Membaca The Makioka Sisters karya Jun’ichiro Tanizaki terasa seperti menelusuri lembar-lembar foto lawas dari Jepang pra-perang, yang indah namun mulai memudar warnanya.
Cerita berfokus pada kehidupan sehari-hari para saudari Makioka: Tsuruko, Sachiko, Yukiko, dan Taeko. Mereka berjuang untuk mempertahankan nama baik keluarganya ketika zaman mulai bergeser.
Yukiko merupakan seorang kakak yang anggun dan pemalu harus menghadapi tuntutan sosial soal pernikahan untuk mempertahankan martabat dan citra publik. Ia dipaksa untuk menjalani berbagai serangkaian perjodohan yang rumit.
Sedangkan si bungsu, Taeko, ia juga berusaha untuk melawan nilai-nilai lama yang dirasanya tidak sesuai untuk diterapkan di zaman yang sudah berubah.
The Makioka Sisters karya Jun’ichiro Tanizaki adalah tipe novel yang tidak bisa dibaca terburu-buru. Ia seperti teh hijau yang harus diseduh pelan-pelan agar rasa dan aromanya keluar sempurna. Ditulis dengan gaya yang tenang dan penuh detail, novel ini adalah potret elegan dari masyarakat Jepang kelas menengah atas di masa transisi menjelang Perang Dunia II.
Semuanya dihidangkan dengan nada yang lembut dan ritme yang lambat, tetapi tetap menggugah rasa.
Tapi di balik keindahan itu, ada rasa getir. Ada kesan bahwa dunia yang para tokohnya cintai perlahan memudar, tergantikan oleh modernitas yang tidak mereka pahami sepenuhnya.
Apa yang membuat novel ini begitu menarik adalah bagaimana ia menangkap ketegangan antara tradisi dan modernitas. Seperti teh yang diseduh perlahan. Hangat, pahit, dan menenangkan sekaligus.
Bagian Yukiko yang dipaksa untuk menerima perjodohan dan Taeko yang terus memberontak karena tuntutan dan norma yang berlaku menjadi salah satu konflik utama di novel ini.
Konflik batin dan sosial ini ditulis tanpa dramatisasi berlebihan, namun justru terasa lebih dalam karena kediamannya.
Menariknya, penulis juga menyisipkan referensi sejarah seperti Perang Tiongkok dan banjir besar di Kobe tahun 1938. Ketegangan politik di zaman itu rasanya sangat tergambar dengan jelas di bagian ini. Seperti bayangan yang terus menghantui kehidupn setiap tokoh.
Semuanya seperti bayangan yang perlahan merayap di balik kehidupan sehari-hari para tokoh. Ini membuat kita sadar bahwa dunia mereka sedang menuju perubahan besar, meskipun di permukaan, semuanya masih tampak berjalan biasa.
Yang paling menonjol dari novel ini adalah perhatiannya pada detail budaya, adat istiadat, cara berpikir, peran gender, hingga kesadaran kelas. Tanizaki tidak sedang mengkritik atau memuja, tapi lebih pada menyuguhkan potret yang jujur dan halus dari sebuah masyarakat yang perlahan-lahan harus melepaskan masa lalunya.
The Makioka Sisters bukanlah novel yang hanya membahas tentang kisah empat orang saudara dan pergelutannya dengan keluarganya.
Novel ini juga tentang Jepang itu sendiri, tentang pergeseran nilai, tentang bagaimana generasi lama dan baru saling bersinggungan, dan tentang kehilangan sesuatu yang tak bisa kembali.
Kalau kamu menyukai kisah keluarga yang indah, elegan, namun penuh makna mendalam, novel ini bisa dijadikan rekomendasi bacaan. Tidak hanya itu, novel ini juga bisa kalian jadikan referensi untuk melihat potret Jepang di tahun 1930-an.
Ia mengajak kita merenung pelan-pelan, sambil duduk di tepi musim semi yang tak bisa kita hentikan lajunya.
The Makioka Sisters menjadi sebuah karya sastra yang indah dan penuh nuansa. Mungkin bukan bacaan untuk semua orang—karena ritmenya yang lambat dan narasinya yang lembut—tapi bagi yang sabar, ini adalah pengalaman membaca yang sangat memuaskan dan menghangatkan hati.
Baca Juga
-
Belajar Self-Love dari Buku Korea 'Aku Nggak Baper, Kamu Yang Lebay'
-
Novel Stranger, Kisah Emosional Anak dan Ayah dari Dunia Kriminal
-
Potret Kekerasan Ibu-Anak dalam Novel 'Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul'
-
Novel The Prodigy: Menemukan Diri di Tengah Sistem Sekolah yang Rumit
-
The Killer Question: Ketika Kuis Pub Berubah Jadi Ajang Pembunuhan
Artikel Terkait
-
Mengejar Cinta Halal: Ketika Perasaan dan Takdir Tidak Berjalan Seiring
-
Menilik Dakwah dalam Balutan Fiksi Religi di Novel Harapan di Atas Sajadah
-
Ulasan Novel Akad: Romansa Pesantren yang Manis, Kocak, dan Sarat Makna
-
Novel Baswedan Sebut Kasus Hasto Jelas Suap, Sementara Tom Lembong Tak Punya Niat Jahat
-
Pernah Bayangin Hidup Jadi Hewan? 3 Novel China Ini Bahas Reinkarnasi Unik
Ulasan
-
Ulasan The Price of Confession: Duet Gelap Kim Go Eun dan Jeon Do Yeon
-
4 Tempat Padel di Bandung yang Instagramable, Nyaman, dan Cocok Buat Pemula
-
Di Balik Tahta Sulaiman: Menyusuri Batin Bilqis di Novel Waheeda El Humayra
-
Review Film The Stringer - The Man Who Took the Photo: Menelusuri Jejak Fakta
-
7 Film Indonesia Paling Laris 2025: Animasi, Horor, hingga Komedi
Terkini
-
Punya Mata Batin, Sara Wijayanto Akui Belajar dari Makhluk Tak Kasat Mata
-
Niatnya Bikin Konten Nakal di Bali, Bintang OnlyFans Ini Malah Berakhir Didenda dan Dideportasi
-
Sambut Akhir Pekan, Ini 5 Rekomendasi Drama China Fantasi yang Tayang 2025
-
SEA Games: Misi Timnas Indonesia Hindari Jegalan Myanmar Demi Semifinal
-
4 Rekomendasi Tablet Layar 12 Inci Paling Worth It untuk Kerja Harian, Produktivitas Naik 10 Kali