendengar slogan, “Mulailah dari hal kecil.” Ya, kita hafal, tapi jarang benar-benar dilakukan. Membawa sampah hingga menemukan tempatnya adalah contoh kecil dengan dampak besar. Memang ada rasa canggung menenteng botol bekas di keramaian. Tapi rasa bangga karena sudah menjaga bumi akan menetap lebih lama dibanding ejekan singkat orang lain.
Perubahan iklim tidak menunggu kita sadar. Ia terus berjalan. Maka langkah kecil ini penting.
Budaya Malu yang Salah Arah
Sayangnya, sebagian orang masih menganggap membawa sampah itu memalukan. Mereka menertawakan, melontarkan candaan, atau sekadar memandang aneh. Budaya malu yang salah arah inilah yang melahirkan banjir, drainase tersumbat, dan udara penuh bau busuk.
Yang memalukan bukanlah mereka yang menenteng sampah. Yang memalukan adalah mereka yang membiarkannya berserakan.
Banyak pendaki gunung sudah memberi contoh. Mereka rela turun dari puncak dengan ransel berisi sampah pribadi dan sampah orang lain. Jika di ketinggian bisa dilakukan, mengapa di jalan kota harus menyerah pada alasan klise: “Tidak ada tempat sampah”?
Identitas Baru Generasi Muda
Kebiasaan membawa pulang sampah bisa menjadi identitas baru generasi muda. Bayangkan ada seorang anak muda menenteng kantong plastik berisi sampah. Orang bertanya, “Kenapa kamu bawa itu?” Dari situ lahir percakapan. Dari percakapan lahir kesadaran. Dari kesadaran lahir perubahan.
Sejarah membuktikan: kemerdekaan bangsa tidak hanya diraih oleh para pemimpin besar. Ia lahir juga dari rakyat kecil yang melakukan hal sederhana dengan konsistensi. Begitu pula kemerdekaan bumi dari sampah. Kita tidak perlu menunggu menjadi aktivis. Cukup dengan kebiasaan kecil: membawa pulang sampah sendiri.
Melawan Tekanan Sosial
Benar, mengubah kebiasaan itu sulit. Apalagi ketika tekanan sosial menghantui. Orang yang membawa sampah sering dijadikan bahan olok-olok. Namun, yang lebih sulit lagi adalah memperbaiki kerusakan akibat sampah yang terus diabaikan.
Kini tersedia solusi praktis: kantong khusus sampah pribadi. Sederhana, murah, dan efektif. Jadi, masalahnya bukan soal sulit atau tidak. Masalahnya ada pada kemauan.
Dampak Masif
Bayangkan jika kebiasaan ini diadopsi massal. Jalanan lebih bersih. Saluran air tidak tersumbat. Kota terlihat indah. Pariwisata pun meningkat. Lebih jauh lagi, kita belajar arti tanggung jawab.
Mungkin menenteng sampah tak akan langsung mengubah dunia. Tapi ia mengubah sesuatu yang lebih penting: cara kita memandang bumi.
Lingkungan yang lestari adalah hadiah terbesar untuk generasi mendatang. Hadiah itu tidak lahir dari pidato panjang, tetapi dari tangan yang rela menenteng sampah hingga menemukan tempatnya.
Merdeka bukan berarti bebas berbuat semaunya. Merdeka berarti menjaga kehidupan agar tetap hidup. Membawa pulang sampah adalah salah satu bentuk kecil dari kemerdekaan besar itu.
Maka, jika ada yang bertanya, “Untuk apa repot-repot menenteng sampah?” Jawablah dengan sederhana:
“Karena saya mencintai bumi. Dan saya ingin ia merdeka dari luka.”
Baca Juga
Artikel Terkait
Kolom
-
Luka yang Ditinggalkan: Sampah di Gunung dan Tanggung Jawab Kita
-
Cobaan Rumah Tangga Bisa Datang dari Mana Saja, Termasuk Serangan Mistis
-
Film Bagus Memang Layak Diapresiasi Berjuta-Juta Penonton
-
Perayaan Lomba di SDTQ As-Surkati: Menyatukan Tawa, Semangat, dan Ukhuwah
-
Lewat Kebudayaan, Indonesia Perlu Menemukan Kembali Identitasnya
Terkini
-
Dilaporkan Gagal, Mediasi NewJeans dan ADOR akan Lanjut 11 September
-
BRI Super League: Lawan Persijap Jepara, Persib Diprediksi Bakal Kesulitan?
-
BRI Super League: Mauricio Souza Usahakan Kemenangan di Markas Persis Solo
-
Sinopsis Romantic Anonymous, Drama Shun Oguri dan Han Hyo Joo di Netflix
-
3 Pemain Kunci di Balik Keperkasaan Timnas Indonesia U-17 Atas Uzbekistan