Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | gina
Sejumlah pemuda mengarak Ogoh-Ogoh atau boneka raksasa yang melambangkan sifat buruk saat Festival Ogoh-Ogoh di Semarapura, Klungkung, Bali, Minggu (3/3). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Bali dikenal sebagai kota yang memiliki pengaruh besar terhadap Indonesia, terutama dari sektor pariwisata. Pasalnya, Bali memiliki ciri khas tersendiri yang menarik wisatawan untuk berkunjung. Kebudayaan yang berada di Bali menjadi daya tarik, seperti adanya berbagai tradisi yang masih pekat dalam pelaksanaan.

Lalu, sebagian besar penduduk Bali beragama Hindu. Dengan begitu, tidak heran bahwa tradisi yang ada dipengaruhi oleh unsur agama Hindu. Tradisinya berangkat dengan filosofi atas konsep Tri Hita Karana yaitu mengajarkan tiga penyebab kesejahteraan terdiri hubungan atau keharmonisan manusia dengan alam, sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan. Lantas, hal tersebut melahirkan tradisi berupa upacara-upacara keseharian masyarakat Hindu di Bali, misalnya upacara dalam Hari Raya Nyepi.

Di Indonesia, Nyepi sudah menjadi hari libur nasional karena merupakan Hari Raya umat Hindu dalam memperingati tahun baru Saka. Sejarah dari tahun baru Saka yaitu sebagai tonggak penutup atas permusuhan antar suku yang pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, tahun baru Saka diartikan sebagai hari kebangkitan, toleransi, bahkan kerukunan nasional.

Dengan pergantian tahun, diharapkan dapat menghasilkan pribadi yang lebih baik dengan melakukan perenungan diri (menyepi). Sebagaimana dilakukan agar menjaga keseimbangan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit hingga pertemuan titik positif dan negatif.

Apabila berbicara mengenai makna dibalik perayaan, ‘Nyepi’ berasal dari kata sepi dan ditujukan sebagai sarana perenungan diri. Dengan kata lain, Nyepi juga menjadi pemenuhan akan kebutuhan manusia dari sisi rohani, spiritual, maupun jasmani. Sebab, perenungan diri ini bertujuan adanya kesadaran manusia akan hal-hal apa saja yang sudah dilewati dan menjadi pembelajaran serta terasa seperti terlahir kembali.

Upacara Nyepi diadakan selama satu hari mulai dari jam enam pagi. Selain itu, perayaan dilakukan dengan menciptakan kondisi yang tenang, damai, bahkan tanpa adanya aliran listrik.

Ogoh-Ogoh dan Hari Raya Nyepi

Setelah mengulas megenai latar belakang dan tujuan dibalik Hari Raya Nyepi, ternyata terdapat beberapa rangkaian tradisi menjelang hari perayaan tiba, salah satunya adalah tradisi Ogoh-Ogoh.

Upacara Ogoh-Ogoh merupakan tradisi ngelawang kesenian Ndong-nding dari Karangasem dan Gianyar, Bali. Tradisi ini tentu telah mengalami perkembangan, bahwa ditemukan beberapa bentuk atau model patung yang berbeda-beda. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk ekspresi yang tercakup ke dalam tiga jenis.

Pertama, Ogoh-Ogoh wayang yang berbentuk layaknya tokoh-tokoh dalam perwayangan, seperti Krisna dan Rahwana. Kedua, Ogoh-Ogoh kontemporer yang tidak memiliki ketentuan khusus dalam pelaksanaan, hanya mengutamakan pada pesan yang akan diberikan. Pada jenis ini dapat diaktulisasikan dengan bentuk esentrik, seperti koruptor dan lain-lain.

Ketiga, Ogoh-Ogoh Bhuta Kala biasanya sering dijumpai saat menjelang Hari Raya Nyepi. Jenis ini dideskripsikan dengan bentuk yang tampak seram, besar, dan tinggi. Lalu, matanya yang besar menadelik dan garang maupun dengan hidung serta mulut besar dan bertaring. Alasan dibalik dari jenis ini yang diwujudkan dalam patung raksasa, ialah sebagai simbol sifat buruk atau kejahatan pada kehidupan manusia dan mengganggu aktivitas hendak Nyepi.

Selanjutnya, Ogoh-Ogoh Bhuta Kala dilaksanakan dengan teknik pawai atau arak-arakan dan pembuatan dilakukan bersama-sama oleh masyarakat setempat. Setelah itu dibakar dengan harapan agar lenyapnya akan sifat-sifat buruk.

Bagi wilayah Denpasar, tradisi Ogoh-ogoh umumnya dijumpai di sekitar Patung Catur Muka Puputan dan Monumen Ground Zero Kuta. Namun, mengingat bahwa masyarakat Hindu terdapat di beberapa wilayah Indonesia, tradisi Ogoh-Ogoh juga diadakan di daerah-daerah selain Bali, misalnya diadakan di Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Surabaya.

