Covid-19 belakangan mempertontonkan diri menjadi lebih ganas. Kasus Covid-19 mulai menyebar secara signifikan, bahkan sampai menembus rekor di berbagai daerah, seperti contoh Jakarta dan Yogyakarta.
Dengan penambahan Covid-19 secara signifikan, angkah kebijakan dari pemerintah pun seakan dilematis. Pemerintah bak mempertunjukkan sebuah kebijakan makin panas kepada rakyatnya bagi melanggar aturan. Begitulah kiranya kebijakan pemerintah saat ini dalam menangani pandemi Covid-19, meskipun ekonomi rakyat juga mengalami krisis.
Dari Intruksi Mendagri PPKM Darurat Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Corona Virus Disease 2019 wilayah Jawa dan Bali, diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk menjadi koordinator.
Kemudian muncul pernyataan dari mulut Luhut akan memukul rata bagi yang melanggar kebijakan PPKM Darurat. Seakan tanpa peduli resiko dan suasan kebatinan masyarakat, meskipun dalam suasana krisis ekonomi. Lantas, apakah dengan cara subversif seperti itu justru tidak menambah masalah baru bagi masyarakat umum?
Para pemangku kebijakan bak semakin lucu saja. Apakah mungkin karena mereka sudah bingung bagaimana cara mengatasi wabah Covid-19, sehingga harus memakai cara yang subversif? Penerapan hukum memang sejatinya mendatangkan ketertiban, bukan malah menambah kekacauan dan kesengsaraan. Karena hukum bukan hanya dapat terlaksana seperti yang tertulis, tetapi idealnya berlandaskan pada moral.
Ya, hukum memang sejatinya ditegakkan dengan seadil-adilnya, dan kalau perlu ringkus sampai ke akar-akarnya. Namun, kadang kala di Indonesia hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Penegakan hukum perlu lebih tegas Sebab seringkali penguasa dapat menari bebas, sementara masyarakatnya malah menderita dan berada dalam suasana keterpaksaan.
Dengan kebijakan PPKM Darurat ini, cara subversif bukanlah solusi yang tepat. Pemerintah mesti melakukan pendekatan moral, edukasi, dan kerja gotong-royong. Bukan malah mengancam rakyat dengan denda, pidana dan arogansi penertiban dengan melalui kekuatan negara.
Taruhlah misalnya masyarakat melanggar aturan, itu bukan berarti mereka tidak ingin mematuhi, tetapi karena tidak ada pilihan lain untuk tetap berjuang mempertahankan hidup, lagi-lagi soal ekonomi. Atau karena mereka memang tidak mendapatkan konsumsi pengetahuan seperti yang didapatkan di bangku sekolahan.
Lantas, apakah harus menyalahkan mereka? Wajar tidak menyalahkan orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa? Logis tidak menyalahkan rakyat kecil yang hidupnya makin sengsara tanpa arah? Secara moral tentu tidak.
Tugas pemerintah harus hadir untuk menjadi penyambung dan teman hidup dalam mengatasi masalah tersebut. Bukan malah jauh dari masyarakat dan membusungkan dada seraya berkata, "akulah yang telah mengatur semuanya, bagi yang tidak tunduk tentu akan menanggung resikonya".
Bukan tanpa alasan, berpihak pada rakyat kecil. Karena nyatanya, pemerintah juga tidak mampu berlaku secara adil kepada semuanya. Contoh misalnya, Tenaga Kerja Asing (TKA) justru bebas masuk di Indonesia dengan alasan sudah mematuhi syarat yang diberlakukan, padahal vaksinasi dan swab masih berpotensi menular dan ditularkan Covid-19.
Sementara, di dalam negeri, justru dipertontonkan secara marak perlakuan kepada rakyat kecil. Seperti yang dirilis oleh Kompas TV, para aparat Satpol PP di Semarang membongkar lapak pedagang kecil, tanpa melakukan pendekatan kekeluargaan terlebih dahulu.
Lantas, dari mana letak kebijakan dan keadilannya? Pemerintah mesti berpikir apabila ingin memberlakukan PKKM Darurat dengan secara subversif. Ketika pemerintah membabat habis masyarakat yang melanggar aturan itu, maka tentu akan menimbulkan masalah baru karena tidak sesuai dengan moralitas dan norma-norma sosial.
Oleh karena itu, terkait dengan perkataan Luhut Panjaitan, mestinya beliau meminta maaf kepada masyarakat atas kekeliruannya dalam berucap. Apalagi Luhut termasuk bagian dari penguasa negara sekaligus pelayanan masyarakat. Jangan mentang-mentang punya kekuasaan, sehingga dengan bebasnya berbuat dan berucap semuanya saja.
Untuk diketahui, aturan PPKM Darurat memang perlu dipatuhi. Sebab hal itu dirasa bisa menekan angka Covid-19. Meski begitu, penyelesaian konflik seharusnya bisa lebih humanis dan peraturan tidak tebang pilih. Dengan kata lain, aturan ataupun hukuman harus adil, tidak memihak penguasa semata dan malah merugikan rakyat biasa.
Tag
Baca Juga
-
Hari Raya Idul Fitri, Memaknai Lebaran dalam Kebersamaan dan Keberagaman
-
Lebaran dan Media Sosial, Medium Silaturahmi di Era Digital
-
Ketupat Lebaran: Ikon Kuliner yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Dari Ruang Kelas ke Panggung Politik: Peran Taman Siswa dalam Membentuk Identitas Bangsa
-
Menelisik Sosok Ki Hajar Dewantara, Pendidikan sebagai Senjata Perlawanan
Artikel Terkait
-
Tangani Kasus Ijazah Palsu Jokowi, Suami Jessica Mila Dituding Cari Panggung
-
Jokowi Akhirnya Buka Suara soal Ijazah! Ini Alasannya Tempuh Jalur Hukum...
-
Menteri Prabowo Masih Anggap Jokowi Sebagai Bos, PKS Wanti-wanti: Tak Boleh Ada Matahari Kembar
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Jokowi Kenang Momen Disuruh-suruh Titiek Puspa: Menteri Saja Gak Ada yang Berani
Kolom
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Jadi Alarm Penting Taat Berlalu Lintas
-
Blaka Suta: Kejujuran dalam Daily Life dan Hukum Tabur Tuai Lintas Generasi
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
-
Menemukan Kembali Semangat Politik Ki Hadjar Dewantara di Era digital
Terkini
-
Usung Alter Ego, Lisa BLACKPINK Sukses Gebrak Panggung Coachella 2025
-
Mission Impossible - The Final Reckoning: Aksi Gila dan Serangan The Entity
-
2 Fakta Unik Aldyansyah Taher Pemain Timnas U-17: Punya Versatility di Luar Nalar!
-
3 Pahlawan dengan Quirk yang Tampak Licik dan Keji di Boku no Hero Academia
-
Persebaya Surabaya Siap Tempur Lawan Persija, Paul Munster: Saatnya Sprint!