Pada wilayah tersebut terdiri dari tiga agama yang masing-masing memiliki kedudukan cukup tersebar merata. Namun, tradisi Ogoh-ogoh masih dapat dijalankan bahkan adanya peran warga yang bukan beragama Hindu dalam proses pembuatan. Kemudian pula, tradisi Ogoh-Ogoh akhirnya dapat diikuti dan dinikmati oleh berbagai kalangan ataupun menjadi suatu acara yang dipertontonkan oleh khalayak ramai.

Mencermati pemaparan diatas, tradisi Ogoh-ogoh dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kearifan lokal yang berasal dari masyarakat beragama Hindu. Sebagaimana tradisi ini tercipta dari suatu proses adaptasi secara turun menurun sehingga menjadi nilai dan budaya yang berlandaskan filosofi dari agama Hindu.

Pengaruh Tradisi Ogoh-Ogoh

Berbicara mengenai pengaruh yang ditimbulkan dari tradisi ini, ternyata dapat dibagi menjadi dampak bersifat intern dan ekstern.  Sebelumnya telah diketahui, bahwa tradisi Ogoh-Ogoh menjelang Hari Raya Nyepi adalah rangkaian upacara yang ditujukan untuk menghapus sifat buruk atau kejahatan pada diri manusia.

Hal ini berhubungan dengan dampak intern yaitu diupayakan untuk menjernihkan diri seseorang atas apa yang telah dilalui, sehingga menjadi pribadi baik. Ketika perayaan Nyepi tiba, merupakan kesempatan bagi masyarakat dapat merefleksikan diri secara khusyuk. Mengingat, pelaksanaan ini sudah menjadi suatu tuntutan adat-istiadat, khususnya di Bali.

Sedangkan, apabila dilihat dari perspektif yang berbeda bahwa ditemukan sisi-sisi lain dari tradisi Ogoh-Ogoh. Keberadaannya telah mengajarkan akan nilai-nilai sosial dalam skala yang lebih luas.

Berkaca pada pelaksanaan tradisi Ogoh-Ogoh terkandung nilai kerukunan atau keharmonisan yang tumbuh di masyarakat atas hidup secara berdampingan. Atas hal tersebut, membuktikan bahwa tradisi Ogoh-Ogoh juga memiliki dampak ekstern.

Di mana dapat terlihat dari pembuatan bersama pengarakan Ogoh-Ogoh yang menuntun pada karakter gotong royong bersama partisipasi dari seluruh kalangan. Keikutsertaan seluruh warga memberikan makna khusus bahwa dapat mewujudkan sikap toleransi terhadap sesama. Contohnya, tradisi khas umat Hindu ini terbuka untuk umum atau bagi para wisatawan tanpa membeda-bedakan.

Secara tidak langsung, tradisi Ogoh-Ogoh tanpa disadari telah terciptanya nilai kerukunan atau keharmonisan yang tumbuh di masyarakat akan hidup berdampingan. Sebab dalam tradisi Ogoh-ogoh melekat rasa kebersamaan sehingga memberikan dampak yang lebih dari sekedar sebuah kebudayaan.

Selain itu, Hari Raya Nyepi dijadikan sebagai hari libur nasional, membuktikan adanya rasa saling menghargai dan menghormati terhadap sesama warga Indonesia. Hal ini selaras dengan ideologi Pancasila yaitu sebagai ideologi bersifat terbuka dan dibangun diatas kearifan lokal dan budaya masyarakat Indonesia. Ditambah pula, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.  Dengan maksud untuk tetap mengutamakan nilai persatuan diatas perbedaan.

Menelusuri arti dibalik tradisi Ogoh-Ogoh menjelang Hari Raya Nyepi, diajarkan bahwa suatu kearifan lokal mampu membangun ruangan inklusif bukan eksklusif, sehingga membawa dampak bagi kehidupan sosial.

Dengan demikian, tradisi ini dikatakan sebagai media pemersatu sekaligus membawa manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan tentu dapat mangantarkan kemakmuran dalam hidup bernegara atau bisa dikenal pada istilah bahwa “berdamai dengan diri sendiri sama dengan berdamai dengan orang lain.”

Referensi

  • Putu Wisudantari Parthami, Konstruksi Identitas Jender, (FPsi, 2009), hlm. 1
  • Aria Welianto, Hari Raya Nyepi: Sejarah dan Prosesnya, kompas.com, https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/25/080000169/hari-raya-nyepi-sejarah-dan-prosesinya?page=all, diakses pada tanggal 21 Juni 2021.
  • Karimatus Saidah, M.Pd, Kukuh Andri Aka, M.Pd, Rian Damariswara, M.Pd, Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia dan Implementasinya dalam Pendidikan Sekolah Dasar, Banyuwangi, 2020.
  • Kadek Winarta, Makna Simbolik Tradisi Ogoh-Ogoh Dalam Rangkaian Perayaan Hari Raya Nyepi Di Desa Pepuro Barat  Kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Timur, Phinisi Integration Review, Vol. 1, No.2, Agustus 2018 Hal 128-132
  • Mohammad Syamsudin Alfattah, Tradisi Ogoh-Ogoh, https://repository.unair.ac.id/67603/13/Fis.ANT.72.17%20.%20Alf.t%20-%20JURNAL.pd, diakses pada tanggal 21 Juni 2021.

gina

Baca Juga